webnovel

Daging Rusa, Anggur Putih

Tyra memasak makan malam seadanya. Bukan karena jatuh miskin setelah tidak bekerja satu bulan lamanya, tapi karena dirinya hanya seorang pemalas yang tak suka kerumitan. Ayam goreng asal-asalan nyaris gosong pun akan disantapnya dengan alasan menghargai kerja keras memasak sendiri.

Ya Tuhan, sangat mengherankan bagaimana bisa Eric si penyuka kuliner mewah itu menyukainya. Apakah Tyra memiliki mantra khusus?

"Ya, Chef Elleanor, mahakarya masakan penuh kelezatanmu telah selesai ..." ujarnya bangga, menata tahu goreng dengan bagian pantatnya yang gosong agar tak kentara di piring keramik warna putih kontras. Baiklah, setidaknya jiwa senimannya sebagai desainer masih bisa menutupi kekurangan itu.

"Saatnya menaruh nasi ..."

Gadis itu antusias menuju tempat rice cooker berada namun, "Hah? Kenapa mentah?!" pekiknya heboh, "Astaga, Aku lupa mengubahnya ke mode memasak ..."

"Aaaaaaaa Aku lapaaar ..." rengeknya menghentak-hentak piring tahu, "Aish, mana gas kompor itu habis! Ah! Kesal!" lanjutnya, mau tak mau menunggu beberapa belas menit agar beras-beras bengkak di dalam mesin penanak nasi itu masak. Tapi sayangnya ...

DEP!

Unit apartemen itu mendadak gelap, listriknya padam.

Tyra memjamkan matanya frustasi, "Eric, apakah dia tidak mengisikan token listrikku selama sebulan? Astaga ..."

Tyra menyerah. Gadis itu lapar, Ia harus turun ke kafetaria atau minimarket untuk membeli nasi dan token listrik.

Ya, nasinya saja. Tahu pantat gosong itu terlalu sayang untuk dilewatkan malam ini.

Tyra membuka pintu kamarnya, agak takut Ia melangkah ke dalam. Apalagi kalau bukan dua benda aneh di dalam laci nakasnya itu?

"Hey, lelaki aneh tampan bernama Noah Clodio, kembali dan ambil segera barang-barang sihirmu itu!"

BRAK!

Tyra membanting pintu kamar usai dalam sekali pergerakan mengambil mantel, topi, masker, dan kacamata serba gelap.

"Oh sial, dimana dompetku ..." gumamnya tepat sebelum membuka pintu, rupanya tertinggal. Mau tak mau Ia kembali ke kamarnya.

CKLK!

"Elleanor Tyra yang cer ..."

"Aaaaaaaaaaaaaaaah! Ha-hantu kah itu? Aaaaaa!"

BRAK!

DDUK!

PRANG!

Tyra berlarian heboh, menabrak brutal benda-benda di depan kamarnya yang tak terlihat akibat penerangan yang padam, "Astaga Ya Tuh ..."

"Aaaaa! Siapa itu!" teriaknya sekali lagi begitu sesosok manusia atau hantu keluar dari kamar. Wajahnya tak terlihat jelas, lantaran rambut keriting panjang itu menjuntai acak ke depan.

Tunggu, rambut keriting panjang?

"K-Kau ... p-pria aneh itu?" tanyanya tergagap.

Pria bergaya hantu itu menyugar rambutnya ke belakang, memperjelas sedikit lekuk wajahnya yang lagi-lagi ... dipenuhi luka, "Kau yang memanggil dan menarikku kesini, wanita bodoh," ejeknya.

Tyra tak bisa berkata-kata, hanya bisa berpegang pada gorden jendela didekatnya ketika pria itu mendekat, "Kenapa gelap disini? Apa manusia sepertimu tidak suka cahaya? Cahaya membuatmu terbakar?" tanyanya.

Lalu dalam sekejap dua vas bunga di samping televisi itu menyala, terbakar api, menjadikan bunga kering kesayangan Tyra sebagai sumbunya, "Pria gila! Apa yang Kau lakukan dengan rumahku!" seru si pemilik tak terima.

"Agar terang tentu saja," ucap pria itu, lalu dengan santainya duduk di sofa ruang tengah, "Rumahmu ini nyaman juga, tidak buruk. Hanya saja Kau berisik."

Tyra mengerutkan dahinya seraya berkacak pinggang, "Siapa Kau berani berkomentar tentangku dan rumahku?"

"Karena Aku pembelinya. Kau lupa? Kau mengambil sekantung penuh berlian-berlianku."

"Aku bahkan belum menyetujuinya!"

"Kau akan menyetujuinya kemudian karena Kau kekurangan harta setelah satu bulan tak bekerja. Apakah itu benar?" tebak Noah, ekspresi wajahnya itu semakin membuat kesal, menyebalkan sekali. Tyra tak mengelak, Ia juga perlu aset cadangan tambahan, "Lalu apa yang akan Kau lakukan selama disini? Juga berapa lama? Cepatlah pergi ke asalmu yang antah berantah itu."

Noah terdiam sejenak, pandangan matanya lurus menatap 'perapian' buatannya tadi. Bunga kering sebagai sumbunya tak kunjung habis dilalap api, dan Noah menyukainya.

"Hey, apa Kau tuli?"

Noah menghela nafasnya berat, "Lihat saja nanti. Tapi apakah Kau punya makanan? Aku lap ..."

KREUUKKK!

Tyra memegangi perutnya itu malu. Astaga, gadis itu kelaparan, sampai-sampai bereaksi ketika kata 'makanan' disebutkan. Pria itu tersenyum miring menghina, "Kau kelaparan? Kalau begitu dimana pasar kalian para manusia? Bukankah Kita harus membeli sesuatu?" tanyanya.

"Bisakah Kau tidak sering menyebut kata 'kalian manusia' atau 'manusia sepertimu'? Aku memang manusia, dan Aku risih mendengarnya!"

Noah berdiri tak peduli, "Terserah Kau saja, dimana pasarnya?"

Tyra memutar matanya malas, mengambil dompetnya yang terjatuh di dekat meja ruang tamu, "Tidak perlu ke pasar, Aku hanya perlu membeli listrik dan nasi. Aku sudah memasak," ujarnya menuju pintu depan.

"Li-lis-trik? Apa itu?"

Tyra berbalik, "Kau tidak tahu listrik? Ya Tuhan, rupanya Kau memang bukan manusia, dasar makhluk primitif," hinanya. Noah hanya terdiam, Ia tak mengerti istilah-istilah yang diucapkan Tyra; listrik, nasi.

"Tunggu saja disini, Aku akan berbaik hati membelikanmu makanan. Apa yang ingin Kau makan?"

"Tidak perlu repot-repot, cukup daging rusa bakar dan anggur putih," jawab Noah, jelas mambuat Tyra tak habis pikir, "Daging rusa? Kau kira mudah mendapatkannya disini?"

"Bukankah duniamu ini kaya? Aneh jika daging rusa saja tidak ada. Belikan Aku itu."

****

Noah memandang aneh sajian makan berwarna-warni ala Tyra di meja ruang tamu. Jenis makanan asing, sampai kelakuan si pemilik rumah yang ugal-ugalan bahkan ketika makan, semua itu membuatnya berpikir keras. Rupanya salah besar Ia mendatangi dunia manusia. Dunia yang sangat aneh, pikir Noah.

"Kenapa Kau tidak makan? Kau tidak suka?" Tyra menyalakan televisi, mencari acara yang sekiranya perlu Ia saksikan. Suara nyaring dari benda itu membuat Noah terkejut, "Benda apa itu?"

"Aish ... ini televisi. Se-kuno apa kehidupanmu itu?"

Noah meneguk salivanya sendiri, Ia semakin tak paham dengan benda-benda disekelilingnya, "Ini ... apa?" tunjuknya pada tahu berpantat gosong berminyak di atas piring.

"Tahu."

"Tahu?"

"Ya, terbuat dari kedelai, rasanya enak. Astaga, kenapa Aku harus menjelaskan segala sesuatu padamu layaknya anak kecil ya?"

"Apa tidak ada daging rusa?"

"Tidak ada. Jika Kau sangat ingin, pergilah sana ke hutan, cari daging kesukaanmu."

"Dimana hutannya?"

"Dimanapun, tapi bukan disini. Kau perlu tahu jika tempatku ini adalah perkotaan. Banyak orang disini, baik atau jahat, jadi ..." ujarnya tertahan, menatap Noah lekat-lekat, "Jangan sampai bertingkah aneh di dekat orang banyak. Itu akan berbahaya untukmu."

Noah mencondongkan tubuhnya ke depan, balik menatap Tyra serius, "Aku tidak akan banyak berinteraksi dengan manusia disini, kecuali Kau ..."

"Kenapa Aku?"

"Karena Kau yang memanggilku, dan ... kurasa Kita memiliki kepentingan yang sama."

Tyra tersenyum miring, "Kepentingan apa itu, Tuan Noah? Sejak kapan Kita saling mengenal dan punya urusan yang sama? Jangan mengada-ngada."

Noah menggeleng, "Memang bukan dirimu yang secara langsung memiliki urusan denganku dan duniaku. Tapi Ayahmu ..."

Tyra membelalakkan matanya, berhenti seketika begitu mendengar sebutan 'Ayah' dari Noah, "Apa yang Kau tahu tentang Ayahku?"

Noah menghela nafasnya panjang, "Ayahmu adalah orang yang melintas dari duniaku kesini, ke dunia manusia. Lalu Ia terjebak, tak bisa kembali, hingga Ia berkeluarga dan memiliki keturunan, alias Kau ... Elleanor Tyra ..."

Tyra hanya diam membatu di tempatnya, mencerna suah payah ujaran tak masuk akal Noah atas Beni, Ayahnya.

"Ayahmu masih memiliki kepentingan besar dengan duniaku sebelum Ia lenyap, dan ... itulah yang diturunkannya padamu."