webnovel

The Forgotten Princess.

Bijaklah memilih bacaan, terdapat beberapa adegan kekerasan dan dewasa dalam novel ini. “Suka atau tidak suka kau akan tetap menjadi wanitaku, Gina,”ucap Massimo dingin tak terbantah. “Semuanya sudah tertulis dalam perjanjian yang dibuat kakekmu dan kakekku.” “Aku bukan bagian dari keluarga Sanders lagi, jadi aku tidak berkewajiban memenuhi perjanjian itu.” Gina menjawab lantang tanpa rasa takut. Massimo tertawa lebar. “Jadi kau menolakku?” “Tentu saja!” “Baik, kalau begitu akan kubuat satu-satunya orang yang kau cintai hidup dalam keadaan menyedihkan. Akan kubuat dia berharap kematian lebih baik dari hidupnya saat ini,”ancam Massimo sungguh-sungguh. sinopsis: Gina yang terlahir dari wanita yang tak diakui keberadaannya oleh keluarga sang ayah terpaksa harus mencari ayahnya ke Barcelona atas amanat sang ibu yang meninggal karena kanker. Hidup bersama ibu dan saudara-saudara tirinya ternyata tak membuat hidup Gina menjadi lebih baik, sang ibu tiri yang mengincar harta ayahnya menghalalkan segala cara untuk membuat putra kesayangannya Diego Alvarez menjadi ahli waris keluarga Sanders. Sementara itu Gina harus terjebak dalam sebuah perjanjian gila yang dibuat kakeknya puluhan tahun yang lalu untuk menjadi wanita seorang ahli waris dari penguasa Barcelona Massimo del Cano yang tak menginginkan pernikahan, Gina menjadi pengganti adik tirinya atas perbuatan sang ibu tiri yang menjebaknya. Hubungan yang Massimo inginkan tak lebih dari hubungan Tuan dan budak, mampukah Gina bertahan dalam hubungan itu? Hubungan mengerikan dari seorang pria yang ternyata menjadi cinta pertamanya.

nafadila · 都市
レビュー数が足りません
618 Chs

Goyah

Gina yang memiliki jadwal pagi memilih untuk langsung berangkat bekerja tanpa sarapan, waktunya sudah habis untuk bertransformasi menjadi Gabriel ketika sedang bekerja. Sesampainya di kantor seperti biasa Gina menjadi kurir pertama yang tiba terlebih dahulu dibanding teman-temannya yang lain.

"Sial, tahu begini aku tadi makan dulu saja,"gerutu Gina kesal saat menyadari kalau ia ternyata lebih cepat 30 menit dari jadwal kerjanya.

Gina lupa jam weker kesayangannya habis baterai kemarin dan ia belum sempat menggantinya, sehingga tadi pagi ketika Gina melihat jam yang ada di atas nakas itu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Padahal kenyataannya masih jam 6 pagi, sungguh kecerobohan yang menyebalkan.

Saat Gina sedang mengumpat di depan mesin absen dari arah parkir terlihat Sara sang direktur kantor tempat Gina bekerja berjalan mendekati Gina yang masih mengutuk kebodohannya didepan mesin absen.

"Apakah mesinnya rusak?"tanya Sara lembut.

"Bukan mesinnya yang rusak tapi..."

Ucapan Gina terhenti saat melihat siapa orang yang baru saja berbicara padanya.

"Nona Sara,"ucap Gina lirih sambil melangkah mundur, mencoba menjaga jarak dengan gadis cantik itu.

Sara Brunzel si gadis bermata hazel itu tersenyum melihat sikap karyawan barunya yang sangat sopan itu, bagi Sara baru Gina saja yang tak pernah mau menatapnya lebih dari satu menit. Tak seperti karyawan kantornya yang lain, yang akan mencuri pandang padanya secara diam-diam atau terang-terangan. Damn, tentu saja Gina berbeda. Gina gadis normal yang sedang menyamar menjadi seorang pria!

"Panggil namaku saja, Gabriel. Aku lebih suka dipanggil langsung seperti itu tanpa embel-embel nona atau apapun itu." Sara tersenyum manis saat berbicara.

Gina menggeleng. "Panggilan seperti itu dibuat untuk membedakan status seseorang, Nona. Jadi wajar jika saya memanggil anda dengan sebutan Nona."

"Keras kepala, ya sudah terserah. Tapi kali ini kau harus melakukan sesuatu untukku."

"Melakukan apa?"

Sara mengangkat tangan kirinya sampai ke batas dada. "Temani aku makan, pagi ini aku kehilangan selera makan."

"Apa tidak masalah jika anda makan dengan pegawai rendahan seperti saya?"

Sara terkekeh. "Tentu saja tidak, ya sudah ayo ke ruanganku." Dengan penuh semangat Sara menarik tangan Gina masuk ke dalam kantor, awalnya Sara terkejut saat merasakan halusnya tangan Gina. Namun akhirnya ia diam dan semakin mengagumi kurir barunya itu.

Sesampainya di ruangan Sara yang ada di lantai empat bangunan itu Gina dipersilahkan duduk di sofa, beruntung Gina memiliki tinggi badan yang menjulang sehingga perbedaan tinggi badannya dengan Sara yang tengah memakai sepatu hak tinggi tak berbeda jauh. Dengan tinggi badan yang dimilikinya, Gina tak pernah diganggu para siswa pembully di sekolahnya.

"Cuci tanganmu terlebih dahulu, Gabriel,"ucap Sara pelan saat meletakkan bekal makanannya di hadapan Gina.

"Sandwich salmon."

Sara mengangkat wajahnya dan menatap Gina yang baru saja menyebut nama bekal paginya hari ini. "Ini sandwich salmon?"

"Iya."

"Darimana kau tahu?"tanya Sara ketus, pasalnya ia sendiri saja tak tahu apa isi sandwich yang dibuatkan pelayan untuknya itu.

Gina terkekeh, ia kemudian menunjuk ke arah daging salmon yang terselip di dalam sandwich. "Mudah saja, warna ikan salmon itu berbeda dengan ikan lainnya. Seratnya pun juga berbeda."

Sara yang tak percaya dengan ucapan Gina kemudian mengangkat salah satu potongan sandwich dari dalam kotak bekalnya dan menatapnya tajam, ia yang tak pernah menyentuh dapur otomatis tak bisa mengenali jenis ikan. Apalagi ikan salmon yang sudah di slice tipis-tipis seperti yang ada dalam sandwichnya.

Melihat Sara menatap sandwichnya dengan serius membuat Gina yang baru duduk kembali setelah mencuci tangannya terkekeh. "Kalau anda tak percaya itu ikan salmon, lebih baik anda bertanya saja ke orang rumah."

Wajah Sara memerah mendengar perkatan Gina, ia kemudian meletakan sandwichnya dengan cepat diatas piring kecil yang sudah ia persiapkan sebelumnya.

"Untuk apa memperdebatkan hal sekecil itu, lagi pula sejak awal aku sudah tahu kalau itu adalah salmon. Jadi untuk apa aku bertanya lagi pada pelayan di rumahku,"sahut Sara ketus, mencoba menjaga harga dirinya.

Gina terkekeh geli. Gina yang belum makan pagi pun, memilih untuk menikmati sandwich salmon yang dibawakan oleh bosnya itu dengan lahap. Sara yang sebelumnya kesal nampak tersenyum ketika melihat Gina menikmati makanan yang ia bawa, dalam benaknya terbesit ide untuk membawa bekal lagi esok hari supaya bisa makan pagi bersama lagi dengan karyawan barunya yang sesuai tipenya itu. Seorang pria tinggi yang tak memiliki banyak otot seperti para pria yang selama ini mendekatinya, Sara lebih menyukai pria seperti sosok Gabriel yang dibuat oleh Gina.

***

Setelah melihat foto-foto Gina bersama sang istri tadi malam pagi ini sikap Yohanes sangat berbeda, ia tak lagi cerewet dan kaku dimeja makan seperti biasanya sehingga Selena dan Rosa yang sedang berdebat tak ada yang memisahkan. Entah kenapa setiap makan pagi kedua kakak beradik itu selalu bertengkar, seperti pagi ini.

"Selena, mengalahlah pada adikmu. Kau yang lebih besar, nak,"ucap Barbara lembut mencoba melerai pertikaian kedua cucunya.

Selena menoleh ke arah sang nenek. "Kenapa aku? Harusnya Grandma memarahi Rose, sejak tadi dia yang mengusikku, Grandma."

"Grandma tahu, hanya saja cobalah mengalah sekali saja. Kau sudah dewasa sayangku, sebentar lagi kau akan masuk kuliah, bukan?"

"Dan segera menjadi istri Massimo si tua bangka itu."Rose menyahut perkataan sang nenek dengan cepat.

Mendengar nama Massimo disebut membuat Selena naik darah, dengan penuh emosi ia meraih gelas yang ada di hadapannya dan langsung menyiramkan isinya kepada Rose.

"Selena, are you crazy?!!"jerit Rose keras setelah Selena menyiramkan segelas orange jus padanya.

Selena melipat kedua tangannya di dada. "Itu hukuman untukmu yang sembarang bicara."

"Apa kau bilang?"

"Stop, sampai kapan kalian mau seperti ini?"hardik Yohanes Sanders tiba-tiba.

Selena dan Rose pun langsung terdiam, keduanya yang sudah siap saling serang langsung menundukkan wajahnya begitu mendengar teriakan sang kakek.

"Kalian itu keturunan Sanders, sejak bertahun-tahun yang lalu keluarga kita tak ada yang arogan seperti kalian berdua. Apa kalian ingin membuatku malu, hah?!"

Bersambung