Alda berjalan lurus, menyusuri jalanan gang pemakaman yang membuat hatinya merasa sakit. Ia tak tahu karma buruk dari perbuatan mana sampai-sampai ia harus menjalani hidup seperti ini sekarang. Ia tak tahu hal apa yang sudah ia lakukan sampai-sampai semua orang yang bersamanya meninggalkannya. Semua memang hanya titipan, tapi mengapa titipan yang Alda miliki hanya singgah sebentar saja? Mengapa tidak lama, Tuhan?
"Astaga, Alda! Lo gak kenapa-kenapa, kan?" Alda tersentak saat kepalanya memegang dahinya sendiri mendengar suara perempuan di depannya, pandangannya memang sedikit berkunang-kunang, entah efek kelelahan atau entah efek dari panasnya ibu kota saat ini.
Wanita yang tengah berbadan dua tersebut langsung tersenyum kala mengetahui siapa yang berada tepat di hadapannya. "Astaga, Alic!" panggilnya sembari memeluk gadis berusia dua puluh enam tahun, sepantaran dengannya. Gadis yang selalu menjadi sahabatnya dan juga sahabat Ralisa. "Lo udah balik? Kok gak bilang-bilang?" tanya wanita berbadan dua tersebut kepada sang sahabat.
Alicia Putri, gadis dua puluh enam tahun dengan pakaian blush putih dan juga celana kulot panjang hanya tersenyum menatap sang sahabat yang terlihat sangat pucat. Ya, ia sangat tahu bagaimana kisah tragis dari seorang Alda Arrani tersebut. Alda yang biasanya tersenyum manis karena mendapatkan kasih sayang yang cukup dari suaminya, kini harus merasakan kegagalan cinta lagi karena maut memisahkan. Beberapa saat lalu memang Alic tak bisa menemani Alda karena Alic sedang di luar kota dan pekerjaannya tak bisa ditinggal. Namun sekarang, ia kembali dan langsung bertanya ke Ralisa bagaimana keadaan dari Alda.
"Gue udah balik, kok. Gue ada di sini, nemenin lo sama Ralisa. Jadi kalau nanti Ralisa ada di luar kota, lo bisa sama gue. Kalau gue ada di luar kota, lo bisa sama Ralisa. Tadi gue dari bandara langsung telepon Ralisa, katanya lo ada di pemakaman. Makanya deh gue langsung ke sini buat nemuin lo sama dedek bayi ganteng ini," balas Alic dengan senyum merekahnya. Memang Alic salah satu wanita yang ceria, sahabat yang selalu menebarkan senyuman bagaimana pun kondisi hatinya. Mungkin mentalnya sekuat baja sehingga bagaimana pun keadaannya, senyuman lah yang menjadi balasannya.
"Alda, gue turut berduka cita banget ya atas meninggalnya Mas Desvin. Gue gak tau harus bilang apalagi, i know kalau lo rapuh, lo sakit, lo bingung, lo kehilangan banget. Gue tau itu. Pun gue kalau di posisi lo enggak akan bisa kuat kayaknya deh. Tapi satu hal yang mau gue sampaikan sama lo, jangan pernah berpikiran kalau lo beneran sendiri di dunia ini. Gue sama Ralisa selalu ada buat lo, Da. Lo punya anak yang harus lo bahagiain, oke?" lanjut Alic dengan kembali memeluk sang sahabat.
Alda mengangguk mengerti. Ya, ia tak boleh seperti ini terus-terusan. Ia tak boleh merasa kehilangan terus-menerus. Ada banyak orang yang bersamanya, ada Alic, ada Ralisa, dan juga ada anak yang berada di dalam kandungannya ini.
"Thank you, Alicia. Gue beruntung banget bisa punya lo sama Ralisa di hidup ini. Beruntung banget ada titipan dari Mas Desvin yang sekarang ini lagi gue kandung. Gue pasti bisa ikhlas kok lama kelamaan. Gue pasti bisa melapangkan dada gue nantinya."
***
Siang ini, usai dari pemakaman, Alda memang diajak ke apartemen Alicia. Wanita yang sedang mengandung bayi tersebut tak dibiarkan seorang diri oleh sahabatnya. Ia menemani dan menjaga Alda dengan sangat baik sekali. Memberikan apa pun yang Alda butuhkan, memberikan semua yang Alda inginkan pula.
Saat ini pukul lima sore, Alda serta Alicia sedang menikmati secangkir coklat panas dengan menonton film di televisi. Mereka berdua menikmati film bergenre komedi yang sungguh menggugah tawa sekali.
"Lic, lo punya lowongan pekerjaan gak? Yang sekiranya enggak begitu berat gitu. Gue gak mau jadi nyusahin lo sama Ralisa terus. Gue enggak mau jadi beban buat lo sama Ralisa. Gue mau kerja keras buat gue dan anak gue sendiri. Lo ada info?" tanya Alda memberanikan diri.
Alicia langsung menatap sahabatnya dengan tatapan tak setuju. Ia sama sekali tak merasa direpotkan ataupun diberatkan oleh Alda. "Lo jangan macem-macem deh, Da. Kesehatan lo itu nomer satu. Lo lagi hamil. Kerjaan sesimpel apa pun bakalan berpengaruh buat lo dan juga anak lo. Mental lo bakalan kena, sekarang aja udah kena, kan? Gue enggak setuju pokoknya. Lo di rumah Ralisa kalau enggak di apartemen gue aja udah cukup kok. Kita bisa biayain lo sama anak lo. Kita punya duit, Da."
"Kalau itu sih gue tau, Lic. Gue tau apa konsekuensinya kalau gue kerja. I know juga lo sama Ralisa bisa biayain gue dan anak gue. Tapi gue enggak mau jadi beban. Lo emang gak ngerasa terbebani, gue sendiri yang merasa terbebani. Gue sendiri yang merasa kalau gue enggak bisa terus-terusan kayak gini. Gue butuh berkembang, Lic. Gue pengen kasih yang terbaik buat anak gue sendiri. Hasil kerja keras gue sendiri. Gue mau kerja, oke? Please, kalau lo ada informasi tentang lowongan pekerjaan yang memadai buat gue, gue mau. Ada gak, Lic?"
"Ada. Tapi lo harus janji sama gue kalau lo enggak bakalan kerja sampai sakit? Lo bakalan tetep memprioritaskan kesehatan lo dan bayi lo, oke? Kalau misalnya lo masih perlu bantuan apa pun itu, lo bisa minta tolong ke gue atau ke Ralisa. Jangan pernah merasa kalau lo itu beban buat kita semua. Kita semua sayang sama lo. Kita semua peduli sama lo, oke?"
"Oke, Alicia Putri. Gue pasti selalu inget sama apa yang lo omongin ini kok. Udah, lo tenang aja."
***
Malam ini agaknya Alda bisa tersenyum lagi setelah sekian lama ia ditemani dengan tangisan terus-menerus. Alda mendapatkan lowongan pekerjaan dengan jabatan sebagai sekretaris. Astaga, menjadi sekretaris itu mimpinya sedari dulu. Mungkin Tuhan memang ingin mengarahkan Alda menjadi sekretaris? Atau mungkin Tuhan ingin melihat seberapa kerasnya Alda berjuang seorang diri? Alda pasti akan melakukan yang terbaik kelak. Ia pasti akan memberikan apa pun yang ia bisa untuk anaknya dan untuk pekerjaan yang ia impikan ini. Apa pun itu nantinya.
"Sayang, nanti kalau mamah kerja, kamu yang anteng ya? Mamah kerja buat kamu. Buat beliin apa yang kamu mau. Buat sekolah kamu nantinya. Kamu bantu mamah, oke?" monolog Alda sembari mengusap secara perlahan perutnya sendiri. Semoga saja ini jalan yang Tuhan restui, jalan yang Tuhan ridhoi. Jalan terbaik yang bisa membuat Alda bangkit lagi. Karena pada dasarnya, Alda tak pernah mau terus-menerus menderita. Terus-menerus meratapi nasibnya. Alda ingin kembali bahagia. Alda ingin kembali merasakan kesenangan dalam hidup ini.
"Mas Desvin, sekarang aku mau daftar kerja, Mas. Tolong doakan ya, semoga aku mendapatkan apa yang terbaik menurut Allah. Semoga jalan apa pun yang Allah inginkan, aku bisa terima dengan ikhlas. Aku selalu merindukanmu, Mas Desvin."