14 .014.Sebuah Tamparan

Selama beberapa saat, kedua manusia di kursi penumpang terlibat adu argumentasi. Tentang layak atau tidak layaknya seseorang menolak pemberian orang lain, hingga mengembalikannya kepada si pemberi.

William Lee merasa, hadiahnya itu tidak berlebihan, karena ia memang menyukai barang mewah, maka dari itu, ia akan memberikan barang serupa yang ia suka kepada orang lain yang disukainya. Bahkan, William Lee memperlihatkan ponsel serupa milik Wilma Herdian, hanya saja berwarna biru.

Berbeda dengan William Lee, Wilma Herdian menganggap tindakan William Lee adalah pemborosan–meski ia mampu–akan tetapi, tetap saja pemborosan.

Wilma Herdian bahkan berani menyindir William Lee dengan terang-terangkan. Daripada membeli barang-barang mewah hanya untuk kesenangan dan kepuasan dirinya semata, akan lebih bijaksana jika menggunakan kekayaannya untuk membantu orang-orang yang tidak seberuntung dirinya. Akan banyak orang yang merasa senang dan bahagia.

William Lee melirik asistennya sesaat. Yang tidak Wilma Herdian ketahui, program pemberian bea siswa bagi karyawan dan juga keluarga karyawan yang kurang mampu di Majapahit Air, salah satu pencentus ide bahkan donatur tetap dan terbesar dipegang oleh Grup Lee, pemilik Perusahaan Manufaktur WLX, yaitu Thomas Lee–ayah William Lee. Tidak banyak orang yang tahu memang, karena itu keinginan tuan besar Thomas Lee.

Program bea siswa itu hanya salah satu dari sekian banyak program amal yang dijalankan oleh Grup Lee. Selama bertahun-tahun, sejak perusahaan itu makin meningkat keuntungannya. Bersaing secara sehat dengan perusahaan industri sejenis. Dan bila perlu melakukan kerjasama dan memperoleh kejayaan bersama-sama.

Wilma Herdian terus menyindir William Lee dengan lebih banyak menyebutkan orang-orang yang selayaknya ia bantu, ketimbang menggunakan harta kekayaannya untuk berfoya-foya dan mendapatkan kesenangan pribadi semata.

Sesekali, Ronald Nasution menyela untuk menanyakan arah rumah Wilma Herdian. Yang dijawab dengan cepat oleh Wilma Herdian, kemudian melanjutkan kembali sindiran lainnya.

Wanita muda di hadapan tuan mudanya ini, berbicara tanpa henti, tidak memberi kesempatan bagi William Lee untuk melakukan pembelaan atau sanggahan. William Lee dibuat tidak berkutik dengan kata-kata pedas dan tajam.

Ronald Nasution kembali fokus memerhatikan jalan raya di hadapannya, mereka hampir tiba di tujuan. Ketika tiba-tiba suara sopran di belakangnya mendadak senyap dan terganti dengan suara nyaring yang lain, suara kulit bertemu kulit, serupa suara tamparan.

Ronald Nasution mengintip kembali dari balik kaca spionnya. Dilihatnya, tuan mudanya terlihat tercengang. Sementara mata Wilma Herdian terlihat nyalang. Apa yang terjadi? Tanyanya dalam hati. Ia melewatkan momen langka. Apakah tuan muda Lee atau Wilma Herdian yang melayangkan tamparan? Jawabannya segera ia dapatkan sesaat setelah itu.

"Kurang ajar!" seru Wilma Herdian. Tepat saat mobil berhenti di depan rumahnya. Mereka telah sampai di tujuan. Setelah itu, Wilma Herdian terburu-buru hendak membuka pintu mobil.

Gerakannya kalah gesit dengan gerakan tangan William Lee yang menarik tangannya, tanpa memperkirakan kekuatannya. Sehingga Wilma Herdian tertarik ke depan dan terjatuh tepat di dada William Lee.

Wilma Herdian berusaha bangkit dan menjauh dari William Lee. Tangannya terangkat, hendak melayangkan tamparan. Namun, dengan tangkas William Lee menangkap pergelangan tangan Wilma Herdian.

Tangan lainnya mencoba melayangkan tamparan, dan lagi-lagi William Lee berhasil mencegahnya. Kini, kedua tangan Wilma Herdian terperangkap ke dalam tangan besar William Lee.

Ronald Nasution hanya diam memerhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Alih-alih melerai dua manusia yang tampak sedang dikuasai emosi–lebih tepatnya Wilma Herdian yang terlihat sangat emosional.

"Lepas!" jerit Wilma Herdian.

"Aku lepas, asal kau berjanji tidak akan menamparku lagi."

"Biarkan aku turun!!" Wilma Herdian menaikan intonasi suaranya.

"Jika tidak?"

"Aku akan berteriak, kau hendak memperkosaku!!" Ancaman Wilma Herdian sedikit menggoyahkan hati William Lee, cengkraman kedua tangannya mengendur. Dan ini dipergunakan oleh Wilma Herdian membebaskan dirinya, lekas membuka pintu mobil, kemudian turun dengan tergesa-gesa.

Ronald Nasution memerhatikan William Lee beberapa saat. Tidak biasanya tuan mudanya terdiam. Biasanya ia akan lari mengejar wanita yang diinginkannya hingga dapat.

"Bos?" Ronald Nasution menegur dengan ragu.

"Susul dia, dan berikan ini. Diterima atau tidak, jangan kau ambil kembali." William Lee menyodorkan kotak berisi hadiah Wilma Herdian yang tertinggal di kursi penumpang.

Ronald Nasution menerima kotak itu dan turun dari mobil, menyusul Wilma Herdian ke rumahnya. Sementara William Lee menunggu dengan tenang di dalam mobil, memerhatikan seseorang keluar dari dalam rumah Wilma Herdian.

Ronald Nasution tampak berbicara sesuatu, kemudian menyerahkan kotak itu, seseorang dari dalam rumah menerima kotak itu, meski sempat terlihat menolak pada awalnya. Setelah tugasnya selesai, Ronald Nasution kembali ke mobilnya. Dan membawa kendaraan mewah hitam menjauh dari rumah Wilma Herdian.

Dalam perjalanan kembali ke rumah William Lee, tuan mudanya terlihat terdiam, pandangannya menerawang keluar jendela. Telunjuknya terlihat mengusap-usap bibirnya.

"Apa yang terjadi tadi, Bos?" Ronald Nasution masih memerhatikan dari balik kaca spion di atasnya, sambil tetap fokus menyupir.

"Manis," ucap William Lee lirih.

"Apa, Bos?" Ronald Nasution merasa pendengarannya salah menangkap ucapan William Lee. Manis katanya? Apanya yang manis?

Ronald Nasution terdiam sesaat, berpikir. Barulah ia paham maksud ucapan tuan mudanya. Tertawa kecil. Pantas saja, Wilma Herdian menamparnya. Tindakan impulsif sang bos, sungguh keterlaluan, dan tidak termaafkan.

"Dia itu, sangat manis, bukan?" William Lee mengalihkan pandangannya, menatap ke arah kaca spion mobil, memandang Ronald Nasution.

Seketika Ronald Nasution paham. Bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Lee, ia sangat mengenal tabiat tuan mudanya. Jika sedang mengejar wanita yang disukai. Sorot matanya memperlihatkan suasana hatinya. William Lee tengah jatuh cinta. Namun sayang, kali ini ia dihadapkan pada tipe wanita yang sulit ditundukkan.

Meski demikian, CEO yang juga mendapat gelar casanova, tidak pernah gagal dalam merebut hati wanita yang ia sukai. Dan mencampakkannya ketika ia bosan.

"Cari tahu tentang Wilma Herdian dan keluarganya." Perintah yang sudah tidak asing didengar seorang Ronald Nasution, kala bos mudanya menginginkan seorang wanita takluk di bawah kekuasaannya.

Sebulan lalu, Ronald Nasution pikir, William Lee tidak akan mengeluarkan perintah ini–informasi tentang Wilma Herdian. Tidak disangka, akhirnya perintah itu turun malam ini. Malam di mana William Lee mendapat tamparan dari seorang gadis yang belum memiliki hubungan apa-apa dengannya. Biasanya, ia akan mendapatkannya—tamparan di wajah, setelah memutuskan para wanitanya.

"Anda yakin, Bos?"

Seketika pandangan mata William Lee berkilat tajam. Seolah pertanyaan Ronald Nasution adalah sesuatu yang tidak pantas. Sejak kapan, asisten sekaligus supir pribadinya ini mempertanyakan keyakinannya setelah mendapat perintah?

Ronald Nasution berdeham. "Maksudku, Wilma adalah orangnya pak Rudi Setiawan. Aku rasa, dia tidak akan mengijinkan karyawannya, untuk ... umm ...."

"Siapa yang menyuruhmu untuk meminta ijin Rudi?" William Lee memotong begitu saja ucapan Ronald Nasution. Lancang! Sungguh lancang!

"Apa permintaanku kurang jelas?" William Lee masih menatap mata Ronald Nasution dari balik kaca spion.

"Baik, Bos." Ronald Nasution memilih mengalah. Percuma beradu argumen dengan William Lee. Sepertinya yang bisa mengalahkannya hanya Wilma Herdian. Sehingga tuannya ini berbuat curang. Membungkam mulut Wilma Herdian dengan cara tidak pantas.

"Besok pagi. Aku menunggu laporannya sudah ada di meja kerjaku." William Lee menutup ucapannya kemudian kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Tersenyum tipis.

avataravatar
次の章へ