webnovel

TELEPON TENGAH MALAM

Kekacauan politik dan ekonomi yang terjadi pada tahun sembilan puluh delapan menyebabkan ekonomi keluarga Felicia Putri, seorang mahasiswi di kota Yogyakarta, terpukul sehingga ia terpaksa harus pindah ke kos-kosan milik Tante Santi, teman baik mamanya. Memasuki minggu kedua tinggal di kos ini, Feli beberapa kali menerima panggilan telepon yang anehnya selalu terjadi di saat tengah malam. Pria misterius yang mencari seseorang bernama Lastri yang tak ia kenal, yang ternyata akan ia jumpai sosoknya dalam wujud hantu! Ternyata perjumpaan dengan hantu Lastri hanya merupakan permulaan dari kejadian-kejadian menyeramkan yang akan dialami oleh Feli di kos-kosan ini dan meneror kehidupannya. Sampai suatu ketika ia terjebak di alam gaib dan makhluk di sana bermaksud mengambil sesuatu yang ada di dalam tubuhnya. Tak disangka-sangka rupanya ia memiliki kekuatan dari artefak asing yang berasal dari ratusan tahun lalu yang berjulukan Magic Ray (Adanu Sekti dalam bahasa Sansekerta), di mana kekuatan itu diingini para makhluk antar dimensi, baik untuk kebaikan maupun kejahatan. Penasaran ingin tahu kelanjutannya kan? Selamat membaca.

BielivFelixia · 都市
レビュー数が足りません
63 Chs

Kembali Pulang

Menjelang malam, setelah sempat berdebat cukup panjang, akhirnya Nanta mengantarku kembali ke kos. Sebelumnya ia sempat menawarkan membantu mencari tempat kos baru untukku agar aku dapat melupakan kejadian semalam dan menghindari kalau-kalau hal itu terulang kembali. Bahkan mengenai biayanya, ia yang akan menanggung. "Kebetulan ada kamar kosong di kos perempuan dekat Suharti itu, lho. Aku kenal baik sama Ibu Kosnya. Masalah uang bisa diatur lah," bujuknya.

Namun, meskipun takut, entah kenapa hatiku tidak berminat untuk pindah dari tempat kosku sekarang. Apa mungkin karena ucapan gadis kecil itu, Erina, ketika kami berpisah? Masih terngiang suara lucunya di telingaku. "Om dan Tante sekarang bisa kembali. Tante nggak usah takut, sekarang tempat tinggal Tante sudah aman. Om juga, nggak usah khawatirin Tante cantik ini" ucapnya lugas. Kuingat juga senyum cantiknya saat itu.

"Kamu yakin, Fel? Berani?" Nanta mengelus lembut pipiku. Nada suaranya terdengar khawatir.

Aku mengangguk mantap. "Iya, yakin, kok."

"Kamu sendiri, Nan? Nggak takut tetap di situ?" balasku kemudian.

"Kosku itu dari dulu terkenal markasnya demit. Kalau aku takut, udah dari dulu-dulu aku pindah," jawabnya enteng. Entah sungguhan atau bercanda.

"Hmm, OK kalau gitu. Sampai ketemu besok ya." Ia menyalakan sepeda motornya.

"Pokoknya kalau ada apa-apa, telepon aja ke kos. Nanti aku pesen sama Nia." Matanya lekat menatapku.

"Iya, bawel. Tenang aja. Dah, kamu hati-hati di jalan."

Ia melemparkan senyum sebelum menarik gas motornya dan berlalu. Pandanganku mengikuti sosoknya hingga jejak lampu belakang motor yang dikendarai itu menghilang di belokan jalan.

"Hayo, pacaran melulu!" teriak Fay begitu aku melangkah masuk melalui pintu pembatas dapur dan bangunan kos. Ia berdiri berkacak pinggang di depan pintu kamarku.

Lia terkekeh di sampingnya. "Iya, nih. Pagi-pagi buta udah ngelayap. Jam segini baru balik kos."

"Biarin. Memang kalian doang yang bisa pacaran?" Aku berlagak sewot.

"Diih, marah dia, Ya."

"Lagi dapet kali, Fay."

"Berisik, iih. Nih, aku bawain burger buat semua." Aku menyorongkan bungkusan plastik yang kubawa.

"Asyiikk …" serbu Fay dan Lia.

"Anak-anak, ayo pada keluar! Si Feli bawa makanan," teriak Fay lagi. Pintu kamar lain terbuka satu persatu. Devi, Mita, Maria dan Rita muncul dari kamar mereka. "Waah, dalam rangka apa ini, Fel?"

"Baru jadian dia," celetuk Lia.

"Oh ya? Selamat, ya." Maria menyalamiku diikuti yang lain. Dengan cepat burger di dalam tas plastik itu berpindah tangan ke masing-masing mereka. Segera saja keriuhan melanda ruang tengah kos kami itu. Mataku melirik sekilas kamar yang pernah dihuni Mbak Lastri. Tidak terasa getaran aneh ataupun perasaan mencekam di sana. Sepertinya sudah tidak ada yang perlu aku takutkan. Aku tersenyum menatap keseruan teman-teman kosku dan segera larut berbincang dan terbahak bersama sampai larut malam.

Setelah semua hiruk pikuk itu aku masuk ke kamar dengan perasaan gembira. Kombinasi antara kegembiraan dan lelahnya tubuh dan jiwa membuatku langsung tertidur begitu kepalaku menyentuh bantal. Rasanya nyaman dan damai sekali istirahatku hingga bangun dengan segar keesokan paginya. Lega sekali rasanya dapat tidur nyenyak tanpa gangguan.