webnovel

Murid Pindahan

~ Prolog ~

"Maaf, Arka. Gue rasa kita lebih baik bersaing lagi. Bersaing dengan ikatan sebuah hubungan gue pikir lebih mudah, ternyata lo malah nyerah. Jadi, mending kita ketemu lagi di masa depan."

"Mudah ya, Ay? Gue masih inget plain lo dan gue gak seharusnya masuk, kan? Semoga plain lo berjalan lancar, ya."

"Tentang laporan keuangan yang lo bikin dan nilai lo akhir-akhir ini gue kecewa. Kenapa nilai lo ancur? Dan lo udah ambil stand bikin laporan itu udah lama, kan? Sementara olimpiade baru aja di umumin. Salut gue, tapi yang gue heran kenapa nilai keseharian lo anjlok, dan jangan bilang ntar di olimpiade lo juga nyerah. Bukan Arka yang gue kenal banget."

Arka mengerutkan keningnya, melihat kepergian Ayrin dengan kalimat yang mungkin baru saja membuat hatinya mencelos sakit, dia hanya bisa diam.

Entah salah dibagian yang mana, padahal hubungan mereka baik-baik saja akhir-akhir ini. Tapi, keputusan Ayrin seakan menjadi keputusan sepihak yang bahkan tak pernah Arka bayangkan.

Kenapa harus masalah nilai? Kenapa Ayrin terlalu mempermasalahkan itu? Andai aja dia tau kenapa Arka mendadak bego dan nilainya menjadi hancur, padahal itu karena dirinya.

Bukan. Ayrin nggak akan terima kalau itu gara-gara dia. Salahkan aja Arka. Kenapa dia tak bisa mengatur hatinya, antara pacaran dan persaingan di sekolah. Bukan Ayrin namanya jika gadis itu tak gila belajar. Dan sekarang Arka kesal, bahkan dirinya tersingkir oleh tumpukan buku Ayrin yang seakan menjadi magnet gadisnya.

~ Start Present ~

Gadis berusia delapan belas tahun yang mendekap beberapa buku tersebut berjalan santai menuju kelasnya. Ayrin Bellvania, siapa yang tidak kenal dengan dia?

Gadis pintar yang menjadi kebanggaan SMK Negeri Bintang, bahkan beberapa teman lelakinya mengidamkan gadis seperti Ayrin. Tak hanya cantik, tapi juga berprestasi. Siapa yang tidak suka? Hanya saja, dia terlalu cuek dengan dunia sekitarnya.

Buku, iya, hanya buku yang tampak menyita perhatian dan kesehariannya hingga saat ini. Dia juga tidak pernah terlihat bersama teman-teman perempuannya seperti kebanyakan anak SMA lain yang mempunyai geng.

Bagi Ayrin, tidak ada yang lebih penting daripada belajar. Kecuali, Arka. Iya, lelaki itu yang berhasil mengambil hati seorang Ayrin.

Tidak hanya Ayrin, Arka juga pintar. Bedanya, dia tak pernah serius untuk belajar. Cerdas, itu kata yang cocok buat seorang Arka. Dia tak pernah benar-benar serius belajar tapi kemampuannya tak usah di ragukan. Dia mampu menyaingi Ayrin yang bahkan dua puluh empat jam harus menyentuh buku.

Sementara, Arka hanya perlu menyimak setiap pelajaran ketika guru menerangkan. Dia tak pernah serius belajar untuk mengulang pelajaran ataupun menghapal.

"Ka, ntar abis jam pertama izin dulu ya. Ada rapat osis."

Bumi yang barusaja memasuki kelas langsung menuju ke meja Arka. Memberitahu informasi tentang rapat osis yang akan diadakan setelah jam pertama berakhir.

Selain menjadi murid cerdas, Arka juga menjabat sebagai waketos dan Bumi sebagai ketuanya. Dua tahun terakhir ini mereka selalu bersama, menjadi ketua dan wakil tanpa pergantian.

Pilihan murid lain dan kepala sekolah selalu tak pernah berubah ketika akan ada pergantian ketua dan wakil osis. Mereka mempercayai Bumi dan Arka. Tapi, tidak untuk yang ketiga kalinya. Sebentar lagi akan ada pemilihan baru dan mereka harus memberi kesempatan untuk yang lain. Mengingat mereka sudah kelas duabelas, mereka juga akan disibukkan ujian nasional nantinya.

Yang tadi hanya duduk seraya mengobrol dengan teman lainnya, Arka mengangkat kepala untuk merespon ucapan Bumi kemudian melengkungkan tepi bibirnya serta menunjukkan jempol sebagai tanda dia paham.

"Bumi, tadi lo nganter Seyla ke kelasnya?" tanya Arka.

Bumi memutar matanya, mengerti dengan pertanyaan Arka yang akan mengarah pada satu nama, Ayrin.

"Ayrin belajar di dalem kelasnya," jawab Bumi tanpa basa-basi.

"Gue nanya apa ya?" Arka berlagak bodoh.

"Halah gue paham, Ka. Daripada nanya mending ntar lo samperin aja dia." Bumi mengedipkan matanya kemudian berlalu menuju ke tempat di mana dia duduk.

"Lah, katanya ntar rapat osis." Arka meninggikan suara karna jaraknya dengan Bumi yang lumayan jauh.

"Bacot, dah. Ya serah lo dah kapan aja, yang penting samperin gitu maksud gue. Btw, Ka." Bumi menundukkan kepalanya dengan tubuh miring dari kursi tempatnya duduk untuk menghadap Arka. Dia tampak mengetukkan jari telunjuknya terlihat seperti berpikir.

Arka hanya merespon dengan tatapan jengah, Bumi selalu begitu. Ketika ingin mengatakan sesuatu selalu membuat orang lain menunggu dulu.

"Anak kelas sebelah katanya suka sama Ayrin, ya?" lanjut Bumi yang membuat tawa Arka akhirnya pecah.

Tak lama kemudian tiba-tiba seorang teman perempuannya menggertakkan buku di meja Arka, lalu membolak-balikkan halamannya. "Bayar kas, Arka. Lo ngutang mulu udah dua hari nih," ucapnya malas tanpa mau menatap Arka yang tengah diajak bicara.

"Anjir, bentar deh, ada yang lebih penting dari bayar kas. Minggir dulu, ntar gue lunasin." Arka mencoba menggeser tubuh temannya tersebut karna menutupi pandangannya ke arah Bumi.

"Dia pinter gak, Bum?"  tanyanya melanjutkan obrolan yang sempat terjeda beberapa menit. Arka benar-benar tak peduli dengan tagihan kasnya yang sudah menunggak dan malah terus melanjutkan obrolannya dengan Bumi.

"Ya, menurut lo gimana? Ada gak yang lebih pinter dari lo dan Ayrin?" seloroh Bumi seolah tahu tipe Ayrin adalah laki-laki pintar yang sama seperti gadis itu.

Jeje yang masih setia menunggu Arka memberikan uang kas langsung melakukan aksinya sedikit memaksa ketika melihat temannya itu malah mengabaikan dirinya.

"Yaelah, Je." Arka menatap Jeje yang malah merampas uangnya di saku. Lagi-lagi perempuan itu menutupi pandangan Arka ke arah Bumi.

"Udah nih cukup buat seminggu," ucap Jeje menunjukkan uang milik Arka tepat di depan wajahnya kemudian berlalu pergi setelah uang tersebut dimasukkan ke dalam dompet kecil yang isinya kebanyakan uang recehan.

"Ngawur ya lo, ntar gua makan apa." Arka menarik lengan Jeje, berusaha merampas kembali uangnya. Bersamaan dengan suara gemuruh dan—

"Ka, Ayrin tuh!"

Masih dengan posisi ingin merampas uangnya, Arka hanya memutar kepalanya menghadap ke depan dan benar, Ayrin ada di depan sana bersama Bu Yulia di sebelahnya.

"Anak-anak minta perhatiannya dulu," pinta Bu Yulia.

"Arka, Jeje, bisa duduk?" lanjut bu Yulia yang melihat dua murid itu masih berdiri tampak merebutkan sesuatu yang tak lain adalah uang Arka.

Jeje menyengir kemudian menghempas tangan Arka dan menjulurkan lidah yang dibarengi dengan tawa ringan karna Arka tak berhasil merebut uangnya kembali. Gadis itu berjalan santai menuju bangkunya, sementara Arka tampak bingung mengenai gadis yang berada di depan sana.

"Lah, Ay," gumamnya.

*** Bersambung...

次の章へ