Pagi hari, di sebuah kamar hotel di pusat Kota Akademi, Anggi baru saja terbangung dari tidurnya. Ia duduk di tempat tidurnya, melihat jam digital di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Sama seperti orang lainnya, ketika tidur Anggi tentu tidak memakai kacamata hitam yang biasanya selalu ia pakai. Sebagai gantinya, penutup mata hitam, seperti yang biasa dilihat di tokoh bajak laut terpasang di mata kanannya.
Anggi bangun dari tempat tidurnya, di badannya ia hanya memakai celana dalam. Dia lalu memakai celana jins pendek hijau tua serta tanktop dengan warna serupa. Anggi kemudian turun ke lantai bawah menyantap sarapan. Setelah perut terisi, dia kembali ke kamarnya, sekitar dua jam kemudian ia habiskan waktunya untuk push up, sit up, pull up dan kegiatan lain yang rutin ia lakukan.
Setelah puas, Anggi lalu mengganti penutup mata dengan kacamata hitam, mengambil sweater krimnya dan berlalu keluar dari hotel, menuju alamat yang diberikan Bayu. Lokasinya tidak terlalu jauh dari hotel tempat ia menginap, jadi Anggi memutuskan untuk berjalan kaki ke sana.
Hanya dalam lima belas menit, Anggi mendapati dirinya di sebuah gedung rumah susun tua. Dari luar, dinding gedung sudah dipenuhi oleh lumut. Anggi berjalan masuk, kemudian melihat seorang lelaki paruh baya dengan perut buncit duduk di pos penjaga.
"Selamat pagi," Sapa Anggi, namun ketika dia mendekati posisi lelaki itu, dia menemukan kalau lelaki itu sedang memandang dirinya dengan tatapan kurang mengenakkan.
Pandangan lelaki itu terpaku pada bagian kaki, khususnya pahanya yang sedikit terlihat karena celana jins pendeknya. Anggi nyengir sambil menggelengkan kepalanya. Dia hiraukan lelaki penjaga itu, berjalan ke lift yang di ujung ruangan.
"Hei! Mau ke mana kau?!" Teriak lelaki itu di belakangnya. Anggi tidak menggubris, ketika lift sampai, ia langsung masuk. Menekan tombol empat, menuju lantai letak kamar target yang tertera pada alamat.
Anggi sesungguhnya masih tidak sepenuhnya percaya dengan alamat yang diberikan Bayu. Ia ingin melihat kebenaran dengan mata kepalanya sendiri. Fara menyebutkan kalau Bayu sepertinya memiliki artifak yang bisa memberinya informasi. Fara sangat takjub dengan kemampuan Bayu, karena selama dia di Kembang, yang ia lihat dari keseharian Bayu adalah tidur.
Jadi, bagaimana dia bisa mendapatkan informasi? Anggi juga bertanya-tanya akan hal ini, kalau alamat ini benar mengantarkannya ke Anthony, dia pun akan sangat takjub.
'Kalau ini benar, dia lebih mengerikan dari yang kuduga.'
Tiba di pintu depan, Anggi meneliti sekitaran depan kamar. Tidak ada yang mencurigakan, situasi sekelilingnya pun sepi. Anggi kemudian melihat bel di samping pintu. Di atas bel, terdapat sebuah lensa optik, kamera pengawas untuk melihat tamu. Anggi menekan bel, lalu menutup kamera dengan tangannya.
Ding dong
Seorang pria tinggi dengan rambut panjang diikat ke belakang, mendengar bel pintunya berbunyi. Pria itu keluar dari kamarnya, melihat ke arah pintu depan. Wajahnya mengerut, di Nusa ia tidak memiliki banyak kerabat, sehingga bunyi bel membuat dirinya sedikit waspada. Ia berjalan ke sofa, mengangkat bantalan duduk sofa itu, lalu mengambil sebuah parang yang tersembunyi di baliknya.
Parang tersebut memiliki sarung pedang berwarna merah terang, di bagian bagian pangkal pedang terdapat sebuah batu berbentuk bola dengan cahaya jingga yang menyala ketika pria tersebut memegangnya.
Pria itu lalu berjalan perlahan mendekati pintu depan, menatap ke layar yang menayangkan situasi luar pintu. Tetapi, pria itu mendapati kalau layarnya tidak menayangkan apapun. Hanya gelap semata. Pria itu mengumpat di dalam hatinya, ia menyalahkan pengelola rumah susun usang ini.
'Dasar tidak becus!'
Ding dong
Pria itu mendengar kembali suara bel. Ia dekatkan kupingnya ke pintu, mencoba mendengar suara di luar. Hening.
Ding dong… ketiga kali bel dibunyikan.
"Siapa?!" Teriaknya.
"Saya penghuni baru di kamar sebelah. Ingin sekadar menyapa sambil memberikan sedikit kue."
Pria itu lalu mendengar suara perempuan bernada rendah dari luar. Mendengar kalau orang di luar adalah tetangga baru membuatnya sedikit lega. Pria itu lalu menyembunyikan parang di balik punggungnya kemudian menarik nafas panjang sebelum membuka pintu. Ketika pintu dibuka, ia melihat seorang perempuan berkacamata hitam berdiri tegak di depan pintu. Perempuan itu, Anggi, melihat dirinya dengan senyum menyeringai.
"Seriusan, bener dong."
Pria itu tertegun, ia meneliti sosok perempuan di depannya. Dengan sekejap ia sadar akan sesuatu yang ganjal.
'Di mana kuenya?! Shit!'
Belum sempat pria itu bereaksi, Anggi sudah duluan menerjangnya. Cengkraman tangan Anggi mengarah pada leher pria, bertujuan untuk mencekik. Pria itu secara reflex melangkah mundur. Melihat itu Anggi merubah cengkraman menjadi kepalan, ia lalu meninju dada pria itu dengan keras. Seketika tubuh pria itu melayang ke sisi lain ruangan.
Bruak.
"Uhak! Siapa kau?!" Erang si pria.
Anggi berjalan perlahan masuk, "Anthony Poliester, buronan kelas A Union karena telah mencuri sebuah artefak dari museum pribadi salah satu keluarga ternama di Matador. Sungguh, menemukanmu semudah ini... hehehe~"
Anggi berjalan perlahan sembari mengkletekkan tangannya. Senyumnya lebar sumringah, layaknya predator yang sudah lama tidak bertemu mangsa, Anthony berdiri, nafasnya agak berat akibat pukulan Anggi. Dari kekuatan pukulan yang ia terima, dia memperkirakan kalau kekuatan Anggi berada pada sekitaran kelas emas.
'Ini tidak mudah.'
Anthony lalu mengeluarkan parang dari belakang punggungnya. Melihat itu Anggi berhenti melangkah, ia memperhatikan pedang berbentuk parang yang diperlihatkan Anthony.
'Artifak!' Anggi seketika melihat bola jingga di pangkal pedang. Anggi menyadari bola itu. Anthony bergerak mengeluarkan parang dari sarungnya.
"Membara dan jadikan semua abu, [Flame Sword]!"
Anthony menebaskan senjatanya ke arah Anggi, seketika api merah memenuhi ruangan, bergerak menyerang Anggi. Dengan segera Anggi langsung menyalurkan auranya ke kaki kanan, lalu menendang sekuatnya lantai kamar hingga hancur menembus ruangan di bawahnya. Kurang dari sedetik api itu menyelubunginya, Anggi menjatuhkan diri ke ruangan bawah, lalu menggelinding menghindari api yang akan datang dari atas.
Woosh…!!
Anthony tidak menyangka musuh dapat menghindari serangannya dari jarak yang terbilang dekat. Dia berlari menuju lubang, melihat ke bawah. Anthony tidak melihat sosok perempuan di sana, dia sedikit bingung, namun kabur menjadi prioritasnya. Ia membalikkan badan ke arah pintu keluar.
Bruak!
Tiba-tiba, lantai di depan Anthony hancur seketika. Ia melihat perempuan itu telah meninjunya dari bawah.
"Bangsat!"
Anthony kembali bersiap mengeluarkan api dari parangnya. Sebelum api keluar, dengan sigap Anggi menyelinap ke belakang tubuh Anthony. Dia pukul leher, punggung, pinggang dan tendang belakang lutut Anthony secara berurutan. Anthony seketika berlutut setelah lututnya di tendang, seluruh bagian belakang tubuhnya terasa sakit. Udara seperti hilang seketika dari paru-parunya, pandangan sedikit kabur, nafas berat terasa, ia melirik ke belakangnya. Anthony melihat Anggi berseri, siap mencengkramnya kembali.
Anthony menggertakan giginya, kali ini dia sudah tidak berpikir untuk menghemat auranya. Setengah jumlah aura yang ia miliki dengan sekejap ia alirkan ke [Flame Sword]. Dengan tekad kuatnya, ia tancapkan [Flame Sword] ke lantai.
'[Blast]!'
BOOM!!!
Seketika ledakan api kuat menyelubungi seluruh ruangan. Akibat rumah susun yang tua dan usang, dinding ruangan tidak mampu meredam ledakan dan hancur. Membawa kamar-kamar di dekatnya menjadi reruntuhan. Anggi yang tidak jauh dari titik ledakan, menyilangkan tangannya sembari mengalirkan aura ke seluruh tubuh. Ia tidak menyangka kalau ledakan akan sangat kuat. Anggi terdorong ke dinding yang kemudian ikut hancur, membuatnya terpental keluar. Jatuh ke tanah dari lantai empat.
Gubrak!
Orang-orang sekitar tentu mendengar dan melihat ledakan itu. Semuanya berlari panik ke sana kemari. Namun mereka tidak menyangka ada tubuh manusia yang jatuh dari langit ketika itu. Orang-orang itu tertegun, mereka agak tidak percaya, melihat seorang perempuan tiba-tiba berdiri. Perempuan itu diselubungi oleh api yang membakar sweaternya.
"Sialan, setahun gak kerja membuatku agak karatan."
Anggi membuka sweaternya, ia lalu mengambil bungkusan rokok dari saku belakang celana. Mengambil satu batang dengan mulutnya, lalu membakarnya dengan api di sweater. Ia buang sweaternya, lalu menengadah melihat api yang membara di lantai empat gedung. Dia juga melihat kalau setengah dari lantai empat gedung telah hancur akibat ledakan. Kalau tidak ditindak lanjuti, ada kemungkinan lantai di atasnya akan runtuh.
"Haa~ tampaknya dia berhasil kabur."
Anggi menghembuskan asap rokoknya, ia lalu melirik ke sekitar. Orang-orang sedang mengamati dirinya. Anggi kembali menengadah. Ia lalu berpaling ke seorang perempuan muda yang sedang memegang ponsel.
"Hei kamu! Cepat panggil 112!"
Perempuan itu lalu sadar seketika, dengan panik ia memanggil nomor darurat. Setelah melihat panggilan terhubung, Anggi berjalan menjauhi kerumunan. Dalam pikirannya, ia memikirkan cara mengejar Anthony. Tidak selang lama, ponsel di saku celananya bergetar. Ia melihat kalau ada panggilan masuk dari Bayu. Anggi sedikit terkejut, ia terima panggilan itu.
"Halo, Bos."
"Siapa yang kau panggil Bos? Panggil aku dengan guildmaster."
"Hehehe, tapi guildnya juga belum ada, kan?"
"…"
"Hahaha!"
"Hah—ya sudahlah, sekarang akan kukirimkan alamat baru. Kau pergi ke sana, Anthony akan ada di sana."
"Wah! Juara kamu Bos! Hahahaha!"
Bayu di Kembang memegangi keningnya. Dia benar-benar merasa aneh dengan julukan bos. Merasa percuma mengganti panggilannya, Bayu pasrah. Dia sudah tidak mau memikirkannya lagi.
"Ah, Anggi…"
"Ada apa, bos?"
"Anthony mempunyai satu artifak lagi yang berada dalam dirinya."
Anggi berubah serius, artifak yang bisa di simpan dalam alam bawah sadar atau jiwa seseorang setidaknya memiliki tingkat pusaka. Dia lalu mengingat kejahatan Anthony yang mencuri artifak dari museum.
'Jadi artifaknya belum ia jual.'
"Berhati-hatilah, artifak lainnya merupakan [Tizona], akan sedikit menyulitkan kalau ia menggunakan kekuatannya."
"[Tizona]?" Anggi tidak mengetahui artifak yang dimaksud.
"Artifak pusaka dari Matador, pedang milik El Cid ketika dia…. Haa~ kau tidak akan peduli juga. Intinya, aku pikir kekuatan [Tizona] adalah membuat musuhnya kehilangan niat bertarung. Tetapi…"
Anggi mendengarkan penjelasan Bayu dengan seksama. Setelah selesai, Anggi nyengir. Ia tutup panggilan, membuka pesan yang baru dikirim oleh Bayu. Mengingat alamat baru dan berjalan menuju tempat Anthony berada.
Anggi merasa terangsang, entah mengapa, namun ia merasa kalau kehidupannya di hari esok akan sangat menarik. Kemampuan mencari informasi Bayu benar-benar membuatnya kagum. Anggi tidak berani berpikir jikalau petinggi Nusa tahu akan kekuatan bosnya.
Anggi hanya dapat tertawa keras, ia tidak pernah menyangka kalau ia bertemu dengan orang paling menyeramkan di sepanjang hidupnya. Untungnya orang itu malas dan suka tidur.
Anggi lalu membayangkan wajah keluarganya yang sudah mulai kabur diingatan.
'Kali ini, akhirnya, aku akan tahu apa yang terjadi pada kalian.'