webnovel

Istana Ratacia

編集者: Wave Literature

Felicia berbalik dan menyadari bahwa Annie, Colin, dan beberapa siswa lain berdiri dan ingin mencoba berbicara dengan Lucien. Dia sedikit tersenyum dan melangkah maju.

"Tuan-tuan dan Nona-nona, untuk merayakan keberhasilan besar konser dan prestasi Lucien dengan Simfoni Takdirnya, aku ingin mengundang kalian semua ke pesta dansa pada hari Jumat malam di rumah keluargaku. Pak Victor sudah setuju, jadi sekarang aku ingin tahu berapa banyak dari kita yang ingin ikut serta."

Meskipun Felicia tidak mau membiarkan teman-teman sekelasnya memiliki hubungan dekat dengan Lucien seperti dia, tapi dia mengerti bahwa mengecualikan teman-teman sekelasnya yang lain bukan langkah yang baik untuk memberikan impresi bagus pada Lucien.

"Benarkah? Aku mau!" Renee tersenyum lebar. "Aku dengan senang hati akan ikut!"

Semua siswa yang lain berjanji untuk ikut serta juga.

"Bagaimana denganmu, Lucien?" Felicia tersenyum.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Lucien. Dia mengangguk dan menjawab, "Tentu saja, Felicia."

Murid-murid lain tampak semakin gembira setelah mendengar bahwa Lucien juga akan ikut serta di pesta dansa.

"Baiklah kalian semua, simpanlah dulu kegembiraan kalian untuk hari Jumat nanti." Pak Victor berjalan ke bawah sambil memegang buku-buku. Dia tampak berenergi. "Sekarang waktunya untuk belajar."

Lucien baru akan mencari tempat duduk ketika Lott menghentikannya. Lott berbisik di telinga Lucien, "Aku dengar bahwa Mekanzi sama sekali tidak menyukaimu. Berhati-hatilah ketika kau berada di istana."

"Terima kasih, Lott. Aku akan berhati-hati," jawab Lucien dengan sopan. Namun, pikirannya sepenuhnya terfokus tentang bagaimana menyelamatkan Joel dan keluarganya. Lucien tahu dengan jelas bahwa, semakin lama dia menunggu, maka semakin kecil kemungkinannya untuk menyelamatkan mereka. Dia benar-benar tidak berminat untuk memikirkan bagaimana berurusan dengan Mekanzi.

Sementara itu, Lucien juga sadar bahwa dia juga harus sangat sabar. Bertindak terburu-buru hanya akan membahayakan Joel dan keluarganya.

Pada saat itu, Lucien merasa seperti sedang berjalan di atas tali untuk menyeberang tebing. Dia harus menemukan keseimbangan antara bersabar dan bersiap untuk mengambil kesempatan. Terlalu condong ke satu sisi akan langsung membuatnya jatuh.

Dengan ingatan yang luar biasa dan cara belajar yang tepat, sekarang Lucien bisa membaca sebagian besar bahan pembelajaran dengan mudah. Lucien memfokuskan pikirannya dengan dunia musik, yang mana membuat perhatiannya teralihkan dari kecemasannya.

Sebuah rencana yang berani perlahan mulai terbentuk dalam benaknya.

Selesai belajar hari ini, Lucien kembali ke gubuknya. Dia membungkus beberapa barang dan membawanya ke rumah sewaannya.

Segalanya tampak sangat normal. Karena itu, ketika Lucien mengeluarkan surat itu di malam hari, hanya ada beberapa kalimat sederhana yang tertulis:

"Hati-hati besok. Jangan melakukan hal-hal bodoh. Kami mengawasimu."

...

Lucien tidur nyenyak semalam dan dia merasa sangat segar ketika dia bangun.

"Hari ini sangat penting. Aku tidak bisa membuat kesalahan," pikir Lucien pada dirinya.

Tidak ada yang kata-kata baru di surat itu. Setelah sarapan, Lucien datang ke asosiasi dan memasuki ruang latihan. Dia mulai bermain piano untuk mengurangi kecemasannya.

Lucien masih belum cukup terampil dalam memainkan Simfoni Takdir dengan sempurna. Setelah mempelajari lagi permainan jari dasar, Lucien mulai memainkan Piano Sonata Nomor 8 di C minor milik Beethoven, yang biasa dikenal dengan Sonata Pathétique.

Lucien tidak tahu kenapa dia punya ketertarikan tersendiri pada karya musik Beethoven. Mungkin karena Lucien bisa memahami penderitaan dan rasa sakit yang dialami Beethoven, dan dia juga menghargai ketekunan serta semangat kepahlawanan sang ahli musik ini.

Karena Lucien belum pernah berlatih Sonata Pathétique sebelumnya, jadi permainannya agak mengerikan. Namun, memainkan musik ini berulang-ulang adalah cara yang bagus bagi Lucien untuk melelahkan dirinya, dan dengan demikian menghilangkan tekanannya.

Setelah itu Lucien beristirahat di kantornya.

Seseorang mengetuk pintu kantor Lucien pada pukul 10:30. Dia adalah Elena.

"Lucien, wagon sang putri menunggumu di depan."

"Aku akan segera kesana. Terima kasih, Elena," jawab Lucien.

Dia perlahan berdiri dari sofa dan berjalan menuju cermin. Lucien menatap dirinya di cermin selama tiga puluh detik. Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu berjalan keluar dari kantornya.

...

Lucien duduk tegak di dalam wagon berwarna ungu tua yang didekorasi dengan lambang keluarga Violet. Dia merasa pergerakan wagon ini lumayan mulus. Karpet kuning tua dari Tria terasa tebal dan nyaman. Anggur yang ada di meja kecil di depannya berwarna merah tua delima. Namun, Lucien sama sekali tidak ingin minum, karena dia harus memastikan dirinya tetap sadar dan tenang di istana.

Sekitar sepuluh menit kemudian, wagon itu sampai di Istana Ratacia dengan tepat waktu. Gerbang depan istana yang megah itu terbuat dari batu dan terukir dengan gambar-gambar patung timbul para pahlawan terkenal dalam sejarah. Selusin penjaga yang dipimpin oleh seorang kesatria yang perkasa dan berotot sedang berdiri di depan gerbang.

Setelah pemeriksaan keamanan terhadap barang-barang pribadi Lucien, sang kesatria melambaikan tangannya dan membiarkan wagon Lucien lewat.

Begitu Lucien melewati gerbang besar, dia merasakan kekuatan Ilahi yang begitu kuat yang menyelimuti seluruh istana.

Istana berwarna emas cerah itu adalah struktur paling spektakuler dan megah di Aalto. Selain momentumnya yang luar biasa, detail Istana Ratacia juga dibuat dengan kerajinan tangan yang indah. Rancangan bangunan yang simetris menunjukkan keagungan rumah grand duke. Dua istana yang mirip kastel di bagian barat dan timur terhubung oleh istana megah yang ada di tengahnya.

Di depan istana utama ada sebuah alun-alun besar dengan air mancur yang bagus, yang dikelilingi oleh pohon-pohon serta bunga-bunga yang langka dan indah.

Sungai buatan yang luas mengalir melewati alun-alun itu, di mana beberapa perahu mengambang di tepi sungai.

Wagon yang Lucien tumpangi mengikuti jalan yang melewati taman, lalu menyeberangi jembatan panjang di atas sungai buatan, dan akhirnya berhenti tepat di depan istana utama. Dua pelayan cantik sudah menunggu di sana.

"Tuan Evans, tolong ikuti kami ke ruang latihan musik Tuan Putri." Kedua gadis berambut pirang itu tampak seperti saudara kembar. Mereka menyambut Lucien dengan hormat.

"Terima kasih." Lucien mengangguk dengan sopan.

Lucien mengikuti kedua pelayan itu. Dia melihat lebih banyak detail bangunan istana dalam perjalanannya ke ruang latihan. Para perancang dan arsitek menggunakan batu berwarna-warni terbaik sebagai bahan bangunan utama istana. Semua jenis batu yang berbeda itu bersinar terang di bawah sinar matahari. Di dalam istana, tangga dan pegangan tangannya disepuh dengan teliti. Dekorasi yang mempesona seperti kristal besar, tali putih halus, dan lukisan kubah yang indah bisa dilihat di mana-mana, yang berdasarkan tema istana yang berbeda-beda.

Karena kedua pelayan itu sangat mengenal jalurnya, mereka tidak berbicara dengan Lucien sepanjang jalan, tetapi hanya terus berjalan di depannya. Mereka dilatih untuk bersikap hormat dan tetap diam. Tidak lama kemudian, Lucien tiba di koridor yang sangat menawan.

Dengan menghadap ke arah taman, ada 24 jendela melengkung di satu sisi koridor, sementara di sisi lain, ada 24 cermin yang memantulkan keindahan pemandangan di taman. Seolah-olah koridor itu juga sepenuhnya ditanami dengan pohon-pohon dan bunga-bunga indah, yang mana menambahkan cahaya dan keindahan pada lukisan kubah besar yang megah di atas.

Ini adalah bagian paling terkenal dari Istana Ratacia — Koridor Surga. Lucien pernah membaca tentang ini sebelumnya ketika dia bekerja di perpustakaan Asosiasi.

Melewati Koridor Surga yang menampilkan gaya Ilahi yang agung, Lucien akhirnya tiba di istana tempat Putri Natasha tinggal. Istana itu memiliki nama yang unik — Galeri Perang. Di tempat ini, Lucien melihat banyak lukisan minyak bagus di dinding yang menunjukkan tema perang.

"Ini adalah ruang latihan Tuan Putri, Tuan Evans." Kedua pelayan itu mengarahkan Lucien ke sebuah ruangan yang sepi di sudut, dan memintanya untuk menunggu sebentar di luar, karena mereka harus melapor kepada Nona Camil terlebih dahulu.

Sesaat kemudian, Lucien diundang untuk memasuki ruangan.

...

Ruang latihan itu jauh lebih besar daripada yang ada di asosiasi. Warna oranye yang hangat dari ruangan itu terasa damai dan menenangkan. Karpetnya sangat mewah, dan di atasnya ada berbagai jenis alat musik yang ditempatkan dengan hati-hati. Di tengah ruangan berdiri sebuah piano berwarna emas cerah.

Natasha sedang duduk di depan piano dan memainkan musik yang disebut March of War. Permainannya sangat terampil, bahkan lebih baik daripada banyak pemain instrumen professional lainnya. Namun, dia sepertinya sengaja meniru permainan jari Victor, dan karena itu permainannya terdengar agak kaku.

Dengan mengenakan gaun hitam, Camil sedang duduk di sofa yang ada di ujung ruangan.

Natasha berhenti bermain ketika Lucien masuk ke dalam ruangan. Dia berbalik dan tersenyum padanya, "Aku sedang kesusahan mengikuti permainan jari Victor yang baru. Bisakah kau membantuku, Lucien?"

Dia berbicara dengan Lucien dengan cara yang baik, seolah dia adalah teman lamanya.

"Tentu saja. Saya dengan senang hati akan membantu." Lucien duduk di bangku lain dan mulai menjelaskan.

Lucien tahu bahwa sang putri sangat tertarik pada piano, dan karena itu Lucien sudah cukup siap untuk pertanyaan yang mungkin diajukan oleh sang putri. Meskipun dia tidak dapat menjelaskan dengan sempurna, Lucien sangat jujur ​​dan tulus. Itu membuat Natasha merasa bahwa ketika Lucien membimbingnya dengan tepat, pada saat yang sama, mereka juga belajar dan menjelajahi piano bersama.

Waktu dengan cepat berlalu. Ketika Lucien masih menjelaskan permainan jari yang baru, tiba-tiba Natasha menatapnya dan bertanya, "Lucien, apa sesuatu mengganggumu? Aku bisa merasakan kegelisahanmu."

Sebagai kesatria agung tingkat lima, intuisi Natasha memberitahunya bahwa ada sesuatu yang salah dengan Lucien. Karena sikap jujur sang putri, dia langsung bertanya.