webnovel

1 - Menikah karena Trauma?

Pernahkah terlintas dalam benak, bagaimana alasan setiap orang menjalani pernikahan? Atau... memutuskan menikah? Ada sebagian orang yang bisa mengatakannya karena cinta. Namun, tak sedikit orang memutuskan menikah bukan karena itu. Bisa jadi karena hal lain tak terduga; ya, semata karena sudah trauma dan membiarkan takdir masuk begitu saja.

"Kamu yakin mau menikah tanpa tahu dia siapa, Nak?" tanya Ibunya.

Hana mengangguk yakin.

"Kamu benar-benar yakin tak mau bertanya tentangnya sama sekali?" Ibunya bertanya lagi. Memastikan.

"Hana yakin sama pilihan Ibu. Hatiku sudah penuh sesak dengan nama laki-laki yang pergi. Aku ingin menerima dan mencintainya seperti Ibu yakin padanya."

"Kamu yakin?"

"Siapapun dia, aku yakin pilihan Ibu yang terbaik. Aku pergi ke kamar dulu ya, Bu."

Gadis 23 tahun itu adalah Hana Amalia. Akrab dipanggil Hana. Mahasiswi semester akhir, terkenal cerdas, meskipun pendiam dan banyak yang menggemarinya. Sosok perempuan idaman laki-laki pada umumnya. Namun, anehnya nasib percintaannya sangat tragis.

Cinta pertama Hana pergi begitu saja, tepat saat keluarga sudah memperbincangkan akad. Laki-laki kedua setelahnya juga pergi berselingkuh entah tanpa ia tahu alasannya. Dan ini lebih menyesakkannya mantan pacar ketiganya, ketahuan selingkuh dengan orang yang dikenalnya, menjelang akad tiba.

Hana sudah sangat sesak dengan deretan nama laki-laki yang singgah di hatinya. Namun, pergi tanpa menetap di sana.

"Semoga keputusanku ini tepat ya Tuhan," gumam Hana di kamarnya. "Hatiku seperti mau meledak kalau teringat nama-nama yang pernah singgah di hati, tapi tak menetap di sana."

"Ah... aku tak mau hidup stress. Bukankah ridho-Mu ada di ridho orangtua? Bapak sudah tiada. Berarti ridho-Mu ada di Ibu kan? Semoga pilihanku kali ini tak salah."

"Aku tak salah mengambil keputusan kan, Tuhan?!" Hana dengan mata belo dan wajah lembutnya terus bertanya pada dirinya sendiri. Tak sadar, bulir mata mulai membasahi pipi.

***

Bukan Hana namanya, kalau tak bisa mengolah sedih menjadi bahagia. Meskipun kisah cintanya begitu tragis, ia pandai membuat hidupnya terlihat manis. Keesokan hari, ia nampak ceria di kampusnya seakan tak ada tangis dan bersikap seolah tak ada apa-apa.

Seorang perempuan bertubuh kurus tinggi itu berjalan menuruni anak tangga. Tangannya sibuk memegangi ponselnya. Mulutnya seperti ingin bergumam dan berinteraksi dengan ponselnya sendiri.

"Heih? Kok gini ceritanya?" celetuk Hana sambil membaca novel digital di ponselnya. Ada mata kuliah bahasa Indonesia yang harus ditamatkannya. Sebab itu, akhir-akhir ini ia lebih suka membaca dan membaca lagi.

Bersamaan menjelang anak tangga terakhir, ia hampir saja tergelincir jatuh. Tiba-tiba saja gerombolan mahasiswa lain menabraknya seketika dari belakang.

Ponselnya sudah melesat di udara. Tubuhnya hampir saja jatuh tersungkur begitu saja. Untungnya, sebuah tangan laki-laki dari wajah yang sangat dingin itu menangkapnya.

Pertemuan dua pasang mata laki-laki dan perempuan itu seakan menghentikan waktu berputar seketika. Hana, mahasiswi jurusan sastra itu menatap mata Tirta. Mahasiswa hukum yang sangat terkenal berprestasi, tapi hampir tak ada yang mau mendekati. Ia hanya terlihat memiliki satu teman di kampusnya. Itupun, entah temannya atau bukan.

"Udah jatuhnya?" Ucap Tirta di depan wajah Hana.

Hana menatap cukup lama mata indah Tirta. Bening dan tajam. Matanya bulat dengan lentik alis yang sempurna. Karena perempuan yang di hadapannya tak merespon, Tirta pun melepaskannya begitu saja.

"Aw!! Sakit tahu!!" Hana kesal bukan main.

"Bodo amat!!"

"Dasar cowok gatahu diri!!"

"Apa?" Tirta menatapnya dengan tatapan lebih tajam.

"Iya. Cowok gak tahu diri! Mana ada cowok yang tega jatuhin perempuan!" cerocos Hana kesal.

Tirta menatap mata Hana lebih dalam. Seakan mencari kekuatan untuk dia tak meluapkan amarahnya. Beberapa saat kemudian, teman Hana datang menyusulnya.

"Han... kamu kenapa?" sapa Nia, teman Hana. Nia pun segera mengulurkan tangannya pada Hana.

"Gapapa, Ni. Yuk... kita pulang."

"Tir!! Gue tungguin di atas nih!" Suara laki-laki memanggil Tirta dari lantai atas. Tirta hanya menatap sekilas. Ia masih berdiri di hadapan Hana.

Hana dan Nia pun pulang bersamaan. Tinggallah Tirta seorang diri. Terlihat mahasiswa juga mulai sepi sudah pulang. Saat akan menaiki anak tangga, Tirta melihat sebuah ponsel di depannya.

"Ah... sudah bawel, ceroboh pula. Ponselnya pake ditinggalin segala. Dasar, cewek teledor!!" gerutunya.

Tirta pun mengambilnya. Bersamaan, ia menutup aplikasi novel digital yang masih menyala. Baru saja Tirta akan mememeriksa ponsel itu, seorang temannya memanggilnya dari atas.

"Hei, Bro!! Lagi ngapain sih berdiri trus sendirian di situ? Cepat kesini! Dosennya sudah nungguin!" pekik Adi, teman karibnya.

Tirta mengangguk. Ia taruh ponsel milik Hana di saku celananya.

"Ngapain sih ngelamun di tangga?" sapa Adi.

"Ngakpapa." Jawab Tirta singkat.

"Oh ya, mana Pak Budi?"

"Itu di ruangannya. Buruan gih temuin! Gue tungguin di sini, ya!"

"Gak mau ikut?"

"Ndak, ah. Lagi baca cerita seru, nih! Tanggung!"

"Cerita apaan, emang?"

"Anak hukum yang sok filsuf gak bakal tahu deh. Udah, sana! Good luck, Bro!"

Tirta pun segera pergi. Dengan tubuhnya yang tinggi menundukkan kepala. Pintu ruangan kantor dosen memang lebih pendek dari tubuhnya. Dengan wajah yang dipaksakan sedikit tersenyum, ia menghadap Pak Budi.

"Gimana, Tirta? Sudah pikirkan tawaran Bapak?"

"Tawaran?"

"Iya. Emangnya Adi belum kasih tahu ke kamu? Tadi Bapak titip pesan sama dia."

Tirta mengalihkan wajahnya ke arah pintu. Seperti melihat seseorang yang akan masuk.

"Tirta? Kenapa bingung? Kok diem?"

"Eh, nanti saya pikirkan lagi, Pak. Oh iya, ini tugas yang kemarin Bapak minta."

Dengan wajah gugup, Tirta menyerahkan berkas ke meja Pak Budi. Kini, Pak Budi yang mulai kebingungan.

"Saya permisi dulu ya, Pak."

"Oh iya. Yasudah... pikirkan lagi tawaran Bapak, ya."

Tirta kembali terdiam, tapi begitu seseorang membuka pintu, ia menegaskan diri pamit.

"Permisi, Pak."

Tirta berjalan terburu. Tanpa melihat siapa yang masuk dari arah pintu itu.

Brugg!!

"Lo lagi? Kenapa sih harus ketemu lo? Dasar, nyebelin!!" pekik Hana sambil menunjuk wajah Tirta. Kesal bukan main.

Wajah Tirta mulai memerah karena terpancing amarah. Namun, tak sampai hati meluapkan kemarahannya.

"Kalau punya mata buat liat! Jangan sok cool deh!" lanjut Hana menghardiknya.

Tirta berdiri dan lanjut berjalan. Sampai pintu keluar, ia sedikit berbalik arah menatap ke belakang. Melihat Hana beberapa detik. Lalu pergi meninggalkan wajah kesal di dalam matanya.

"Hallo..." sapa Pak Budi memanggil Hana.

"Eh, Iya, Pak. Maaf, agak telat. Saya lupa mau ngumpulin tugas."

"Oh iya, tidak apa-apa. Ini beneran sudah selesai?"

"Sudah, Pak. Saya permisi kalau gitu."

"Baik, Hana. Mana temanmu? Biasanya berdua."

"Ouh, Nia? Dia nunggu di luar, Pak."

"Oh iya, Bapak lupa mau kasih tawaran ke kamu. Ini. Silakan dibaca dulu, ya. Bapak percaya sama prestasi menulis kamu. Makanya Bapak tawarkan."

"Apa ini, Pak?"

次の章へ