webnovel

PROLOG

Tahun 1999

Tokyo, Kawasan Elit Real Estate

Suara desahan terdengar samar-samar di dalam sebuah kamar di paviliun di salah saru rumah gedung di kawasan elit kota Tokyo malam itu. Suara dengung serangga di luar paviliun itu mengalahkan suara-suara yang terjadi di dalam kamar tersebut.

Kenji Fujita mengangkat tubuh atletisnya dari sisi seorang wanita muda yang luar biasa cantiknya. Keduanya penuh peluh akibat dari permainan mereka semalaman.

Miyaki Asakusa mengangkat tubuh dan duduk bersandar pada sandaran ranjang sambil menatap Kenji yang sibuk memasang celana jeansnya. Wajahnya yang sangat cantik dengan kulit putih mulus dan bibir merah merekah, tampak mengatur napasnya yang masih memburu. Dia menjilat ujung bibirnya yang terasa sebal karena pria tampan di depannya barusan.

"Tinggallah sampai pagi, sayang," rengeknya dengan serak.

Kenji menoleh dan tersenyum lebar. Dia menatap Miyaki yang bersandar diselubungi selimut dengan rambut panjang berantakan persis seperti dewi malam yang penuh cahaya, sesuai dengan arti namanya. Miyaki, wanita cantik tengah malam.

Wanita itu mewakili seluruh kesenangan duniawi. Wajah yang cantik bagai boneka tak berdosa dipadu dengan tubuh yang menggiurkan bagai buah iblis yang mampu meruntuhkan pertahanan pria mana pun. Miyaki juga merupakan wanita kaya. Seorang isteri muda dari seorang yang sangat berpengaruh di dalam semua bidang perdagangan di Jepang, bahkan suami Miyaki sangat terkenal di luar negeri dengan kata lain, Miyaki adalah isteri seorang mafia.

Kenji teringat kata-kata isterinya. "Kau bermain dengan maut...dia isteri dari seorang mafia..." Kenji mendengus dalam hati. Apa lagi yang bisa dilakukan mafia tua itu? remehnya dalam hati.

Kenji berjalan mendekati ranjang, menekuk lututnya di tepi ranjang dan mengecup pipi Miyaki dengan tergesa-gesa. Membuat wanita itu mengeluh tidak puas.

"Aku mesti pulang. Besok malam kita bertemu lagi," senyum Kenji.

Miyaki mengernyitkan dahinya dan bibirnya membentuk tidak senang tapi dia menerima saja kecupan demi kecupan yang dilancarkan oleh pria tampan yang disenanginya itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di balik lubang kunci yang kecil itu, ada sebuah kepala kecil berambut hitam menatap itu semua dengan wajah dingin dan mata berapi. Tangannya yang kecil terkepal keras di dinding pintu. Tatapan matanya sama sekali tidak lepas menatap bagaimana pria tampan itu melepaskan pelukan dari tubuh ibunya dan menghilang dari jendela yang terbuka.

Bibir anak lelaki itu mendesis jijik dengan satu kata. "Ibu." Setelah itu dia menjauhkan dirinya dari pintu itu, memutar tubuhnya dan berlari memasuki gedung utama rumah mewah itu.

*****

Gadis kecil itu mengompres wajah ibunya yang penuh lebam itu sambil terisak-isak. Saat itu ibunya dalam keadaan pingsan setelah ayunan tinju ayahnya mengenai wajah lembut ibunya yang cantik namun tirus. Dia khawatir sekali dan ketakutan jika menemukan sesuatu yang salah pada wajah itu. Maka ketika dia mengompres, jari-jarinya yang mungil meraba wajah Akemi. Merasai tiap tulang yang berada di bawah kulit wajah itu.

"Bu, sadarlah," isaknya tertahan. Dia bersyukur bahwa tulang wajah ibunya tidak ada yang patah. Hanya lebam di luar. Meski demikian lebam itu akan menyisakan bekas yang cukup lama seperti yang sudah-sudah.

Akemi merasakan dingin di sekitar wajahnya yang berdenyut. Dia membuka matanya dan mendapati anaknya tengah menangis tanpa suara seraya mengompres wajahnya. Wajah mungil yang cantik itu tampak memerah dan ujung hidungnya yang bangir terlihat basah karena air mata yang mengalir tak pernah usai.

"Ruri, anakku..." Akemi mendesah lemah. Tangannya terangkat membelai wajah cantik tak berdosa itu. Menghapus aliran airmata yang mengalir dari sepasang mata bening itu.

Anak kecil yang bernama Ruri itu berseru girang melihat ibunya telah siuman. Segera di genggamnya jemari kurus itu dan diciuminya berkali-kali jari-jemari itu.

"Ibu sudah sadar?" Gadis kecil itu masih sanggup menunjukkan senyumnya di balik kesedihannya membuat hati Akemi sangat perih.

"Ke mana Ayahmu? Kamu tidak terluka olehnya kan?" tanya Akemi cemas. Dia berusaha bangkit duduk namun dengan tegas khas anak 7 tahun, Ruri menahan gerakan ibunya.

Bola mata Akemi membelalak. Dalam pikirannya, bagaimana bisa seorang anak berusia 7 tahun menahah tubuh orang dewasa. Apalagi dia terkejut bagaimana anaknya memeluk lengannya yang terlalu kurus.

"Ayo kita pergi Bu. Tinggalkan saja Ayah yang kejam itu. Biar saja kita jadi gelandangan dari pada hidup kita selalu ketakutan seperti ini," cetus Ruri mengagetkan Akemi.

Dengan gerakan cepat dia mencelat duduk dan merangkum wajah anaknya. "Demi Tuhan, kenapa kamu bicara begitu? Tidak baik anakku," tegur Akemi meskipun dadanya bergejolak mendengar kalimat anaknya.

Alis Ruri berkerut tidak puas melihat reaksi ibunya. "Mengapa? Mengapa aku tidak boleh berkata begitu? Ibu bisa meninggal jika terus-terusan dipukuli Ayah. Jika itu terjadi, aku juga akan mati Bu," ucapan polos Ruri membuat luka di hati Akemi bertambah parah.

Dipeluknya tubuh mungil itu dengan penuh kasih. "Huss...jangan bicara begitu. Ibu bisa bertahan sayang, asalkan Ayahmu tidak melukaimu,"bisik Akemi di atas kepala Ruri.

Ruri memeluk pinggang Akemi. Dia tidak mengerti bagaimana bisa ibunya bertahan di samping ayahnya yang memperlakukannya begitu jahatnya.

Akemi membelai sepanjang rambut milik Ruri yang panjang. Mereka berdua hanya saling berpelukan sehingga menjadi terlonjak kaget ketika pintu masuk rumah seperti dibuka dengan cara ditendang kasar.

Ruri mengangkat wajahnya dan mendapati Kenji memasuki rumah dengan wajah keruh. Tanpa memperdulikan bahwa anak dan istrinya berpelukan dengan wajah bekas-bekas airmata, Kenji melewati mereka dengan acuh tak acuh.

"Siapkan pakaian kalian! Kita akan meninggalkan Tokyo malam ini juga," perintahnya pada Akemi dan Ruri tanpa menoleh.

Akemi meminta Ruri untuk melepaskan pelukan darinya. "Tunggu disini. Ibu akan bicara dengan Ayahmu," dia bergerak meninggalkan Ruri dan menyusul Kenji yang berada di kamar.

"Apa yang membuat kita harus pergi...," kalimat Akemi mengambang di udara ketika dia melihat Kenji meletakkan banyak tumpukan ikatan lembaran uang bermata uang Dollar dan Yen di atas tempat tidur. Beberapa kartu kredit dan buku tabungan berserakan di samping tumpukan uang itu. Belum lagi perhiasan-perhiasan mahal yang bertumpuk dalam satu kotak berukuran sedang.

Akemi merasa lututnya lemas melihat itu semua. Dengan gemetar dia mendekati Kenji. "Kenji, dari...dari mana semua barang ini," seru Akemi di samping Kenji.

Sambil mengemasi barang-barang itu, Kenji berkata singkat. "Jangan banyak tanya."

Akemi memegang lengan Kanji. "Jawab aku! Dari mana semua ini, suamiku? Kamu tidak mencurinya kan?"

Mendengar perkataan Akemi, Kenji menoleh dan mendorong bahu isterinya dengan kasar. "Tutup mulutmu! Jangan pernah ingin tahu! Masih untung aku masih ingin membawamu bersama anak itu! Cepat berkemas," Kenji membuang muka dan membelakangi Akemi.

Akemi mundur dengan terisak. Ditatapnya punggung Kenji yang lebar. Dia tidak pernah tahu sejak kapan pria itu berubah seperti sekarang. Dia mulai memikirkan perkataan putrinya untuk meninggalkan Kenji. Dia memutar tubuhnya saat didengarnya suara dingin pria itu.

"Jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku!"

***

Sementara itu di kamar paviliun yang ditinggalkan oleh Kenji telah terjadi hal yang sangat luar biasa. Miyaki yang masih bergelut dengan selimut dikejutkan oleh pintu kamarnya yang didobrak oleh orang. Dia segera duduk tegak dan menarik selimutnya hingga ke leher ketika melihat beberapa orang pria besar tinggi dalam setelan jas hitam menerobos masuk ke kamarnya.

"Apa yang kalian lakukan di sini! Keluar! Aku akan memanggil Tuan Besar!! " teriak Miyaki marah.

Keempat pria berjas itu berdiri dengan teratur di depan ranjang Miyaki yang kusut. Mereka tidak menjawab apa pun melainkan bergerak kekiri kanan untuk memberi jalan pada seseorang yang suaranya lebih dulu muncul.

"Aku yang menyuruh mereka kemari, Miyaki."

Miyaki memandang pada pria setengah tua yang memasuki kamarnya dengan gagah dalam setelan jas hitamnya yang mengilat. Suara tongkatnya mengetuk lantai marmer di kamar itu yang membuat Miyaki merinding. Pria itu memang sudah tampak tua namun tubuhnya masih begitu tegap dan kokoh meski sebelah kakinya yang pincang ditopang dengan sebatang tongkat pilihan.

Wajah Miyaki memucat ketika bertatapan dengan sepasang mata pria itu yang kini telah berdiri di depan ranjangnya. Tapi dia berusaha menanangkan jantungnya dan mencengkram erat selimutnya.

"Sayang....tapi mereka bisa mengetuk pintu kamarku..."

"Kamar ini penuh dengan bau seks." potong pria tua itu dengan dingin.

Miyaki semakin kencang mencengkram selimutnya. Dia membelalak menatap suaminya.

"Suamiku...Aku.."

"Aku bukan suamimu lagi!"

Miyaki menelan ludah dengan susah payah. "Shinobu, aku..."

"Pria simpananmu itu telah banyak mencuri harta milikku!"

Miyaki terdiam. Pria yang bernama Shinobu Kimura itu menjadi sangat menyeramkan di mata Miyaki. Ada senyum jahat di wajah yang mulai menua itu. Miyaki melihat suaminya menggerakkan tongkat ke arahnya. Dia memejamkan matanya dengan ngeri.

Sebuah ujung tongkat yang dingin menyentuh tenggorokannya. "Kenji Fujita! Dia bukan hanya mencuri hartaku darimu tapi dia juga mencuri isteriku! Kau tahu apa yang akan terjadi pada dirinya kan?" Suara Shinobu mendesis di telinga Miyaki.

Di dalam benak Miyaki penuh dengan pertanyaan. Mencuri? Kenji mencuri dariku? Dia teringat bagaimana dia kehilangan beberapa buku tabungannya serta kartu kredit. Perhiasannya juga didapatinya lenyap sedikit demi sedikit. Kenji merampokku!! Miyaki panik. Ketika mereka menghabiskan malam bersama, kadang Kenji sering menanyakan kode rekening serta password kartu kreditnya. Bahkan dengan gurauan dia mengatakan bahwa dia mengetahui nomor sandi brankas milik suaminya pada Kenji dan menyebutkannya pada pria itu.

Dia menceritakan segalanya kepada Kenji di saat pria itu membuatnya mabuk oleh kasih sayang dan bujuk rayu.

Terdengar suara dengusan Shinobu. "Kau sudah sadar? Kau bukan hanya menjadi wanita rendahan yang tidur dengan pekerja bangunan itu tapi hartamu pun dirampoknya! Bahkan uang di dalam brankasku pun lenyap."

Airmata Miyaki berlinang. Rasanya dia tidak percaya Kenji berkhianat padanya. Tekanan ujung tongkat pada tenggorakannya makin terasa kuat.

"Kau bisa melihatnya di CCTV bagaimana bajingan itu merampokmu tiap kali dia menidurimu!" Shinobu memalingkan wajahnya memberi isyarat agar salah satu anak buahnya memutar rekaman CCTV pada sambungan USB pada televisi di kamar Miyaki.

Airmata Miyaki mengalir deras ketika rekaman CCTV itu dilihatnya saat bagaimana ketika dia tertidur, Kenji menggeledah isi lemarinya dan mengantongi buku tabungan dan kartu kredit serta beberapa perhiasan pilihannya. Bahkan CCTV berhasil merekam bagaimana pria itu menyelinap ke dalam brankas Shinobu dan membobolnya. Mengambil semua lembaran Dollar dan Yen yang ada di sana. Dan itu adalah setelah percintaan mereka beberapa jam yang lalu.

Miyaki merasakan tekanan pada tenggorakannya terlepas. Dia memegang lehernya dan melihat Shinobu dengan memelas. Dia memegang lengan pria itu tanpa peduli bagaimana selimutnya telah terlepas sehingga tubuh atasnya nyaris terlihat membuat para anak buah mafia besar itu membuang muka.

"Suamiku, maafkan aku, tolong maafkan aku..." Miyaki tersedu sedan.

Shinobu menatap wanita yang memeluk lengannya dengan jijik. Dengan kasar dia menolak tubuh yang melekat di lengannya itu.

"Keluar dari rumah ini! Sekarang juga! Jangan membawa apapun dari rumah ini! Sekarang!" Shinobu membentak dan berbalik meninggalkan ruangan itu diikuti para pria berjas hitam itu. "Awasi dia keluar dari rumah ini tanpa membawa benda apapun kecuali pakaian yang dikenakannya."

Miyaki menangis mendengar dia usir dari rumah gedung itu tanpa membawa harta apa pun. Dia miskin seketika apalagi mengingat bagaimana Kenji telah mengambil semua harta miliknya. Dia mengangkat wajahnya dan melihat anak lelaki 10 tahun yang berdiri menatapnya dengan tajam. Anak lelaki satu-satunya. Dia menggapai anak lelaki itu agar mendekatinya.

"Anakku...kemarilah. Mari ikut Ibu." Bagi Miyaki, anaknyalah tempat pijakan terakhirnya. Dia berharap anak lelaki itu tidak menolaknya.

Anak lelaki itu mundur selangkah dan menggeleng. "Tidak! Kamu bukan Ibuku!" Setelah itu dia berlari meninggalkan Miyaki dengan menyisakan tatapan matanya yang merendahkan pada wanita yang kini terlihat begitu mengenaskan.

Miyaki merasakan dirinya begitu hancur malam itu. Dirinya sudah sangat kehilangan pegangan. Anaknya telah menolaknya. Baru saat itulah dia mengingat Tuhan namun baginya sudah terlambat meminta bantuan Tuhan. Dengan liar matanya mencari disekitar ruangan dan menemukan seutas tali dari sutra untuk mengikat pinggang sebuah gaun. Dia turun dari ranjang dan meraih benda itu.

Sejam kemudian seorang dari anak buah Shinobu memasuki kamar Miyaki dan dia menemukan wanita cantik itu telah menggantung dirinya sendiri di tiang pembatas kamar mandi dalam keadaan polos. Dengan tenang dia melaporkan hal itu pada Shinobu yang telah bersiap-siap dengan setelan jasnya.

Dia mendengar laporan anak buahnya dan menatap wajah pucat anak lelaki 10 tahun itu. Dia mendekati anaknya dan memegang bahu kecil itu.

"Ibumu sudah meninggalkanmu. Kini kamu hanya hidup bersamaku. Aku tidak mau ada lagi pengkhiatan darimu karena kamu yang akan menjadi penerusku. Kamu dengar itu?" Ucapan Shinobu begitu tegas dan keras bagi anak lelaki itu.

Dia begitu kagum pada ayahnya selama ini. Dia salut akan kesabaran ayahnya untuk menangkap basah perbuatan ibunya yang selama ini berbohong bersama pria yang dilihatnya melalui lubang kunci. Kini mendengar dia akan menjadi penerus ayahnya melampaui para saudara laki-lakinya, menimbulkan rasa setianya pada ayahnya. Dia mengangguk cepat membuat Shinobu terbahak. Dimata anak lelaki itu dia menemukan dirinya.

"Ikut aku menemukan bajingan itu. Dia yang membuat Ibumu mengkhianatiku dan akhirnya dia bunuh diri." Diraihnya lengan anak itu. Pada asistennya dia berkata. "Laporkan pada polisi kematian Miyaki Asakusa sehingga tidak menimbulkan kecurigaan pada kelompok kita. Dan siapkan pasporku dan anakku. Urus visa kami berdua. Setelah aku membereskan pria itu aku ingin semuanya telah siap."

***

Ruri mengintip dari jendela dan melihat banyaknya mobil yang berhenti didepan mereka. Dia segera menuruni jendela dan berlari memasuki kamar ayah dan ibunya.

"Ibu, ada banyak mobil di depan rumah kita, begitu juga dengan orang yang memakai baju serba hitam keluar dari mobil," seru Ruri cepat.

Akemi menghentikan kegiatannya mengemasi pakaian dan memandang Kenji yang terdiam. Pria itu mengumpat keras.

"Sialan! Wanita itu pastinya!"

Suara gedoran pada pintu rumah mereka terdengar keras. Tak lama terdengar suara dobrakan pintu itu berikut langkah-langkah kaki memasuki rumah.

"Kenj Fujita! Keluarlah!."teriak salah satu dari orang yang masuk.

Kenji berpandangan dengan Akemi. Dia cepat memakai ranselnya yang berisi barang curiannya.

Suara langkah kaki menuju kamar mereka. Dengan cepat Akemi mendorong Ruri agar bersembunyi didalam lemari pakaian. Dengan berbisik tegang, Akemi berkata pada Ruri yang terbelalak. Tangannya memegang erat lengan ibunya.

"Ibu..."

"Jangan bersuara anakku, apapun yang terjadi jangan keluarkan suaramu..."

Baru saja Akemi menutup pintu lemari, terdengar suara bentakan dan pukulan di dalam kamar itu. Dia melihat bagaimana suaminya menjadi sasaran pukulan dari para pria berjas itu.

Akemi dapat melihat seorang pria separuh baya yang berdiri dengan sebuah tongkat bersama seorang anak lelaki menonton Kenji yang menjadi bulan-bulanan.

Akemi menahan jeritannya ketika melihat sebuah pisau diayunkan seorang pria ke arah dada Kenji. Entah kekuatan dari mana, kakinya berlari cepat ke arah mata pisau itu.

Ruri yang berada di dalam lemari dapat melihat itu semua dari celah lemari. Dia menutup mulutnya menahan jeritannya ketika melihat bagaimana Ibunya berdiri dibantara ayahnya dan pria berjas hitam itu.

"CESSS!!!!"

Ruri berusaha mendorong pintu lemari yang ternyata terkunci. Suaranya hilang seketika saat melihat bagaimana darah mengucur dari dada ibunya. Bagaimana ibunya jatuh diblantai bagai bunga kering. Airmatanya mengalir deras sementara jeritannya tertelan begitu saja.

Pria yang memegang pisau itu terkejut ketika sasarannya justru mengenai isteri dari Kenji. Dia tidak bisa lagi mencegah laju tangannya. Para pria itu terpaku melihat Akemi yang tergeletak dengan berlumuran darah.

Kenji sendiri terguncang melihat Akemi menyelematkannya. Hatinya mencelos saat menyadari tidak ada gerakan apa pun dari Akemi. Lalu dia juga melihat kelompok mafia itu terdiam melihat kesalahan mereka. Kenji mengambil kesempatan itu membuka lebar jendela kamarnya dan melompat lari dari tempat itu.

Para pria itu dan Shinobu baru menyadari Kenji yang kabur. Dengan membentak, Shinobu berkata pada para anak buahnya. "Kejar bajingan itu!!" Perintahnya dan langsung para pria itu berlari keluar.

Shinobu mendekati tubuh Akemi yang tak bergerak. Dia menghela napas sebelum meninggalkan rumah itu. "Wanita malang."

Ruri melihat dengan jelas pria itu bersama anak lelaki yang mendekati ibunya. Ruri menangis sejadi-jadinya di dalam lemari itu menatap ibunya yang tergeletak diam bersimbah darah dan melihat bagaimana ayahnya kabur meninggalkan ibunya. Dia berusaha membuka lemari pakaian itu namun tenaganya sudah hampir habis. Suaranya hilang akibat trauma yang dialaminya. Dia cuma bisa memandang mata ibunya yang tertutup dari celah lemari itu.

****

1 jam kemudian.

Suara sirene mobil polisi memasuki kawasan pemukiman itu dan berhenti pada sebuah rumah kecil yang kini telah dipenuhi orang.

Sebuah mobil sedan berhenti tepat di pekarangan mungil itu dan keluarlah dua orang detektif muda. Seorang petugas polisi mendatangi dua orang detektif itu.

"Detektif Watanabe, ada seorang mayat wanita muda di dalam kamar tidur dengan luka tusukan di dadanya. Sepertinya terjadi perkelahian di dalam kamar itu karena semua barang sangat berantakan. Pintu rumah juga terlihat dirusak."

Detektif Takao Watanabe memasuki TKP bersama rekan detektifnya, Yoshio Katoo. Mereka melihat seorang wanita muda tergeletak dilantai dengan posisi tidak tersentuh. Takao berjongkok disamping seorang Dokter dari Divisi Kriminal yang tengah memeriksa waktu kematian wanita itu.

"Kapan?" tanyanya pendek.

"Perkiraan kematian 1 jam yang lalu," sahut Dr. Hideaki.

Takao menatap korban pembunuhan itu. "Begitu muda? Mengapa dibunuh? Apakah dia sudah menikah?"gumamnya.

"Harusnya begitu. Ada foto keluarga di ruang depan. Seorang suami dan anak perempuan yang cantik," jawab Yoshio sambil membawa potret keluarga kecil itu.

Takao berdiri dan menatap potret keluarga kecil itu. "Di mana suami dan anaknya?" tanya Takao bingung.

"Kami menemukan tetesan darah di bawah jendela!" seru seorang petugas polisi.

Takao dan Yoshio menuju tetesan darah yang mengering itu. Mereka melihat tetesan serupa terdapat di jendela. Lalu mereka mempelajari situasi kamar. Tampak beberapa tas berisikan pakaian terletak di tengah ruangan.

"Sepertinya keluarga ini berencana bepergian jauh," ucap Yoshio pada Takao.

Takao berdiri tegak. Secara insting detektifnya, ini adalah kasus pembunuhan serius. "Periksa seluruh isi rumah ini. Geledah tiap lemari dan sudut-sudut rumah," perintahnya.

Semua bergerak cepat. Ketika pintu lemari dibuka mereka berseru kaget melihat seorang anak perempuan berada di dalam sana dalam keadaan pucat dan menggigil.

"Ada anak perempuan di sini!!"seru mereka.

Takao dan Yoshio segera menuju lemari tersebut dan melihat anak perempuan yang berada di dalam potret.

Yoshio mencoba meraih gadis kecil namun gadis itu semakin mengkerutkan tubuhnya ke sudut lemari. Yoshio menoleh Takao.

"Dia begitu ketakutan. Kurasa dia mengalami trauma. Sepertinya dialah satu-satunya yang menyaksikan ibunya meninggal," jelas Yoshio.

Takao mendekati lemari dan melihat bagaimana anak perempuan itu begitu ketakutan. Dia jadi teringat anak lelaki di rumahnya. Dia dapat menaksir bahwa usia mereka tidak beda jauh. Timbul rasa iba di hati Takao.

"Kemarilah nak. Saya tidak akan membuatmu takut." Takao berkata halus. Dia memberi tanda agar dari divisi otopsi langsung membungkus mayat ibu anak perempuan itu.

Ruri menatap tangan yang terulur itu. Tangan yang putih dan besar. Tangan itu mengingatkannya akan tangan ayahnya yang selalu memukuli ibunya. Dia menatap tangan itu dengan takut.

Takao sudah sangat profesional dalam bidangnya. Dalam sekali pandang dia tahu bahwa anak perempuan itu takut pada telapak tangannya. Dia maju ke dalam lemari dan menjulurkan tangannya pada anak itu dan benar saja, anak itu memejamkan mata karena ketakutan.

Takao mengusap lembut kepala Ruri. Ruri tersentak namun dia tidak meronta karena merasakan kelembutan tangan itu di kepalanya. Telapak tangan itu hangat tidak terkesan dingin seperti milik ayahnya.

"Kemarilah. Ikut saya keluar dari lemari itu,nak," bujuk Takao dan dengan patuh Ruri menyambut uluran tangan Takao.

Takao menggendong Ruri dan bersyukur bahwa mayat ibu anak itu telah dialihkan. Rumah keluarga itu segera ditutup garis kuning dari polisi dan akan segera diselidiki. Sementara Takao dan Yoshio membawa Ruri ke dalam mobilnya.

Yoshio menanyakan nama gadis cilik itu namun anak perempuan itu sama sekali tidak membuka mulutnya melainkan mengambil pen yang ada di sakunya. Tampak anak itu mencoret di telapak tangannya dan menunjukkannya pada Yoshio.

RURI FUJITA.

Takao dan Yoshio bertukar pandang. "Dia tidak bisa bicara,"kata Yoshio

Takao menatap anak perempuan bernama Ruri itu. Tampak anak itu menangkupkan tangannya yang mungil dengan erat.

"Dia bukan tidak bisa bicara..dia hanya tidak mau bersuara," Takao merasa dia bisa membaca isi hati anak perempuan itu. Ketika sepasang mata indah itu menatapnya dengan setuju, dia memutuskan ingin melindungi anak perempuan itu.

Telepon Yoshio berdering. Dia menyimak dengan serius. Kemudian dia menatap Takao. "Di kediaman Shinobu Kimura dilaporkan telah ditemukan isteri keduanya meninggal gantung diri."

***

Takao mengajak Ruri memasuki rumahnya dan disambut oleh isteri dan anak lelakinya, Daiki Watanabe.

Sakura menyambut suaminya dengan senyum dan menatap anak perempuan yang digandeng suaminya.

"Sayang, siapakah anak perempuan cantik ini," tanya Sakura heran bercampur kagum melihat kecantikan Ruri yang masih polos.

Takao menatap Ruri yang tampak menggenggam erat tangannya. "Ini Ruri. Dia anak korban yang sedang kami selidiki. Ibunya mati terbunuh dan ayahnya menghilang entah dimana. Dia kami temukan bersembunyi di dalam lemari pakaian."

Sakura mendekati Ruri yang segera bersembunyi di balik tubuh Takao yang tinggi.

"Pelan-pelan. Dia mengalami trauma hebat. Dia tidak mau berbicara dengan siapa pun," terang Takao.

Sakura terlihat kecewa. "Apakah aku menakutkan baginya?" Ditatapnya Ruri yang tampak pucat.

Takao tersenyum. Dia berjongkok menatap Ruri. "Ruri, jangan takut. Dia isteriku. Dia suka padamu dan akan mengurusmu seperti anak sendiri", dia menatap Sakura yang tersenyum lebar. "Apakah boleh dia di sini, isteriku?"

Sakura mendekati Ruri yang tetap mencengkram kaki celana Takao. Dia melirik suaminya. "Aku jatuh cinta padanya. Kurasa dia bisa menjadi teman bermain Daiki", dia menoleh pada anak lelaki berusia 8 tahun yang menatap anak perempuan itu tanpa berkedip.

"Kemarilah Ruri, kamu aman di sini," senyum Sakura mengulurkan tangannya pada Ruri.

Ruri menatap uluran tangan itu dan perlahan melepaskan cengkramannya pada Takao. Dia masuk dalam pelukan hangat Sakura dan memeluk leher wanita itu.

"Ooh anak manis...kasihan sekali kau..Ayo makan di dalam.. Kau pasti lapar sekali," Sakura menggandeng Ruri menuju kedalam. Dia menggapai Daiki agar ikut bersamanya.

"Ayo kita temani Ruri makan, Daiki."

Saat itu dua pasang mata bertemu. Anak lelaki dan anak perempuan itu bertatapan dengan lekat. Bagi keduanya kelak mereka akan begitu saling membutuhkan satu sama lain.

Ketika selesai makan dan Ruri telah berganti pakaian bersih dengan meminjam piyamanya,Daiki memasuki kamar gadis cilik itu.

Ruri memandang anak lelaki Takao berdiri di ambang pintu. Sambil mandi tadi Bibi Sakura berkata bahwa dia harus memanggil bersikap baik pada anak lelaki yang lebih tua itu.

Daiki melangkah ragu kedalam kamar. Dia suka sekali melihat rambut panjang anak perempuan itu.

"Halo...namaku Daiki Watanabe. Namamu?" Daiki mengulurkan tangannya.

Lama Ruri menatap tangan putih yang terulur di depannya. Dia bergerak mengeluarkan pen merah dan kertas dari saku piyamanya. Dia menuliskan namanya dengan huruf besar-besar. Kemudian ditunjukkannya di depan wajah Daiki.

Daiki memajukan wajahnya. Dia mengeja nama Ruri dengan lantang. "RURI!! AKU DAIKI!" Dia mengira kalau Ruri tuli maka dia bersuara dengan keras di telinga anak perempuan itu.

Ruri tertawa dan menulis bahwa dia tidak tuli. Dia hanya tidak mau bicara. Daiki membaca itu dan menatap heran. "Mengapa?"

Ruri menggeleng keras. Kemudian Daiki menyambar tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku akan membuatmu bicara lagi, Ruri."

Ruri tersenyum dan merasakan telapak tangan anak lelaki itu begitu hangat. Nanti dia akan merasakan bahwa kehangatan telapak tangan itu tidak berubah sama sekali hingga bertahun-tahun kelak.

Haii...kuharap kalian menikmati kisah awal dan simpan ke library kalian yaa ^^

dindinthabitacreators' thoughts
次の章へ