Sepatu ruangan milikku dan Tsukasa terlihat sangat kotor dan bau akibat sampah yang di desak masuk ke dalam loker.
Tsukasa mencubit bagian belakang kemejaku, wajahnya di tekuk, memerah dan sesekali senggukan terdengar darinya.
Sebelumnya aku dan Keisuke membantu Tsukasa membersihkan lokernya, sedangkan lokerku sendiri tak terlalu memakan waktu membersihkannya, jadi aku bisa melakukannya sendiri.
Setelah mencubit kini Tsukasa menarik pelan bagian belakang kemejaku, padahal sebentar lagi kami mencapai kelas. Kami sudah terlambat masuk 15 menit lebih. Tapi sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu.
Aku berhenti lalu berbalik, "Ada apa?"
Tsukasa masih menunduk, "Maafkan aku. Karena aku, kau terlibat."
"Apanya?"
"Mereka jadi ikut-ikutan menjadikanmu target mereka. Kemarin juga kau di pukul, sekarang entah apa lagi."
"Aku yang mau. Jadi jangan pikirkan ya. Tsukasa ingat! kau tak sendirian, aku di sini. Jangan pernah berpikir bahwa kau sendirian!"
Akhirnya Tsukasa mendongakkan kepalanya. air mata mengalir deras di pipinya. Aku mengusap mukanya dengan kasar menggunakan dasiku. Lalu tertawa. "Wajahmu jelek sekali kalau menangis!"
"Jangan bercanda!" Tsukasa memalingkan wajahnya, lalu membersihkan sisa air mata yang masih membasahi pipinya. Aku kembali berjalan dengan pelan. Menunggu Tsukasa menyamai langkahku menuju kelas.
Tak ada yang boleh menyentuh Tsukasa kali ini. Jika aku tak bisa melindungi dia dari kekonyolan Seito. Maka aku akan berada di sisinya menjadi target Seito. Dan tetap menghiburnya.
Akan aku buktikan bahwa bully yang mereka lakukan bahkan tak membuat kami kerepotan sama sekali!
***
Tsukasa membuka kotak bekal yang aku bawa. Wajahnya sumringah ketika melihat isinya. "Whoaaah! menu yang biasa. benar-benar seperti biasa yang biasanya! sungguh biasa!"
"Aku mengerti maksud 'biasa' yang kau maksud. Tapi Kalau sampai ibuku mendengarnya dia akan tersinggung." masih terkekeh mendengar kalimatnya barusan. Matanya berbinar-binar karena sebuah menu makan siang yang 'biasa-biasa saja'.
"Selamat makan!" Katanya dengan riang, lalu segera melahap makanannya. Aku bisa menebak kalau Tsukasa pagi tadi tidak sarapan, melihat bagaimana ia makan saat ini.
Aku memandang berkeliling. Kami saat ini sedang makan siang di atap sekolah. Tempat favorit kami, tapi herannya kelompok Seito yang super jahil itu tak ada di sekitar sini seperti kemarin.
Tak sadar aku menghela nafas. Merasakan kelegaan di dalam hatiku. Setidaknya kami bisa makan dengan tenang, lalu kembali ke kelas dan belajar seperti hari normal biasanya.
Sebenarnya aku takut. Kajahilan apa lagi yang akan mereka lakukan pada kami. Aku was-was jika mereka mulai keterlaluan.
"Kenapa melamun?" suara Tsukasa mengangetkan aku. Benar juga, aku belum makan sesuap pun.
"Tidak ada apa-apa." Aku tersenyum lalu melahap nasi di sumpitku.
.
.
.
Ulangan harian yang aku kerjakan saat ini bisa aku selesaikan. Aku mengingat soalnya, menjawabnya seingatku juga.
Pandanganku tertuju pada Tsukasa. Teringat dengan apa yang diucapkan Tsukasa palsu padaku.
'Bukankah Tsukasa terlihat sangat kurus?' begitu katanya.
Dari belakang sini, aku bisa melihat kemejanya yang di balut cardigan sekolah memang sedikit kebesaran di tubuhnya. Untuk ukuran tubuh Tsukasa. Mungkin sebaiknya memakai ukuran anak SMP agar terlihat pas.
Bel akhirnya berbunyi. Sorak Sorai penuh penderitaan terdengar hingga ke kelas sebelah. Aku yakin mereka belum menyelesaikan semua pertanyaan dengan baik.
Aku? jangan tanya. Aku berada di tim pasrah. Aku tidak ingin menyontek. Selain karena merepotkan, jawaban orang lain belum tentu benar atau bahkan belum tentu jujur sesuai dengan apa yang mereka miliki.
Jadi jika benar-benar sudah tak bisa mengerjakan suatu soal. Aku akan bermain chip ping Pong. Kalian tak tahu?
Aku akan membacakan soalnya, lalu pensilku akan bergerak ke setiap option jawaban sesuai dengan suku kata yang aku ucapkan. Ketika pertanyaannya berakhir maka option dimana pensilku berhenti itu yang jadi jawabanku. Ini khusus pilihan ganda. Jika essay.. aku akan memilih mengosongkannya.
Mencontek itu tak baik. Kau akan ketergantungan dengan jawaban orang lain.
Aku sedikit tertawa melihat bagaimana yang lain begitu frustasi mengumpulkan lembar kertas ulangan mereka, pada seseorang yang bertugas mengambilnya berkeliling.
Tsukasa terlihat tenang. Aku yakin, orang ini memang cerdas sejak awal, di tambah dia memang hobi dalam belajar hal baru. Aku heran kenapa ada orang tua yang meninggalkan anak sehebat Tsukasa.
***
"Aku ada piket, kalau kau menungguku mungkin kau akan terlambat kerja sambilan." saat aku mengatakan hal itu, Tsukasa menampilkan wajah tak senang. Bibirnya mengerucut, entah dia sadar atau tidak dengan hal itu. Tapi itu membuatku gemas!
"Ya sudah kalau begitu." Jawabnya ogah-ogahan, akhirnya Tsukasa pergi meninggalkan aku.
Aku segera mengangkat kursi-kursi dan meletakkannya di atas meja, agar teman-teman yang lain bisa membersihkannya.
"Jadi, apakah gosip itu benar?" seseorang bertanya padaku dari arah belakang. Aku berbalik dan melihat Daichi dan Ura menatapku penuh tanya. Sejujurnya aku sudah sangat bosan dengan pertanyaan dan segala lelucon tentang hal yang mereka sebut gosip itu!
"Tidak. Aku dan Tsukasa sahabat dekat. Kenapa?"
"Kalian terlihat tidak terganggu dengan desas desus itu. Aku fikir kalian memang mengiyakannya." Ura mulai mendekat.
"Aku tahu ini agak tidak enak di dengar olehmu." Daichi tampak tak nyaman dan mulai mengamati situasi di kelas.
"Apa?" Aku penasaran dengan apa yang ingin ia sampaikan.
"Aku dengar sejak SMP. Tsukasa memang sedikit berbeda dengan anak laki-laki lainnya. Kau tahu maksudku? dia benar-benar belok! belok!" Daichi mempertegas kalimatnya dengan segala ekspresi dan gerakan tangan yang ia buat, "Kami khawatir denganmu. Jadi kami bertanya."
Apakah aku tahu hal ini? aku bisa mengingat bagian ini, dimana Daichi dan Ura mengobrol denganku, dan kami akhirnya janjian untuk bermain di game center Minggu depan. Lalu .. Keisuke akan pergi.
"Aku akan buang sampah ya!" Suara Keisuke membuatku sadar! Benar! ini yang di ceritakan Keisuke.
Ia pernah menceritakannya. Saat buang sampah ke pembuangan sampah belakang sekolah, dan menemukan Tsukasa terduduk dengan banyak abu rokok di rambutnya!
Tanpa berpikir panjang, aku berlari ke arah Keisuke, meraih plastik besar berisi sampah dari kelas dan berlari secepat mungkin.
"Aku saja!!" Teriakku di koridor. Keisuke tak mengejarku.
Jika saja aku berlari lebih cepat mungkin saja aku bisa melindungi Tsukasa saat itu.
Dan benar, gerombolan Seito sedang berkerumun mengelilingi seseorang di dekat alat pembakaran sampah.
Mereka sedang tertawa sembari menendangi Tsukasa!
"BRENGSEK!!" aku melempar plastik besar sampah pada mereka. plastik itu hancur dan membuat sampahnya terburai ke mana-mana.
Mereka sekarang penuh dengan debu dan sampah-sampah basah bekas minuman.
Bagiku saat ini, aku bahkan tak bisa membedakan mana sampah yang benar-benar sampah di sana.
Maru membersihkan dirinya dengan kasar, menatap tajam padaku. Seito tanpa membersihkan diri langsung menerjang tubuhku. Menindih perutku, dan terus melayangkan tinjunya pada wajahku. Kanan, kiri begitu terus.
Tsukasa berteriak dan meraih tangan Seito. Tapi Maru dan yang lain menariknya, mendorongnya hingga jatuh ke tanah.
"Kau pikir kau hebat?!" Seito meludah padaku. Rasa sakit di seluruh wajahku, membuatku tak bisa bangkit. Aku bisa merasakan darah mengalir di pelipisku, dan rasa asin yang bisa aku kecap di dalam rongga mulutku.
"Hentikan!! tolong!! HENTIKAN!!" Tsukasa menangis.
Jangan menangis!
***