webnovel

Destiny

Ellam masuk kedalam ruang eksekusi dengan wajah sebalnya ketika melihat Dirgan cengengesan memandang sebuah ranting. Dia baru saja berpulang dari proyek sepuluh milyar bersama menteri Cina.

Sewaktu perjalanan memasuki kota Bandung—Ellam sempat meminta Dirgan agar membiarkan menteri tersebut bernapas sebentar saja sampai dia pulang. Ada beberapa pertanyaan darinya namun, "Kenapa kau membunuhnya Kak," Ellam gemas mengusap wajah—sabar melihat Dirgan.

"Aku tidak tahu dia akan mati karna ku copot gelangnya," ucap Dirgan polos. Ellam terdiam dipijakan. Menatap Dirgan Narendra gila itu tanpa raut wajah apapapun selain rasa ingin menonjok pria yang memamerkan barisan gigi tersebut.

"Serius Lam," tambah Dirgan. Bagaimana bisa Ellam percaya—kala melihat kaos Dirgan penuh dengan bercak darah, belum lagi sekujur tubuh menteri tersebut sudah Dirgan buatkan garis yang membentuk peta dunia. Apalagi darah yang mengucur keluar dari mulutnya sudah dipastikan—Dirgan memberinya racun.

"Beri anjingku makan yah," ucap Dirgan menepuk pipi Ellam sampai meninggalkan bekas noda darah pada wajahnya. Tentu ini PR yang tidak menyenangkan—karena dia harus memotong jasad lalu memberikannya pada anjing yang terus saja mengonggong. Kelaparan.

Ini kedua kalinya di hari yang sama Dirgan senang memasuki rumah, Dia malahan menggesekan sepatu yang meninggalkan bekas berwarna merah di lantai tersebut dengan riang. Suasana hatinya kembali pulih—kian tidak bisa dibendung sampai bersenandung kecil.

Dirgan Narendra mencoba memutar knop pintu sebelum gerakannya spontan terpaku membatu, "Ah, lupa."

Dirgan terkekeh karena hampir saja akan memasuki kamarnya yang sudah berpenghuni. Berjinjit centil menuju kamar adiknya—Lusi Narendra. Wanita karir satu itu sudah tertidur nyenyak dalam dekapan kakaknya Gio.

Dirgan pun ikut bergabung memeluk mereka berdua. Biar saja besok dia akan memberikan hadiahnya pada Maya... semua orang harus beristirahat dengan tenang, termasuk dia yang mengecup kening kedua adiknya. Tidak akan Dirgan biarkan siapapun...

Menyakiti mereka berdua. Ralat! Bertiga...

Dengan Ellam tentunya.

***

"Lari..."

Dirgan mengerjap, menyipitkan mata—setengah mengantuk Dia beranjak, sebab ada suara yang mendengung di rungunya.

"Dirgan, aku menyuruhmu lari!"

"Ibu?" Dirgan celingukan. Dia mengedarkan pandangan—bingung keseisi ruangan, mencari presensi orang yang menganggu tidurnya.

"Menjauh, jangan dekat dengan wanita itu, jangan kau."

"Ibu?"

"IBU!" Dirgan bangun. Sontak kedua adiknya pun ikut terperanjat, lebih-lebih lagi teriakan yang membuat psikopat itu linglung menelisik cepat ke berbagai arah— lantaran barusan seperti bukan sebuah kejadian bunga tidur.

"Kakak, tenang..." ucap Lusi. Dia mengusap punggung Kakaknya yang berkeringat. Bahkan Gio Narendra menguap dengan lebar taatkala Dirgan mengurut kedua alisnya. Bukan sesuatu yang langka bagi mereka melihat Kakaknya bermimpi buruk, apalagi karena Dirgan tidak mengganti pakaiannya setelah mengeksekusi.

Gio juga tersenyum memalingkan wajahnya menatap jendela dengan gorden yang lupa ditutup sampai mengakibatkan cahaya mentari beserta angin ciri khas pagi masuk dengan leluasa kedalam kamar.

Gio Narendra meregangkan tubuh senang, karena sekarang dia dapat melihat perubahan besar-besaran terjadi pada kakaknya. Apalagi ikut tertidur bersama di malam hari itu sangatlah—perdana bisa sesantai ini.

Biasanya Dirgan hanya berjaga ketika mereka tertidur. Apalagi ketika mengingat bahwa Mereka bertiga adalah tiga orang yatim yang menginginkan sebuah keajaiban dalam hidup.

Sayang sekali bagi—Gio yang mengira bahwa Maya adalah wanita tepat turun dari langit membawa magis kemudian memetik bintang untuk mereka. Begitupun Dirgan, dia hanya mengira Tsuyoi sentoki si pemikat hati itu. Datang sebagai orang yang akan membantunya melewati ini semua.

"Kak," kehadiran Ellam mengacaukan keheningan terselubung yang sedang terjadi pada mereka. Membuka kamar Lusi karena tak kunjung adanya sebuah jawaban. Ellam berwajah serius kali ini, "Maya kabur."

"Apa!" Serempak mereka bertiga mengatakannya. Baru saja Gio bersyukur atas kehadiran wanita yang melarikan diri lagi. Begitupun dengan Dirgan, Ia berpikir... sudah satu langkah lebih dekat dengan Maya.

"Cari!" titah Dirgan. Tubuhnya seketika melemas—membayangkan untuk kesekian kalinya berlarian di hutan seraya memejamkan mata mencari napas Tsuyoi Sentoki. Belum lagi bercampur aduk dengan suara burung atau langkah kaki semut yang membuatnya pusing.

"Ah, Maya," lirih Dirgan. Memilih merentangkan kembali tubuhnya dengan kasar. Ellam pergi setelah melihat Dirgan uring-uringan. Termasuk Lusi yang menatapnya iba, sejak kapan? Dirgan bersikap seperti itu, "Aku juga akan mencarinya," Gio mengajukan diri.

Semua mengangguk setuju. Lagipula keuangan Dirgan sedang stabil saat ini, dia akan mengerahkan semua pengawalnya untuk mencari Tsuyoi Sentoki sampai didapatkan kembali. Maya belum bisa pergi karena kesepakatannya pun masih belum usai.

Dirgan akan mengutamakan pencarian di hutan. Serta menjaga semua jalur jalan keluar dari kota Bandung.

***

Crak, crak! Suara pisau menusuk daging hangat berkali-kali membuat Dirgan gembira. Setelah bertransaksi—menteri Cina menginginkan kehadiran Dirgan untuk proyek besarnya. Sehingga mengundang psikopat tersebut datang kerumah.

Selama perjalanan berangkatnya Dirgan Narendra bersama Ellam yang mengkoordinator dari jauh lima tim untuk pencarian Maya. Beruntung sekali Ia dihadang beberapa preman yang bisa dikatakan masih level dasar.

Pesta kecil-kecilan lumayan membuatnya penuh peluh dan bermandikan darah, pikiran Dirgan berkecamuk dengan wanita yang bahkan tidak bisa mempraktekan video asusila bersama dengannya.

"Belum ketemu."

"Cari yang benar!" bentak Dirgan. Ellam memasang wajah santai—menelisik kemeja putih Dirgan yang hampir separuhnya merah, memang sangat indonesia sekali gayanya.

Kemudian sebenarnya, mau semarah apapun Dirgan pada Ellam, Ia tidak akan pernah mengacungkan pisau atau pistol padanya. Terkecuali sewaktu beberapa bulan pertama bekerja disamping Dirgan Narendra, hampir saja kuping Ellam diiris tipis.

Begitupun saat kembali berpulang dari Cina, Dirgan tiada hentinya menusuk orang. Bahkan meminta beberapa tahanan menteri Cina—untuk dia santap sebagai penyalur rasa yang membuat sudut hatinya merasa tidak nyaman.

Bisa dibilang mereka semua orang beruntung, hanya mendapatkan tusukan beberapa puluh kali—kemudian meninggal. Tidak ada fase penyiksaan yang menguras waktu dan energi lebih banyak.

"Bagaimana Ayahnya?" tanya Dirgan. Putri Snow White—Husein pelayan Maya itu belum kunjung bangun dari tidur panjangnya. Bahkan sudah masuk berita mengenai seorang pemilik pabrik parfum asal jakarta yang tiba-tiba menghilang.

Dirgan ingin sekali mengintrogasi dirinya, apalah daya dengan pria yang tidak bangun-bangun, terlebih saat Dirgan bahkan tidak hanya ingin—sekedar mencubit perut si plontos, memoles kepalanya sampai licin sekali sepertinya ide bagus.

Pulang dini hari pun, tidak ada lagi rasa senang yang membuatnya bersemangat menaiki anak tangga. Dirgan bahkan bosan melihat arwah para korban yang beberapa kali berkumpul di ruang tengah—hanya untuk menakutinya.

Namun saat Dirgan tatap balik mereka... malah si setan yang kewalahan, mereka langsung menunduk sampai bulu kuduk masing-masing arwah merinding hebat karena hampir saja macam-macam dengan orang yang membuatnya tidak menapakan diri di dunia.

Hantu Kakek Tua penjaga rumah juga—menghela napas. Taatkala sepatu Dirgan terus saja mencetak jejak merah apalagi kali ini lebih parah. Bau anyir menyergap seketika di dalam ruangan. Tangan Dirgan bahkan gemetar meneteskan puluhan DNA darah—saking banyaknya dia melakukan eksekusi hari ini.

Dirgan juga menjadi malas melihat kamar utama dengan sajian ruangan tanpa penghuni. Memilih untuk melewatinya dan akan bermesraan saja bersama Ellam... Klotak!

Dirgan stagnan ketika mendengar sesuatu jatuh dari kamar utama. Langsung berputar haluan dan memutar knop pintu, menghadirkan presensi wanita memakai kimono putih sedang berkutat dengan beberapa paper bag.

Telinganya ditutupi dengan earphone dan tak menyadari kedatangan Dirgan Narendra, sukses menguras emosi pria ini. Dirgan menarik lengannya dengan kasar. Sampai minuman coklat mint yang sedang dipegang Maya terjatuh dan membasahi kakinya.

"Dari mana saja!" bentak Dirgan. Sedangkan Maya spontan menutup hidung dan mulai merasakan mual. Memejamkan mata ketika tubuhnya diguncang psikopat. "Jawab!" tekan Dirgan.

Maya mendorongnya kuat lalu pergi ke kamar mandi. Sekilas bayangan betapa bengisnya Dirgan hari ini, membuat Maya muntah-muntah. Bau menusuk hidung membuatnya pusing, namun Dirgan tidak mau mengerti itu, dia malah menarik Maya dari kloset serta merta menuntut sebuah penjelasan.

Plakk! Pria kesurupan ini Maya tampar agar sadar. Dia pikir seseorang mempunyai nyawa cadangan hingga Dirgan dengan mudahnya menusuk orang kesana kemari.

Ada keheningan sesaat sampai Maya mulai mual dan muntah lagi. Dirgan Narendra melongo karena akan menambahkan list untuk 'pertama kalinya di tampar wanita.' pada akhirnya dia memberi Maya waktu untuk memuntahkan semua isi perutnya, Dirgan sibuk mengisi bathup dengan air hangat seraya menunggu.

"Dasar iblis," maki Maya. Lemas setelah sukses mengeluarkan semuanya, Maya menggeleng karena tidak ingin lagi dia membaca ingatan Dirgan.

"Ya, kita sama," sahut Dirgan dingin. Dia mengangkat Maya yang menelungkup di toilet, membawanya masuk dalam bathup. Tanpa perlawanan Maya yang terlalu lelah untuk bisa meronta.

Bahkan meski baru kakinya saja yang masuk kedalam bathup. Berendam bersama dalam air merah hangat untuk menangkan pikiran masing-masing, kimono putih Maya spontan berubah warna, membuat raga wanita ini bergetar hebat.

Dirgan merasakan—tubuh Tsuyoi sentoki ini bergetar ketika berada dalam pangkuannya. Dia merengkuh erat pinggang Maya... menelungkupkan wajahnya pada punggung oknum yang membuat perasaan kacau seharian.

"Lepas... " ucap Maya. Dirgan menggesekan keningnya pada punggung Maya, sebagai pertanda penolakan dan Dirgan malah semakin erat dalam memeluknya. Akan Dirgan buat perhitungan dengan Ellam yang asal deklarasi menyatakan Maya hilang.

"Darimana saja, aku mencari," lontar Dirgan kalem kali ini.

"Aku membeli kebutuhanku, kenapa? Gak boleh?" jawab Maya sinis. Bukan hanya seram penilaian yang Dirgan dapat dari Maya, melainkan nilai plus juga bahwa Dirgan Narendra itu akan menjadi sosok yang dia benci.

"Harusnya bilang" lontar Dirgan ragu. Memangnya siapa dia hingga harus melarang kebebasan Maya, dia sedang membuat kesepakatan dan bekerja sama. Bukan memenjarakan Maya untuk selalu diam di dalam kamar.

Maya juga sedang mengatur emosi ketika melihat air dalam bathup, berjenis-jenis darah orang sedang bercampur aduk disini, dan bisa dipastikan... Darah Dirgan atau miliknya yang suatu hari nanti berada di sini.

Sesuai ramalan.

To Be Continued...