"Aku teman sekelas Lana dulu saat masih sekolah. Ada yang ingin kukatakan padanya sekarang. Bisakah kamu meninggalkan kami berdua saja?" Sanca merasa sedikit tidak sabar.
"Tidak bisa. Aku bukan hanya sopir Bu Lana, tapi juga pengawalnya. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kalian berdua," elak Erza.
"Ini, Lana, pegang bunga ini dulu," kata Sanca pada Lana. Ada dorongan untuk membunuh Erza di hati Sanca, tapi dia berusaha menahan diri.
"Bunga ini sangat indah, bukankah Anda menyukai ini, Bu Lana?" Erza mengambil bunganya.
"Jika kamu menyukainya, ambil saja," kata Lana acuh tak acuh. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Erza.
"Maaf, Bu Lana tidak menginginkannya. Sepertinya Anda harus membawanya kembali." Ketika Erza berbicara, dia menyerahkan mawar itu kepada Sanca.
Tanpa diduga, Sanca tidak bereaksi. Walaupun bunganya sangat mahal, ditambah ongkos kirimnya yang mencapai jutaan, Sanca sangat malu untuk mengambilnya kembali.
"Bunga ini sangat mahal, Anda tidak menginginkannya?" tanya Erza dengan senyum merendahkan.
"Ambil saja." Sanca sedikit tidak sabar.
"Bu Lana, karena dia tidak menginginkannya, biarkan saya memberikannya kepada Anda. Bunga yang sangat indah ini cocok untuk Anda." Erza berbalik dan menyerahkan bunga itu langsung kepada Lana.
Sanca melebarkan matanya dan menatap Erza. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan orang ini. Tiba-tiba Sanca sedikit bingung.
"Terima kasih." Saat ini, Lana tidak bisa menahan tawa. Dia tidak menyangka Erza akan melakukan hal konyol seperti ini. Sanca bahkan lebih tidak berdaya. Dia bingung kenapa Lana malah berterima kasih pada Erza. Padahal, itu adalah bunga darinya.
"Anda tidak keberatan jika aku yang memberikannya pada Bu Lana, 'kan?" Erza dapat melihat bahwa Sanca sedang menahan amarahnya.
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa." Meskipun Sanca berkata demikian, di dalam hatinya, dia sangat ingin untuk menendang Erza.
"Ngomong-ngomong, Erza, aku belum memperkenalkannya padamu. Ini adalah Sanca, putra tertua dari Walikota Semarang," kata Lana memperkenalkan Sanca pada Erza. Alasan mengapa Lana melakukan ini adalah untuk memberitahu Erza agar tidak cemburu dan berlebihan.
"Ternyata ini Tuan Sanca. Pantas saja. Orang biasa tidak akan bisa membeli mawar seperti ini," ucap Erza pura-pura antusias.
"Aku senang kamu mengetahuinya. Sekarang, pergi dari sini, dan jangan ganggu aku dan Lana," kata Sanca. Dia berkata penuh kemenangan.
"Saya masih harus berterima kasih kepada Anda karena telah memberi saya kesempatan untuk memberi buket mawar yang mahal itu pada Bu Lana." Kalimat Erza selanjutnya membuat Sanca hampir muntah darah.
"Bukan apa-apa. Itu biasa saja. Kalau begitu, Lana, karena kamu sangat sibuk hari ini, aku tidak akan mengganggumu. Kenapa kita tidak pergi makan malam nanti?" Pada saat ini, Sanca juga berpikir sebaiknya dia pergi saja.
"Karena Tuan Sanca sudah repot-repot mengundang Bu Lana, jadi Bu Lana pasti akan memenuhi undangan makan malam itu," kata Erza. Setelah selesai berbicara, dia mengedipkan mata pada Sanca. Melihat ini, Sanca bereaksi dengan cepat. Dia juga bangga pada dirinya sendiri. Dia berpikir bahwa Erza berusaha membantunya karena identitasnya sebagai anak walikota.
"Baguslah kalau begitu. Sampai ketemu nanti!" Karena takut Lana akan menolaknya, Sanca langsung pergi.
Setelah Sanca pergi, Lana bertanya dengan bingung, "Mengapa kamu setuju dengannya?"
"Mengapa? Apa kamu tidak ingin makan sesuatu yang enak? Jangan khawatir, aku akan pergi denganmu," kata Erza terkekeh.
"Kenapa Alina ada di mobilmu?" tanya Lana. Ekspresi wajahnya kini sedikit menyelidik.
"Ya ampun, kenapa hari ini kamu pakai baju yang tipis? Cepat masuk ke kantor. Kamu bisa masuk angin. Aku harus pergi kerja dulu. Jika seseorang melihat kita berbicara bersama, itu akan merepotkan. Dah!" Setelah Erza selesai berbicara, dia berbalik dan pergi.
"Hei, tunggu! Kamu belum bilang…" Sebelum Lana menyelesaikan kalimatnya, dia melihat bahwa Erza sudah pergi jauh. Apalagi saat ini masih banyak orang di sekitarnya, jadi Lana hanya bisa berjalan masuk ke kantor dengan kesal.
Ketika Erza kembali ke kantor, dia melihat Alina menatapnya dengan gembira. Tubuh Erza tiba-tiba bergetar, sedikit tidak nyaman.
Alina mengirim pesan pada Erza
Alina: Kamu mau pergi ke rumahku untuk makan malam?
Jika Erza masih lajang, dia pasti akan pergi untuk menikmati masakan Alina. Tapi, dia ingat bahwa dia punya janji dengan istrinya untuk menemaninya makan malam bersama Sanca. Bagaimanapun juga, Erza sudah memiliki istri sekarang, jadi dia harus menjaganya dari laki-laki lain. Akhirnya, Erza tidak punya pilihan lain selain menolak ajakan Alina.
Erza: Alina, aku ada janji malam ini. Aku akan pergi ke rumahmu besok.
Alina tidak menjawab, tapi Erza tidak banyak berpikir. Dia memilih untuk menyalakan komputer dan mulai bekerja. Saat dia mulai bosan, dia akan menonton film atau bermain games. Duduk seharian di kantor benar-benar mengerikan bagi Erza. Untungnya, tidak terjadi apa-apa di siang hari. Setelah jam pulang kantor, Erza ingin pergi dan menyapa Alina di gerbang depan, tetapi Alina tidak memperhatikan dirinya sama sekali. Namun, setelah melihat jam, Erza merasa lebih baik menemui Lana sesegera mungkin, jika tidak, Lana pasti akan marah.
Ketika Erza tiba ke pintu ruangan Lana, dia dihentikan oleh Sinta, "Kenapa kamu datang ke sini?"
"Aku mencari Bu Lana," jawab Erza singkat.
"Kamu tidak diizinkan masuk." Mendengar kata-kata Erza, Sinta menjadi semakin marah. Dia langsung menolak untuk membiarkan Erza masuk. Tapi, Erza tidak peduli tentang hal-hal itu dan langsung masuk.
"Tidak apa-apa, kamu bisa keluar, Sinta," kata Lana yang melihat Sinta berusaha mengusir Erza dari ruangannya.
"Kenapa kamu datang ke sini?" tanya Lana penasaran.
"Kamu lupa? Anak walikota itu mengundangmu untuk makan malam hari ini," Erza tersenyum tipis.
"Aku harus bekerja dan aku tidak punya waktu. Selain itu, kamu yang setuju, bukan aku." Lana berkata dengan sedikit marah.
"Ini demi kepentinganmu. Dia anak walikota. Banyak bisnis yang membutuhkan persetujuan dari pemerintah. Jika kamu menyinggung perasaannya, itu pasti akan merepotkan," jelas Erza sambil mengangkat bahu.
"Aku istrimu atau bukan? Kamu benar-benar mengizinkan aku makan dengan orang lain?" Lana bahkan lebih marah ketika mendengar penjelasan Erza tadi. Dia seolah merasa bahwa suaminya sama sekali tidak menyayanginya karena tidak cemburu.
"Memangnya kamu senang jika kamu adalah istriku? Aku kira selama ini kamu keberatan," ucap Erza menunduk.
"Kamu!" bentak Lana.
"Oke, aku akan pergi bersamamu. Jangan khawatir, setelah malam ini, aku pasti akan membuatnya tidak akan mengganggumu lagi." Melihat Lana akan marah, Erza berkata dengan cepat.
"Benarkah?" tanya Lana. Dia mengenal Sanca dengan baik. Orang ini pasti tipe penguntit. Ketika Lana masih berada di bangku sekolah, dia pikir dengan mengambil alih perusahaan, maka dia tidak akan pernah bertemu pria ini lagi. Tapi, sekarang Sanca justru mengejarnya lagi. Lana benar-benar tidak tahu bagaimana Erza akan membuat pria itu menjauhinya.
"Tentu saja. Jangan khawatir, dia tidak mengganggumu lagi," kata Erza dengan ekspresi meyakinkan di wajahnya.
"Oke, ngomong-ngomong, kenapa Alina ada di mobilmu tadi?" celetuk Lana. Erza tidak berharap Lana mengingat kejadian itu.
"Aku tidak sengaja bertemu dengan Alina tadi. Alina adalah orang yang membantuku bekerja di perusahaan ini. Dia yang merekomendasikanku. Jadi, aku mengajaknya untuk berangkat bersama," jelas Erza. "Kenapa? kamu tidak percaya?" tanya ERza saat melihat Lana terdiam.
"Aku malas untuk peduli padamu, itu tidak ada hubungannya denganku." Kalimat Lana ini membuat Erza sedikit patah hati. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada gadis ini sehingga dia bisa memiliki suasana hati yang sangat labil.
Tidak lama kemudian, Sanca menelepon Lana.
"Dia di Hotel Mahkota." Lana memandang Erza dan berkata tanpa daya setelah mematikan telepon dari Sanca. Erza mengangguk dan mengikuti Lana untuk menuju ke Hotel Mahkota.
Ketika mobil sampai di hotel, Sanca sudah berdiri di sana dan menunggu. Tapi saat melihat Erza juga datang, Sanca kaget. Hari ini Sanca sudah siap untuk berduaan dengan Lana. Dia sudah menyiapkan alkohol agar Lana mabuk dan dia bisa mengambil kesempatan itu untuk menyerangnya. Dia tidak menyangka Erza akan mengikutinya ke sini.
"Syukurlah kamu ada di sini. Ayo masuk. Ngomong-ngomong, Erza, kamu bisa makan di ruangan lain atau di mana saja. Aku yang akan membayarnya untukmu," kata Sanca.
"Kupikir Anda salah, tuan. Bukankah Anda mengatakan bahwa Anda mengundang kita makan malam?" kata Erza tanpa rasa malu.
"Kapan aku mengundangmu juga, huh?" tanya Sanca tidak terima.
"Tugasku adalah melindungi Bu Lana di mana saja, jadi aku harus terus bersamanya. Kalau begitu, mengapa kita tidak bertanya pada Bu Lana saja tentang apakah aku boleh ikut makan malam atau tidak?" ujar Erza memberikan saran.