webnovel

Pelangi Tak Selalu Muncul Setelah Hujan

"Aku sudah bertekad untuk mencari ridho suamiku, karena ridho Alloh ada pada ridho suamiku. Karena jika seorang muslimah menjalankan sholat lima waktu, berpuasa Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan mendapatkan ridho suaminya, maka ia akan dapat masuk ke dalam Surga melalui pintu mana saja yang dia inginkan" (Rumaisha Azzahra, seorang wanita karir modern yang baru berhijrah ) "Istri itu ibarat pakaianan bagi suaminya. Sejak awal, Abang memang tidak ingin mencari 'pakaian' jadi. Abang ingin 'menjahit sendiri' sendiri pakaian Abang. Oleh karena itu, Abang menikahimu, Dek. Karena Abang ingin mendidik, membina, dan membimbingmu hingga menjadi seorang perempuan sekaligus istri yang sholehah" (Muhammad Rosikh Abdurrahman, seorang hafidz Qur'an) .............................. Rumaisha Azzahra.. adalah seorang wanita karir cerminan perempuan modern masa kini. Ia hanyalah perempuan biasa, dari keluarga biasa, dan menempuh perjalanan hidupnya dengan biasa-biasa saja. Hingga suatu ketika, 'sebuah hal' besar mengubah hidupnya. Ia pun berniat total untuk berhijrah di jalan Alloh Subhanahu Wata'ala. Ia pun berdoa kepada Alloh agar diberikan jodoh yang dapat membimbingnya dunia akhirat. Bak durian runtuh. Rumaisha ternyata menikah dengan seorang ustadz hafidz Qur'an yang menjadi idola para akhwat. Muhammad Rosikh Abdurrahman namanya. Rumaisha yang merupakan produk pendidikan umum dan tak pernah mengenyam sama sekali pendidikan pesantren, bagaikan mengalami "shock culture". Bahkan banyak pula yang menganggap bahwa pernikahan mereka tak sekufu. Lali bagaimanakah kehidupan rumah tangga Rumaisha dengan ustadz Rosikh? Lalu bagaimana pula ketika Rumaisha harus menghadapi kenyataan bahwa atasannya, Aditya Mandala Putra yang seorang 'don juan', ternyata menaruh hati padanya? Silakan baca bagaimana seluk beluk romantika Rumaisha dan Rosikh serta perjalanan hijrah Rumaisha di novel "Pelangi tak Selalu Muncul Setelah Hujan".

Melati Putri Pertiwi · 都市
レビュー数が足りません
23 Chs

BAB 7 Dilema

Paginya, aku bersiap untuk berangkat ke kantor. Bang Rosikh sepertinya hari ini tidak masuk kerja. Badannya masih meriang. Profesi suamiku sebagai guru tahfidz di sebuah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) di Jakarta ini memang lebih fleksibel. Tidak seperti diriku yang dikejar banyak tenggat waktu serta tuntutan yang tiada habisnya. Aku membenahi kerudungku sambil mempersiapkan kopi untuk bang Rosikh. Lalu tiba-tiba… bang Rosikh memelukku dari belakang.

“Dek..”

“Iya, Bang..”

“Hari ini kamu sibuk ya?”

“Kenapa memangnya, Bang?”

“Tidak apa-apa. Abang hanya bertanya saja..”

Perasaanku mulai tak enak. Kubalikkan badanku. Nampak wajah bang Rosikh yang masih pucat. Kupegang dahinya dengan punggung telapak tanganku. Masih panas. Dan sepertinya bertambah panas.

“Bang.. panas Abang sepertinya bertambah tinggi. Abang sudah minum obatkah?”

“Abang sudah minum madu dan habatussauda. Abang tidak terlalu suka minum obat kimia, Dek..” jawab bang Rosikh.

“Bang.. tapi panas Abang bertambah tinggi. Lebih baik Abang rebahan saja di ranjang. Biar Rum buatkan kopi dan sarapan untuk Abang.”

“Dek..” bang Rosikh berkata sambil mengecup keningku sekilas. Aku agak terkejut dengan hal itu. Walaupun kami sudah dua bulan menikah, aku masih sering grogi ketika bang Rosikh menciumku.

“Dek..Abang tidak butuh obat. Abang butuh kamu di sini. Bisakah?”

Deeegggg…

Aku terpaku. Sesuai dengan dugaanku, pasti bang Rosikh tidak mengizinkan aku berangkat kerja hari ini. Tentu saja. Mana ada istri yang tega melenggang santai ke kantor, sedangkan suaminya sedang terkapar sakit di rumah.

“Eeehm...heemm.. bang.. sebentar ya, Rum minta izin mbak Ika dulu. Atasan Rum di kantor.” Aku menjawab sekenanya.

Langsung kusambar ponselku. Sebelum aku sempat membuka WA, sudah ada notifikasi WA di layar. Sekilas terbaca bahwa itu adalah WA dari mbak Ika yang isinya, “Rum..hari ini rapat penting…”

Belum kubuka WA-nya, namun aku sudah tahu keseluruhan isinya. Isinya pasti mbak Ika memintaku untuk datang tepat waktu hari ini karena ada rapat yang harus kuhadiri. Astagfirullohaladzim.. aku harus bagaimana??? Di satu sisi, bang Rosikh sangaat membutuhkan kehadiranku. Sedangkan di sisi lain, ada tanggung jawabku yang lain yang harus kuselesaikan.

Ya Alloh.. Ya Robb.. hamba harus bagaimana? Tunjukkanlah jalan-Mu kepada hamba…

“Dek.. kenapa? Tidak jadi WA atasanmu?” Tanya bang Rosikh.

“Eeehh..ehhmm.. heeem.. bang.. ini.. anu..”

“Hari ini ada rapat penting ya?” Potong bang Rosikh. Bagaikan telepati, bang Rosikh benar-benar bisa membaca seluruh isi hatiku. Aku hanya sanggup berdiri terdiam. Bingung harus melakukan atau mengatakan apa.

Kemudian bang Rosikh mendekatiku. Memeluk pundakku lalu kembali mencium keningku.

“Pergilah, Dek.. Abang izinkan kamu bekerja asalkan kami bisa menjaga kesucian dan kehormatanmu sebagai istri Abang..” Maa syaa Alloh.. hatiku langsung meleleh. Tanpa sadar air mataku sudah mengalir di pipi.

Allahuakbar. Maha Besar Alloh yang sudah menganugerahiku suami yang begini baik, begini shalih, begini pengertian, dan begini sabar. Sedangkan aku? Aku hanyalah istri yang tak becus mengurus suaminya.

“Bang.. sungguh.. aku ingin di rumah saja menemani Abang. Melayani Abang.. Apalagi Abang sedang sakit.. namun..”

“Namun kau bimbang harus memilih Abang atau pekerjaanmu?”

Hatiku langsung mencelos. Pernyataan bang Rosikh selalu tepat sasaran dan menghujam ulu hatiku.

“Dek, sudah tidak apa-apa. Kau berangkat saja. Sejak awal Abang menikah denganmu, kau sudah berkarir. Abang tidak mau karena Abang, hobi dan karirmu menjadi terhambat.”

“Tapi.. tapi, Bang..”

“Tapi apa, Dek?”

“Bagaimana syariat Islam mengatur tentang seorang wanita atau istri yang bekerja?”

“Wah..kalau itu susah, Dek. Ada banyak sekali pendapat ulama tentang diperbolehkannya wanita bekerja. Tapi kalau Abang pribadi, selama kau tahu batasan antara laki-laki dan perempuan, tidak ber-khalwat atau berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahrammu, tidak berdandan berlebihan atau ber-tabbaruj, juga pandai menjaga kehormatanmu, In syaa Alloh Abang ridho.”

“Benarkah seperti itu, Bang?” Tanyaku lagi.

“Tapi, Dek..” putus bang Rosikh.

“Tapi apa, Bang?”

“Kalau Abang boleh jujur, Abang lebih suka kalau Adek berada di rumah saja. Karena fitnah wanita, terutama di akhir zaman ini, sudah sangat besar. Apalagi fitnah wanita di mata laki-laki. Terutama wanita yang cantik seperti dirimu.”

Nyeeessssssss…. campur aduk hatiku mendengar pernyataan bang Rosikh. Bagai melambung hatiku dipuji olehnya.

“Maksud Abang tentang ‘fitnah’ wanita itu apa, Bang? Aku bukanlah tipe wanita yang suka memfitnah, Bang. Aku tahu bahwa fitnah itu lebih keji daripada pembunuhan.” Jawabku polos.

“Hah???? Hahahahaha…” tiba-tiba bang Rosikh tertawa renyah.

“Kenapa tertawa, Bang?”

“Sayang.. dalam Islam, yang dimaksud dengan ‘fitnah’ itu adalah ‘ujian’. Jadi ‘fitnah wanita’ itu adalah ‘ujian’ yang diberikan oleh sang wanita kepada lingkungan sekitarnya, terutama pada laki-laki yang bukan mahram dia. Coba kamu bayangkan,Dek.. kamu itu selain cantik juga pintar dan baik hati. Laki-laki mana yang tidak terpikat olehmu? Padahal kau sudah bersuami. Bahkan Rasulullah pun pernah bersabda bahwa ketika wanita keluar rumah, maka syaiton akan mengelilinginya dan menghiasinya dari sisi kanan, kiri, atas, dan bawahnya. Mengapa demikian? Karena memang ujian atau fitnah yang diberikan oleh kaum wanita memang sebegitu dahsyatnya, terutama terhadap kaum laki-laki”

“Tapi aku kan sudah berhijab syar’i, Bang. Bahkan tidak ber-tabbaruj.”

“Kalau berhijab syar’i, memang itu sudah kewajibanmu sebagai seorang muslimah dek. Namun kamu tetaplah wanita yang akan menjadi fitnah atau ujian bagi laki-laki non-mahram yang memandangmu. Apalagi Abang tahu, di kantormu masih ada ikhtilat atau campur baur antara laki-laki dan perempuan kan?”

“Iya benar bang.. Cuma Rum tidak menggoda mereka kok. Di hati Rum juga cuma ada Abang seorang.”

“Kalau itu, Abang yakin Rumaisha sayang.. tapi hati orang lain bagaimana? Apakah kamu bisa mengatur-atur hati orang lain kepadamu? Apa kamu bisa menebak perasaan teman-teman lelakimu padamu? Buktinya waktu kamu ulang tahun kemarin, ada yang laki-laki yang memberimu kado jam tangan mahal kan? Kau tahu apa artinya itu?” Bang Rosikh berkata sambil menatapku mesra. Kurasakan cinta yang begitu mendalam dari tatapan matanya.

“Dek.. padahal sesungguhnya tugas utama seorang istri adalah melayani suami dan keluarganya dengan baik. Dan tugas itulah yang menjadi ladang pahala istri. Itulah yang menjadi tanggung jawab istri. Tanggung jawab yang akan dihisab oleh Alloh di Hari Akhir nanti. Sedangkan mencari nafkah di luar sana adalah tanggung jawab suami. Dan sebaliknya, apabila terjadi suatu hal yang tidak diinginkan di luar sana pada sang istri, sang suamilah yang akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Alloh nanti.

“Namun.. sesungguhnya Islam itu tidak kolot. Islam juga memperbolehkan seorang wanita bekerja di luar rumah asalkan tetap bisa memenuhi aturan-aturan syar’i yang telah Abang sebutkan di awal tadi. Dan Islam juga membatasi profesi-profesi apa sajakah yang diperbolehkan kepada seorang wanita untuk bekerja di luar rumah. Profesi yang diizinkan adalah yang menyangkut maslahat hidup orang banyak seperti guru atau tenaga medis. Sedangkan profesi arsitektur desain interior seperti kamu bukanlah profesi yang menyangkut kepentingan orang banyak kan?”

“Dek.. Abang berkata seperti ini karena Abang sayang pada dirimu. Sejak awal menikah, Abang tahu bahwa Abang menikahi seorang wanita modern yang sedang meniti karir. Dan memang sejak awal Abang memilih hal itu. Memilih istri yang bisa Abang didik dari nol hingga menjadi seorang murabbi atau guru yang mampu mendidik anak-anaknya kelak dengan ilmu agama. Karena bagi Abang di situlah tantangannya dalam mengumpulkan ladang pahala. Namun.. Abang tahu bahwa semua itu butuh proses. Mengubahmu juga butuh proses. Tidak bisa instan. Tidak bisa Abang serta merta memintamu untuk bolos kerja hari ini demi Abang, apalagi langsung memintamu untuk resign pekerjaan. Karena memang inilah risiko yang harus Abang tanggung.”

“Perempuan itu makhluk yang lemah lembut dan bagaikan gelas-gelas kaca. Ketika mereka diperlakukan baik, maka akan semakin baiklah perilaku yang mereka tunjukkan. Namun apabila mereka diperlakukan dengan keras atau kasar, maka akan ‘pecah’-lah gelas-gelas kaca itu. Atau bahkan yang lebih jelek, perilaku yang mereka tunjukkan kepada lingkungan sekitar adalah sesuatu yang semakin buruk.”

Aku terdiam nendengar nasihat panjang lebar dari bang Rosikh. Dalam hati, aku sangat bersyukur dianugerahi Alloh seorang imam yang bisa membimbingku dalam hal ilmu agama. Kuresapi setiap untaian wejangannya.

“Lalu.. sekarang, apa yang harus Rum lakukan, Bang?” Tanyaku lagi.

“Kami boleh berangkat kerja, Dek. Namun tetap ingat-ingat semua pesan Abang tadi. Apalagi Abang merasa mungkin ada kawan laki-laki di kantormu yang menyukai dirimu. Kamu harus jaga jarak dengannya. Ini adalah batasan yang harus kamu penuhi dengan maksimal. Janji!?”

“Janji, Bang.. Tapi sejujurnya, Rum ingin di rumah saja melayani Abang.. Namun di lain sisi, Rum juga bingung. Apalagi sekarang Rum sedang menangani proyek convention centre yang waktu itu pernah Rum ceritakan ke Abang.. Rum bingung, Bang.. sungguh bingung..”

“Alhamdulillah kalau kamu berpikiran seperti itu, Dek. Berarti Alloh sudah meniupkan hidayah itu kepadamu. Genggam erat hidayah itu. Basahilah selalu lisanmu dengan dzikkrulloh, dzikir-dzikir kepada Alloh. Lalu lakukanlah sholat istikharah apabila kau sedang bingung dalam mengambil keputusan, In syaa Alloh hatimu akan dimantapkan oleh Alloh di jalan kebenaran.”

“Be..berarti.. berarti Rum ini boleh berangkat kerja, Bang?” Kataku terbata-bata. Aku pun masih belum yakin dengan pilihanku, apakah harus berangkat atau menemani bang Rosikh di rumah.

“Menurut kamu sendiri bagaimana, Dek?”

“Rum.. Rumaisha.. ingin berangkat, Bang. Karena ternyata seperti yang telah Abang tebak tadi, hari ini ada rapat penting yang harus Rum hadiri. Ta..tapi..tapi pikiran Rum seperti ada di sini terus. Pikiran Rum selalu ke Abang terus. Rum tidak bisa konsentrasi.”

“Nah..kalau itu sudah risiko kamu. Sama seperti Abang yang tahu risiko Abang saat menikahi kamu. Seorang wanita modern yang sedang meniti karir, dan belum pernah nyantri sama sekali. Abang tahu risiko dari pilihan Abang, jadi kamu juga harus bertanggung jawab dengan pilihanmu. Dan kamu juga harus berani mengambil risikonya.”

“Bang.. kalau.. kalau begitu.. Rum berangkat dulu ya.. Tapiii.. Abang tidak marah kan ke Rum? Tidak marah kan, Bang? Tidak kan, Bang???”

“Ma syaa Alloh.. Rumaisha.. kau lihatlah wajah Abang. Apakah tampak seperti orang yang sedang marah?” Canda bang Rosikh.

“Baiklah, Bang.. kalau begitu Rum akan berangkat setelah menyiapkan sarapan dan kopi untuk Abang..”

“Tidak usah.. biar Abang yang siapkan sendiri. Kamu berangkat saja, Dek. Ini udah jam berapa. Nanti kena macet, makin telat lho..”

“Tidaak.. tidakk, Bang.. Rum sudah meninggalkan Abang di rumah hari ini, tolong jangan membuat Rum menjadi semakin bersalah dengan tidak membuatkan Abang sarapan.. pleaseeee..” mohonku.

“Oke.. oke.. baiklah kalau begitu. Memang kmu mau masak apa, Dek?”

“Telor ceplok.” Jawabku singkat.

“Oooohh..hahahahahahahahaa..” Bang Rosikh tertawa sangat lebar, “Kalau cuma telor ceplok mah, Abang bisa bikin sendiri!! Udah sana, kamu berangkat aja. Abang mau bikin nasi goreng aja.”

“Aahh.. kalau gitu biar Rum yang bantu kupas cabai dan bawangnya saja ya, Bang.. pleeaseeee..”

Bang Rosikh memandangku sejenak. Lalu ia berkata, “Baiklah kalau begitu. Ayo.. keburu siang, nanti kamu keburu telat lho..”

Kami pun saling berpandangan, lalu tertawa bersama.

…..…………………

Setelah sarapan nasi goreng buatan bang Rosikh, aku sudah siap dengan tas laptop dan tas kerjaku. Lalu kemudian bang Rosikh berkata, “Kau mau naik apa Dek ke kantornya?”

“Seperti biasa, Bang.. ojek online.” Jawabku singkat.

“Dek.. kau tahu kan, abang tidak suka kau naik motor berdua dengan laki-laki yang bukan mahram?? Bagaiman kalau kamu naik taksi online saja? Walaupun agak mahal, tidak apa-apa. Asalkan kehormatanmu terjaga.” Jelas bang Rosikh.

“Ooo..iya Bang. Tidak masalah, Bang..”

.………………

Akhirnya setelah menempuh kemacetan Jakarta yang memusingkan, aku sampai juga di kantor. Terlambat 30 menit. Dengan agak tergesa, aku masuk ke dalam kantor.

“Eeecieeeeehhh.. yang habis ultah, masuk kantor langsung telaaaatt.. Ada apa nih, ada apa???” Aku langsung disambut dengan godaan Vindy.

“Sudah kamu buka kado dari kita, Rum?” Tanya Tiara.

“Gimana? Bagus nggak? Itu semua Vindy yang pilihin. Kita-kita cuma iuran aja.” Jelas Laura.

“Oalaaahh.. jadii itu semua Vindy yang pilihin. Pantesaaaann… sudah kuduga”. Cerocosku.

“Emang kenapa, Rum?? Pasti aneh-aneh ya isinya?” Tanya Laura lagi.

“Kamu tanya sendiri aja sama orangnya, La..” aku menukas.

“Vindyyyyy… hayoooo..kamu beliin Rum apaan sihhh?? Tuhh kaaan.. harusnya kita aja ya beli hadiah buat Rumaisha, Ra! Kalau Vindy yang beli, pasti nggak pernah ada yang beress..” kata Laura ke Tiara.

“Ihhh.. Vindyy ahhh.. bikin perkara aja kamu! Kamu beli apaan sih buat Rumaisha?” Tiara sudah mencak-mencak.

“Apaan sih kalian ini?? Kalian nggak usah lebay laah.. Si Rum ini cuma pura-pura nggak suka. Padahal aslinyaaaa.. ehem..ehem.. Apalagi suaminya tuhhh..hihi..” jawab Vindy menggoda.

“Hei..hei..hei.. ada apa nih ribut-ribut? Vindy..pasti kamu lagi nih yang bikin ribut.” Tiba-tiba mbak Ika masuk ke dalam ruangan.

“Ihhh..bukan mbaaak.. bukan Vindy yang ribut. Tuh Rumaisha, Tiara, sama Laura yang ribut..” Vindy mengelak.

“Iyaa..tapi kamu kan yang jadi sumber ributnya..” sanggah Laura.

“Hei..hei..sudah.. Sudah pada gede, masih aja ribut kayak anak TK. Oh ya, aku masuk sini cuma mau ketemu sama Rumaisha.. Rum..” seru mbak Ika kepadaku.

“Siap mbak. Ada yang bisa saya lakukan?” Seruku semangat.

“Kamu agak terlambat ya. Ya sudah ayo, kita ada meeting penting. Cuma kita bertiga sama mas Aditya juga.” Kata mbak Ika lagi.

“Ihhhhh..mas Adityaaaaa…” Vindy mulai berceloteh.

“Vindy.. kamu mau saya kasih SP!?” Bentak mbak Ika.

“Oouuppsss.. sorry mbak. Keceplosan.” Jawab Vindy sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Keceplosan kok terus-terusan. Oke Rum.. ayo ikut ke ruang meeting.”

“Ssi..siaap.. siap mbak..” kataku tergagap. Aku mulai galau. Kenapa sih harus dengan mas Aditya?? Padahal aku sudah mendapat amanah dari bang Rosikh untuk menjaga kehormatanku. Terutama dari pandangan mas Aditya.

“Kenapa Rum? Kok kamu agak pucat?” Tanya mbak Ika.

“Aaah..enggak..enggak kok mbak.” Jawabku setenang mungkin. Padahal hatiku dipenuhi dengan kebimbangan.

“Ya sudah.. kami tunggu di ruang meeting ya.” Kata mbak Ika lagi.

“Iya mbak.” Jawabku singkat.

.………………

Di ruang rapat, sudah nampak mbak Ika dan mas Aditya duduk dengan rapih. Di hadapannya masing-masing terdapat laptop yang menyala. Seperti biasa, mas Aditya selalu rapi dan klimis. Mencerminkan kewibawaannya sebagai seorang Head Manager. Tidak heran apabila hampir semua karyawati di perusahaan ini mendambakan mas Aditya. Kharismanya yang duduk di belakang laptop semakin menambah ketampanannya.

“Astgfirullohaladzim..” aku langsung menundukkan pandanganku. Aku tersadar bahwa aku telah melakukan hal yang terlarang. Saat memandang wajah mas Aditya, sejenak terbersit kekagumanku padanya. Ya..kekaguman yang dulu pernah menghuni dan menguasai hatiku. Banyak-banyak aku beristighfar dalam hati. Aku menjadi sedikit salah tingkah.

“Ohh..Rumaisha.. silakan duduk.” Seru mas Aditya saat melihatku berdiri di depan pintu masuk.

“Assalamualaikum..” seruku lirih.

“Waalaikumsallam..” jawab mas Aditya dan mbak Ika hampir bersamaan.

“Ayo Rum.. silakan masuk, lalu duduk di sini. Hari ini kami ingin membicarakan tentang perkembangan revisi proyek convention centre-mu.” Kata mbak Ika.

Akupun masuk dengan malu-malu. Setelah duduk, langsung kubuka laptopku. Kususun kembali mood ku yang tadi sempat berantakan karena pesona wajah mas Aditya. Kutahan mataku sekuat tenaga agar tak bertemu pandang dengannya. Ya Alloh..berilah hamba kekuatan.

“Sudah sampai mana revisimu, Rum? Targetnya pekan depan kan?” Tanya mas Aditya.

“Eeh..ini.. iya mas.. kemarin sempet saya lembur. Alhamdulillah revisi sudah sekitar 75%, mas..”

“Wwwoww.. cepat sekali. Tidak salah ya kami mempercayakan proyek ini padamu.” Kata mas Aditya.

“Dan kemarin Rumaisha ulang tahun lho, Dit..” kata mbak Ika.

“Ooouhh.. iya..iya.. sorry Rum. Aku lupa. Katanya kemarin ada pesta surprise ya buat kamu? Waktu itu aku ada tugas di lapangan, jadi tidak bisa hadir. Tapi aku sudah nitip kado lho untukmu. Sudah kau terima kan? Happy birthday, ya!” Seru mas Aditya sambil menyodorkan tangannya. Ingin menyalamiku.

“Eeh..ii..iya, mas.. terima kasih.” Jawabku sambil mengatupkan kedua tangan di dadaku. Tidak membalas salamannya.

“Dit..Rumaisha sudah hijrah. Dia juga sudah menikah. Kamu jangan tepe-tepe lagi ya sama dia. Rum nggak cocok sama kamu yang playboy. Kamu kapan hijrah-nya?” Kata mbak Ika.

“Eehh.. oohh iya..iya.. maaf Rum.. aku lupa.”

“Ehem..ehem.. lupa apa lupa?” Sindir mbak Ika.

“Ika.. ya sudah, ayo kita mulai meeting-nya.” Kata mas Aditya.

Akhirnya meeting yang berlangsung selama 1 jam berlangsung lancar. Aku menjabarkan semua revisi rancanganku semaksimal mungkin. Mas Aditya dan mbak Ika tampak puas dengan presentasiku.

“Oke, Rum.. revisimu sudah baik sekali. Tapi memang belum selesai sepenuhnya. Usahakan kalau bisa, semuanya sudah selesai sebelum

Pak Greg tiba pekan depan.” Kata mas Aditya.

“Siap mas!” Jawabku yakin.

“Oh ya.. besok, kamu ada waktu?” Tanya mas Aditya.

“Me..memangnya kenapa mas?”

“Enggak..nggak apa-apa. Maksudku, kamu mau aku ajak ke proyek pembangunan Residence yang ada di Jakarta Utara itu. Bisakah?” Tanya mas Aditya lagi.

“Eehh..mas..maaf.. bukannya saya tidak bisa..” jawabku tergagap.

“Lantas kenapa? Aku pikir, dengan mengajakmu ke proyek itu, bisa menambah ide-ide kamu untuk revisi proyekmu itu lho.” Tambah mas Aditya.

“Bukan begitu maksud saya mas. Maksud saya.. saya sudah bersuami. Jadi saya tidak bisa bepergian berdua saja dengan laki-laki yang bukan mahram saya.” Jawabku terus terang.

“Oooohh..begitu ya.. wah, susah juga kalau begitu ya. Bagaimana ini, Ik?” Tanya mas Aditya kepada mbak Ika.

“Ya sudah, bagaimana kalau aku juga ikut. Jadi Rum nanti duduk di kursi belakang mobil saja.”

“Ya..itu ide bagus.. begitu saja. Bagaiman Rum? Kalau Ika ikut, kamu bisa kan?” Tanya mas Aditya lagi kepadaku.

“Eehh..eehmm.. In syaa Alloh mas. Coba nanti saya izin dulu sama suami saya, ya.” Kataku gugup. Dalam benakku terus terbayang-bayang wajah bang Rosikh. Ini benar-benar pilihan yang sulit.

“Waduh.. sekarang dikit-dikit kamu harus izin suami ya.. susah juga. Kalau suamimu nggak izinin gimana?”

“Yaa..saya harus tetap patuh dengan perintah suami saya mas.” Jawabku tegas.

“Rumaisha.. kalau seperti itu aturannya, kamu tidak akan bisa profesional. Urusan rumah ya rumah, urusan kantor ya kantor. Jangan sampai urusan rumah kau bawa ke kantor dan urusan kantor kau bawa ke rumah. Harus dipisah-pisah, jangan dicampur adukkan!” Kata mas Aditya tak kalah tegas.

“Taa..tapii..mass,” jawabku terbata.

“Aditya.. Rumaisha ini baru saja menikah. Dia masih adaptasi dengan rumah tangganya. Dan bagi seorang istri, mematuhi perintah suami adalah sebuah kewajiban. Kita harus menghormatinya. Selain itu, selama ini Rumaisha juga bekerja dengan baik. Selalu memenuhi deadline dengan baik. Tidak pernah melakukan hal yang neko-neko. Jadi selayaknya kita sebagai atasan bisa menghormati keputusannya.” Kata mbak Ika.

“Tapi Ika.. ini menyangkut profesionalisme. Kalau masalah kantor, ya masalah kantor. Jangan dicampur adukkan dengan masalah rumah tangga!” Mas Aditya berkata dengan nada tinggi.

“Masalah kantor atau hanya masalah egomu belaka!?” Balas mbak Ika dengan nada yang tak kalah tinggi. Matanya mulai membelalak dan tubuhnya yang tadi santai, kini mulai menegang.

“Apa maksudmu, Ika?” Tanya mas Aditya. Wajahnya tak kalah tegang.

“Tentu kaulah yang lebih tahu apa maksudku!” Seru mbak Ika singkat.

Dan aku.. aku hanya bisa ternganga melihat dua atasanku ini beradu mulut.

“Eheem..mas.. mbak.. kalau..kalau begitu, Rum mau pamit dulu ya. Rapatnya sudah selesai kan?” Tanyaku.

“Sebentar Rum.. aku mau bicara empat mata denganmu..” seru mas Aditya.

“Mau apa kamu, Dit?? Jangan macam-macam. Kalau mau bicara dengan Rumaisha, di sini saja. Jangan berduaan. Kau itu ‘BERBAHAYA’!.” Seru mbak Ika.

“Apa maksudmu Ika? Memangnya kau pikir aku ini apa? Apakah aku memang se-‘berbahaya’ itu di matamu!?” Tukas mas Aditya..

“Iya..benar! Rumaisha sudah menikah.. jadi..”

“Dan kau belum menikah walaupun sudah kepala tiga, jadi kau cemburu dengan Rumaisha!? Begitu!? Bilang saja kalau kau iri!” Potong mas Aditya.

BRAAAAKKKKK!!!!

“ADITYA!!!” Mbak Ika sudah tak bisa menahan emosinya. Tangannya menggebrak meja dengan sangat kuat. Dan akupun cuma bisa diam membisu melihat kejadian itu.