webnovel

Chapter 2 : Destinasi, Kusumajaya

Kurang lebih dua dekade lalu, pemerintahan pusat menjalankan sebuah program reklamasi pulau-pulau terpencil dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional yang kala itu terjun bebas terdampak oleh krisis moneter.

Selain itu, mereka juga berupaya dalam menjaga kestabilan politik, pembangunan landasan ekonomi baru, hingga menyediakan ruang hidup untuk mengatasi masalah pemerataan penduduk. Alhasil, Kusumajaya menjadi hasil terbaik dari program itu.

Pulau di antah berantah ini menjadi mangsa lunak bagi para pengusaha maupun rakyat biasa yang ingin menemukan kesempatan dan kehidupan baru, mengikuti ironi "Living the American Dream". Sebuah pedang bermata dua juga mengintip dari cakrawala, menunggu mangsa yang terjatuh dalam jebakan mautnya.

Kusumajaya juga memiliki status otonom, memisahkan kewenangan, sistem politik, hingga badan hukum dari negara. Dengan suasana yang menyerupai lanskap perkotaan Eropa, maka tidak heran jika terdapat banyak sekali migran daratan utama yang berdatangan menuju pulau oportunitas ini. Alhasil, pulau seluas 500 kilometer persegi ini kini menampung lebih dari 200 ribu penduduk.

Sementara itu, Akademi Nasional Kusumajaya adalah sebuah komplek sekolah yang terletak pada sisi timur Distrik Brahwana. Lokasi yang dikerumuni oleh kawasan perumahan kelas satu memudahkan kita untuk menemukan berbagai pelajar berlatar belakang kaya raya, politisi, pengusaha, hingga yang berdatangan dari mancanegara.

Sekolah daging segar yang belum meluluskan satu pun pelajar ini memiliki target untuk bersaing pada tingkat internasional, menghasilkan sumber daya manusia berkualitas yang dapat menyelamatkan negeri ini dari masa kegelapannya. Moral, ekonomi, kesehatan, politik, pendidikan, budaya, olahraga… Namakan saja.

Itu adalah sedikit alasan mengapa ia memilih Kusumajaya sebelum ajal menjemputnya. Selain lokasi strategis, kompetisi, dan kesempatan yang besar, ia juga ingin membantuku menemukan kesempatan untuk sesekali hidup dengan "normal". Utang besar itu adalah sesuatu yang aku harus tebus selamanya.

Pagar hitam yang terbalut oleh tumbuhan merambat menjaga sisi kiriku, memisahkan trotoar dari bangunan-bangunan renaisans, bertentangan dengan apa yang kulalui pada pusat kota. Melalui sela-sela pagar mengancam ini, aku menemukan sebuah taman bunga, labirin hijau, lapangan olahraga, kolam renang, hingga ampiteater kecil. Pada saat inilah, aplikasi peta ponselku menyuarakan dirinya. Aku tiba.

Dalam pencarian gerbang masuk, aku menemui deretan pohon berkanopi tinggi yang melindungi jalan ganda ini dari amarah matahari, halte bus dengan gaya abad pertengahan, hingga berbagai gerai pertokoan yang berjejer di seberang jalan.

"…"

Gapura hitam yang menerangkan "AKADEMI NASIONAL KUSUMAJAYA" menampakkan diri di antara barisan pagar tinggi ini, lengkap dengan sosok wanita berambut coklat panjang serta berjas grafit yang tengah bersandar padanya. Gerak-gerik memainkan pena, ketukan sepatu yang berulang, hingga wajah menggumam menandakan bahwa dirinya sedang menunggu kedatangan seseorang.

"Ah."

Saling mengunci mata, wanita berusia 25 tahun itu mengeluarkan respon yang menyerupai kala dirinya menjatuhkan bahan-bahan saat memasak. Namun ekspresi terkejut segera berganti dengan anggukan dan senyum kecut dari bibir berlapis lipstik merah muda itu. Melihat dirinya, aku memutuskan untuk menyuarakan keluhanku.

"…Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Kiki?"

"A-Apa maksudmu 'apa yang saya lakukan di sini'?? Ya nungguin kamu datang lah Dika!"

"Dengan cuaca pembersih dosa manusia ini? Apakah Kiki baik-baik saja di sana?"

"Hey… Gak begitu juga! Habisan kamu lama sekali datangnya… Sudah turun dari jemputannya Roland buat jalan-jalan di Kalimas, berantem sama dua pelaku pelecehan lagi. Bagus sih yang kedua."

"…Sebagai Commander-in-chief, kurasa akan bijak jika aku gesit mempelajari medan dan suasana sekitar sebelum pertempuran kita dimulai. Lagipula, itu adalah kesalahan mereka… Bagaimanapun, di mana Kochi? Aku harus mengganggu posisi barunya sesaat."

Melewati Kiki, aku dapat merasakannya menggapai tanganku yang tengah menarik koper hitam ini, membuatku kembali menghentikan langkah.

"Tunggu dulu, Dika."

"…Ada apa, Kiki?"

"Untuk sekarang, panggil kita sebagai Pak Natsuke dan Bu Amanda. Paham kan kenapa?"

Jadi begitu. Kurasa aku harus mengingat bahwa mulai sekarang, mereka adalah guru pedoman di mataku. Lagipula, siapa yang tidak akan terkejut jika aku memanggil guruku menggunakan nama kesayangannya.

"Tentu saja."

"Sungguh praktis. Sip."

Mengacungkan jempolnya, Kiki kini berjalan menuntunku masuk ke dalam benteng sekolah ini. Memutar kepala, aku melihat gerbang raksasa itu menutup secara perlahan, memisahkan kita dengan dunia di luar sana.

"E-Emang kamu tahu kantornya Kotaro di mana?"

"Tidak."

"…Haah. Anak ini."

Melihat wajah cemberut itu kembali mengingatkanku atas wanita apa Kiki sebenarnya. Gestur kecil yang mudah kesal itu juga menunjukkan perhatian dan keimutannya. Kamu benar-benar pria yang beruntung telah menikahinya.

Ruangan gelap dan sunyi ini mengingatkanku pada latar dan suasana cerita berjenis "murder mystery". Korden coklat tertutup yang menahan tumpahan cahaya matahari, dinding merah garnet, rak yang penuh dengan warna-warni buku tebal, hingga lampu antik yang berdiri seorang diri pada meja kayu besar di tengah ruangan.

Melampaui furnitur klasik itu, sebuah kursi kantoran hadir membelakangiku. Karena sandaran yang menjulang dan tertutup, aku tidak dapat melihat apa yang tersembunyi di baliknya… Namun aku segera menebak seseorang dengan kebiasaan ini ketika diriku menemuinya.

"Kochi."

Kursi yang berputar perlahan mengungkapkan seorang pria dengan jas hitam dan kacamata persegi panjang yang menghiasinya, melengkapi perawakan emo itu. Tersenyum melihatku, pria berusia 26 tahun itu berdiri dari kursinya dan segera berjalan mendekatiku. Ia masih mengenakan jam tangan hadiah pernikahan dariku pada tangan kirinya.

"…Akhirnya anda datang. Haha! Dika langsung ketemu masalah aja ya?"

"Tidak dapat dibantu lagi. Mereka berhasil mendidihkan darahku."

"Bahkan kota maju seperti Kusumajaya tidak akan terbebas dari penyakit kronis itu. Sepertinya 'opportunity' gagal bekerja dalam diri mereka… Silakan duduk, komandan."

Menunjuk sofa kulit yang bersandar pada sudut ruangan, aku mempersilakan diri untuk melepaskan barang bawaanku, sebelum duduk menyamankan diri pada bantalan empuk itu.

"…Jadi, gimana menurut anda?"

"Mengenai Kusumajaya? Cukup menarik… Namun aku terkejut dengan keputusan Pak Agung untuk mengangkat dirimu sebagai kepala sekolah di sini. Kamu tidak apa-apa, Kochi?"

"Saya baik-baik saja Dika. Sebagai kepala sekolah, saya juga mendapatkan posisi dan kekuasaan dalam lingkup Kusumajaya, khususnya pada skala pendidikan dan kabinet pemerintahan Papa Agung. Meski hanya sepeser, itu adalah pijakan yang baik."

"Oh? Itu bagus untukmu."

"…Dan dengannya, Kiara pasti akan memberikan banyak tugas untuk Dika di sini. Huh."

"Jangan khawatir… Itu termasuk penebusanku kepada Kak Ryo."

"Mengapa anda tidak meminta bantuan Sidorova? Daripada sendirian kerja?"

"Aku telah mendapatkan banyak sekali bantuan… Tidak ada alasan bagi mereka untuk mengotori tangannya sekarang karena tugas yang dipercayakan padaku."

"Cukup adil… Nih, kunci kamar Dika untuk asrama di sini. Anda bisa langsung istirahat atau mengelilingi sekolah rancangan Ryo ini."

"Aku akan beristirahat di kamar."

Berdiri dari sofa coklat ini, aku menggapai kembali koper, ransel, serta kunci yang menggantung pada tangan kanan Kochi. Kemudian, aku berjalan menuju pintu ganda ruangan misteriusnya, untuk mengingat kembali kata-kata yang hampir menghilang dari pikiranku.

"Ruangan yang bagus."

"Haha… Terima kasih, Dika. T-Tunggu! Satu lagi!"

"Hm?"

"Selamat datang di Akademi Nasional Kusumajaya, Dika."

"…Heh. Cukup lama untukmu mengatakannya, Bapak Kotaro yang terhormat.

"Guh… Jijik mendengarnya."

Meninggalkan Kochi, aku berjalan menuju bangunan asrama menyerupai hotel antik yang terletak pada sisi utara komplek utama sekolah. Sepanjang perjalanan, aku menemui berbagai pelajar yang tengah berpiknik di bawah pohon, memancing pada danau buatan, hingga berlatih taekwondo di bawah naungan gazebo.

Kini aku ingin mengetahui seberapa besar dana yang telah mereka keluarkan untuk mewujudkan dunia fantasi ini. Haah… Kalian seharusnya meminta pertolonganku juga untuk masalah seperti ini.

Ekspektasi atas interior asrama berkedok hotel antik ini hancur terpecah belah oleh kontras warna cerah serta berbagai furnitur dengan kesan modern. Dinding bata putih, dekorasi tumbuhan, hingga lukisan dan patung memenuhi setiap sudut lobi. Aroma sitrus juga hadir menyerang indra penciumanku.

"Ah!"

"…"

Terkejut melihatku, seorang perempuan segera berdiri dari sofa lobi, sebelum berjingkrak dengan langkah kecilnya menujuku… Mengamatinya, kata unik mulai terbentuk di dalam pikiranku.

Alasannya tidak terletak pada reaksi, cara berlari, maupun ekspresi gembira terbalut gugupnya, melainkan gaun hitam yang menutupi lutut dan lengan, serta apron putih dengan hiasan dan pita merah pada kerahnya. Kostum pelayan?

"Uhh… A-Apakah anda… Tuan Andika Raylan?"

"…Benar. Siapa kamu dan apa maksud dari pakaian itu? Kamu akan melayaniku?"

Mendengarnya, pelayan bermata mata berlian ini memundurkan dirinya untuk membungkukkan tubuh hingga membentuk sudut 45 derajat… Siapakah dia?

Tidak banyak yang mengetahui diriku selain adanya koneksi dengan Kochi, Kiki, Nikita, maupun Sidorova. Terlebih lagi, sosok ini lebih mencurahkan kesan bocah lugu yang tengah bermain kepelayanan denganku.

"N-Nama saya Sylvie Anastasia Halina! Mulai hari ini saya akan menjadi pelayan pribadi Tuan Raylan!"

"…"

Mencerna kata-kata yang membuat bulu kuduk berdiri itu, aku kini menyadari keberadaan orang-orang sepertinya yang sedang menyapu lobi, menyiram tanaman, membawa nampan makanan, hingga mengikuti para pelajar beralmamater merah. Kochi.

Engkau sengaja membutakanku dari informasi vital ini. Kini aku dapat merasakannya terkekeh dengan puas dari gua kelelawarnya.

"…T-Tuan Raylan?"

Mendengar pe—Sylvie dari ujung kesadaran, aku menemukannya masih menahan posisi bungkuknya. Apa ia tidak kelelahan?

"Maaf… Aku hanya sedikit terkejut. Berdiri, Sylvie."

"B-Baik, Tuan Raylan!"

"Apa kamu bisa mengantarku pada kamarku?"

"Siap! Dengan senang hati, Tuan Raylan!"

Mengabaikan kejutan ini, aku harus memikirkan cara untuk mencegah ketakutan Sylvie padaku, khususnya setelah mengamati sosok yang senantiasa memaksakan dirinya untuk mengeluarkan hasil sempurna dalam kinerjanya. Selain itu, jika kita mengabaikan hubungan yang tidak stabil ini, maka dirinya akan membawa ancaman di masa depan.

"I-Ini dia, Tuan Raylan! Kamar 101!"

*Jegleg*

Mengamati isi ruangan, aku menemukan desain dan furnitur yang menyerupai halnya kamar hotel bintang 4. Beranda pribadi, TV layar datar, kasur berukuran besar, hingga dapur dapat kutemui di dalam kamar ini. Sylvie yang telah lebih dulu masuk segera memeriksa kondisi kamar mandi.

"K-Kamar ini memiliki fasilitas shower dan bak mandi, keduanya juga tersedia air panas, Tuan Raylan!"

Seraya mendengarkan Sylvie, aku memutuskan untuk meletakkan barang-barangku pada sisi kasur, sebelum berdiri meregangkan dan membunyikan tulang-tulang kaku ini. Hm… Sepertinya aku semakin usang.

"—L-Lalu di meja sudah ada perlengkapan sekolah, Tuan Raylan!"

"…"

"…"

"Hm? Kenapa, Sylvie?"

"Y-Yah—s-saya hanya menunggu perintah dari Tuan Raylan!"

"Begitu? Sebenarnya…"

"…I-Iya, Tuan Raylan?"

"Sylvie. Berapa umurmu?"

"15 tahun, Tuan Raylan!"

Oh? 15 tahun adalah usia yang sangat muda untuk merangkul pekerjaan seperti ini. Apakah alasannya terlempar kembali pada dirinya yang ingin mencari kesempurnaan di mata dunia? Keinginan menolong untuk mengganti kesalahannya pada masa lalu? Heh… Lihat perkataan yang muncul dari sosok seperti aku.

"J-Jangan khawatir, Tuan Raylan! S-Saya juga bersekolah di sini! SMA k-kelas 1A!"

"Itu bagus… Bagaimana jika kamu memanggilku dengan Kak Dika? Tuan Raylan menempatkan kita pada posisi yang sangat jauh, sementara aku tidak ingin Sylvie merasa tertekan, terpaksa, atau bahkan kaku denganku. Lagipula, mulai esok kamu juga akan menjadi adik kelasku… Tentu saja, jika Sylvie menyetujuinya."

"…"

"Sylvie?"

"Ah! M-Maaf, Tu—K-Kak Dika! H-Hanya saja saya tidak pernah memanggil seseorang seperti itu…"

"Tidak apa-apa."

Aku menahan mulutku untuk menanyakan kehidupan pribadinya, seperti sebelum menetap dan bersekolah di sini, serta alasan menekuni pekerjaan kepelayanan ini. Lagipula, kemajuan kecil ini lebih baik daripada ketegangan sebelumnya.

"Sylvie… Aku tidak akan memaksamu menjalankan perintah berat yang melelahkan dan membatasi waktu luangmu. Sebaiknya, kamu juga harus menjaga kondisi tubuh dalam mengimbangi peran sebagai pelayan dan siswa di sini… Bagaimana jika sebagai terima kasih dariku, Sylvie dapat menggunakan waktu ini untuk beristirahat?"

"…E-Eh? A-Apakah tidak memberatkan K-Kak Dika??"

"Tidak sama sekali. Apakah aku harus menulis sebuah pernyataan resmi mengenai ini?"

"T-Tidak perlu, Kak Dika! Tapi… T-Terima kasih banyak… S-Saya akan menggantinya, Kak Dika!"

"Tawaran yang bagus. Silakan, Sylvie."

"Baik! S-Selamat menginap, Kak Dika!"

"…"

Mengamatinya meninggalkan kamar, aku memperhatikan kesunyian yang kembali merasuki diriku. Mengangkat ponsel, aku membuka aplikasi pesan untuk mengetuk sebuah nama kontak yang tersematkan pada posisi teratas, menemukannya dalam mode aktif.

*Tuut* *Tuut*

"…"

"Selamat datang di jaringan Sidorova, ada yang bisa dibantu?"

Menjawab panggilanku adalah suara sosok perempuan yang terdengar serak. Cukup dengan mengamati jam dinding, aku dapat menyimpulkan alasan serak itu tanpa perlu mempertanyakannya.

"Aku ingin memesan satu paket Nikita Sidorova dengan tujuan Kusumajaya… Pastikan dirinya terbungkus dengan baik. Kirim catatan bahwa aku akan menjemputnya seorang diri."

"Pfft! Gitu amat hahaha! Kstati, gimana kondisi di sana, bro?"

"Cukup menarik. Sayangnya aku belum bisa membawakanmu kencan dalam waktu yang dekat."

"Jangan khawatir my love. Sesuai prosedur, aku bakal sampai di sana Bulan November setelah semuanya teratasi."

"…Aku ingin kembali meminta maaf telah meninggalkanmu, dan Sidorova Rezidentsiya."

"Tidak, Dika… Aku seharusnya yang berterima kasih karena kamu ingin melanjutkan cita-cita kakak. Makanya aku akan selalu berdiri di belakangmu. Terima kasih, Dika… Semangat! Love you!"

"Ya tozhe tebya lyublyu, Nikita."

*Tut*

"…"

Menutup panggilan, aku kembali mengingat tujuan menempati pulau di antah berantah serta sekolah tingkat internasional ini. Seperti apa yang telah mereka katakan, aku ingin menyelesaikan tugas yang dipercayakan padaku.