"Kau yakin ingin pulang hari ini?" Yafizan bertanya seraya dirinya membantu Soully mengganti baju pasiennya.
"Ini sudah ke berapa kalinya kau bertanya seperti itu dan jawabanku tetap sama. Aku-ingin-pulang-hari ini-TITIK!" tegas Soully.
"Tapi apa benar kau sungguh baik-baik saja? Perutmu? Terus mualmu?" Yafizan berlebihan. Dirinya meraba perut dan mengelus punggung leher Soully.
Soully hanya menatap tajam suaminya yang sedang menyisir lembut rambutnya sedari tadi, sungguh cerewet.
"Apa kau senang jika istrimu sakit?" sahutan seseorang tiba-tiba. Membuat Yafizan mendengus sebal.
"Cih, justru kau yang membuatnya ingin segera pergi dari sini."
"Aku hanya menyetujuinya. Sebagai dokter, keadaan Soully memang sudah lebih baik. Jika pasien sudah merasa lebih baik dengan tubuhnya, maka dia berhak mengambil keputusannya sendiri dan dokter hanya merekomendasi," terang Erick. "Lagipula, aku pun sama khawatirnya denganmu. Apalagi aku baru saja bisa lebih dekat dengan Soully karena dokter Anne menugaskanku memeriksa keadaannya," sedih Erick yang dibuat-buat.
"Kau..." Yafizan kembali kesal. Namun ia menghentikan ucapannya karena Soully memegang tangannya, memberi kode dengan tatapan matanya seolah berkata 'sudah, jangan berdebat dan bermasalah lagi. Hiraukan, abaikan'.
"Kak Erick, tapi keputusanku benar, kan? Aku sungguh ingin pulang. Di sini walaupun ruangan VVIP dengan segala fasilitas termewahnya tapi tetap saja tak ada senyaman selain rumah kita sendiri," ujar Soully.
"Tentu saja, aku mengijinkannya. Jaga baik-baik dirimu. Hubungi aku kapanpun kau merindukanku." Erick tersenyum getir.
Sejujurnya apa yang dikatakannya tadi benar adanya. Ia memang baru merasa senang bisa berdekatan dengan Soully, alih-alih melakukan pemeriksaan.
Tatapannya berubah sayu ketika melihat pemandangan di hadapannya yang sungguh terasa hangat namun menyiksa bathinnya. Bayangkan saja, mungkin Yafizan dengan sengaja menunjukkan pada Erick jika hubungan mereka tak bisa diganggu siapapun. Yafizan menunjukkan bagaimana dia memperhatikan dan memperlakukan Soully dengan baik. Mencurahkan segala cinta dan kasih sayangnya.
Yafizan menyisir serta merapihkan rambutnya, mengikatnya ke belakang. Mengusap wajah Soully, mengecup keningnya. Memakaikan kaos kaki lalu sepatunya. Sungguh pemandangan seperti seorang ibu yang mengurus anak perempuannya.
Andai, aku berada di posisinya, apa aku yang sekarang mengurusmu, my Angel? -Erick-
Maafkan aku, Erick. Tapi Soully adalah milikku. -Yafizan-
Setelah dirasa semuanya sudah siap. Suara handle pintu yang terbuka langsung membuat ketiga orang di dalamnya menoleh.
"Apa sudah siap? Aku sudah mengurus segala administrasinya. Ayo, kalian nanti tunggu di depan saja. Aku akan ke basement dulu mengambil mobilnya," sahut Rona.
Yafizan membantu Soully beranjak lalu memakaikan outter hangat untuknya, menggandeng tangannya, membantu memapahnya. Mereka pun pergi dari rumah sakit untuk pulang. Erick mengikutinya dari belakang.
Di saat yang bersamaan, ketika mereka berempat masuk ke dalam lift untuk turun ke lobby bawah, ketika itu pula Miller dan Bimo keluar dari lift sebelah untuk menemui Soully.
Miller langsung masuk ketika melihat pintu ruang VVIP itu terbuka dan hanya mendapati ruangan kosong. Dia mencari dan membuka pintu kamar mandi yang ternyata juga kosong. Miller mengusap wajahnya kasar.
Tak lama seorang perawat hendak masuk untuk menseterilkan ruangan.
"Suster, kau tahu ke mana orang yang dirawat di sini?" tanya Miller.
"Oh, Nona Soully? Dia sudah pulang hari ini."
"Kapan?"
"Mungkin 5-10 menit yang lalu. Apa anda tidak bertemu mereka di bawah?"
Tanpa menjawab sang suster, Miller bergegas lari menuju lift menyusul mereka ke bawah. Berharap ia bisa bertemu dengan Soully.
***
Di dalam lift, Soully melepas tangan Yafizan yang melingkar pada lengan dan pinggangnya. Soully menggeser tubuhnya mendekati Erick. Dengan gerakan cepat tangan Yafizan menarik tangan Soully.
"Apa-apaan kau ini? Kemarilah, kenapa kau malah mendekati dokter pencuri itu?" sengit Yafizan.
"Maaf, tapi untuk saat ini biarkan aku di dekat Kak Erick. Kak Erick tolong bantu aku." Soully melepas cengkraman tangan Yafizan. Lalu tangannya bergelayut pada lengan Erick.
"Kenapa?" Yafizan masih dengan bersikukuhnya. Rona menahan Yafizan untuk membiarkan Soully sejenak.
TINGG!!
Pintu lift terbuka. Mereka pun keluar dengan Soully yang dibantu Erick untuk memapahnya. Rona tetap menahan Yafizan untuk bersikap sabar. Ketika mereka melangkah melewati meja informasi, sayup-sayup terdengar para suster itu berbisik.
"Tuh, lihat perempuan itu memang kekasih dokter Erick. Tak mungkin perempuan itu mengkhianati dokter Erick, secara dulu dokter Erick yang merawatnya selama dia koma." suster A.
"Betul, dugaan kita salah. Mana mungkin Yafizan Aldric pengusaha muda sukses dan kaya menjalin hubungan dengan perempuan itu. Bahkan, dulu sangat jelas waktu di konferensi pers menyatakan perempuan itu hanya asistennya saja. Bukan istrinya seperti berita yang beredar." suster B.
"Ya, kekasihnya kan Tamara si artis cantik dan super model internasional itu. Mana mungkin dia berpaling dari Tamara." suster C.
"Tapi perempuan itu memang cantik sekali. Tamara pun kalah cantiknya. Tamara kan cantik operasi plastik saja, hehehe." suster A.
"Jadi kau mendukung siapa memangnya? Dokter Erick sudah jelas, dia kekasih perempuan itu. Lihatlah, dia yang memapahnya." suster C.
"Tapi ku dengar Tuan Yafizan yang membawanya ke sini waktu itu. Bahkan menjaganya dan tak meninggalkannya sedikit pun ketika dirawat. Jadi aku fikir dia istrinya. Lihatlah, mereka juga sangat cocok. Yang satu tampan, yang satu cantik." suster B.
"Entahlah, ada hubungan apa di antara mereka." suster A.
Yafizan mengepalkan erat tangannya. Tak luput pula dari pendengaran yang lainnya. Rona pamit untuk mengambil mobilnya di basement.
Tanpa menghiraukan yang lain mereka berjalan menuju lobby depan.
***
Miller sudah tiba di bawah dan masih mendapati Soully yang sedang berdiri di depan lobby. Secepat kilat ia berjalan cepat menghampirinya.
"Soully..." dengan nafas yang masih berburu, Miller memberanikan diri untuk bicara. "Hhh...aku ingin bicara padamu, tolong."
Soully menatap Yafizan yang sedang kesal sedari dalam lift tadi. Ditambah kedatangan Miller yang tiba-tiba semakin menambah kekesalannya.
"Kumohon," pintanya lalu Soully mengangguk.
"Kita bicara di sana saja," ajak Soully menunjuk bangku yang ada di halaman depan rumah sakit.
Tanpa menengok lagi karena Soully tahu, dua lelaki yang barusan bersamanya sedang dirundung kekesalan karena kedatangan Miller yang tiba-tiba itu.
Soully sudah mendudukkan tubuhnya yang lemah di bangku taman. Tadi, Miller sempat merasa was-was ketika Soully menolak tawarannya untuk membantu memapah dirinya.
"Ada apa?" tanya Soully. Tanpa diduga Miller langsung memeluk Soully. Tak luput mengundang kekesalan dua pasang mata dari pria yang sedari tadi memperhatikan mereka.
"Maafkan aku...maafkan aku..."
"Tuan, tolong lepaskan aku." Soully meronta.
"Apa kau sudah sembuh? Bagaimana perutmu? Apakah masih mual?" cemas Miller.
"Aku baik-baik saja." Soully menepis sopan tangan Miller dari tubuhnya.
"Maafkan aku. Gara-gara kecerobohan dan keegoisanku yang terlalu memaksamu, kau hampir kehilangan nyawamu..." Miller parau. Dibarengi karena sikap Soully yang menolak sentuhannya membuat hatinya terluka.
"Tidak, ini bukan kesalahanmu. Kau tak usah merasa bersalah, Tuan. Ini kesalahanku, aku yang tak bisa menjaga kesehatanku."
"Tapi..."
"Sudahlah, Tuan. Kau tak usah merasa bersalah. Aku takkan menyalahkanmu. Apa kau merasa lega sekarang? Kalau begitu aku pamit dulu. Suamiku menungguku di sana."
Soully pergi meninggalkan Miller yang masih berdiri mematung memandang punggungnya yang kini semakin menjauhinya.
Soully berjalan perlahan, dengan cepat Erick menghampirinya dan membantunya. Entah kenapa perasaannya menjadi tak karuan ketika ia melihat suami yang ia harap untuk menghampirinya malah terlebih dahulu masuk ke dalam mobil tanpa mempedulikannya. Sedikit kecewa memang, tapi Soully mengerti, suaminya marah padanya.
Yafizan sudah duduk di dalam mobilnya. Rona melajukan mobilnya menuju ke arah Soully agar tak menghampirinya. Soully berpamitan lalu melambaikan tangan kepada Erick yang dibalas lambaian tangan juga dengan tatapan sendu. Soully masuk ke dalam mobil dengan Yafizan yang masih kesal padanya.
"Apa kau marah padaku?" tanya Soully. Yafizan hanya terdiam. Ia sedikit menghindar, lalu melingkarkan kedua tangannya di depan dadanya ketika Soully menyentuhnya.
"Sayang...kumohon jangan marah...ya..." Soully bergelayut menggoyangkan lengan Yafizan.
Hentikan! Tak usah kau memasang wajah memelas dan se-imut itu. Pertahananku bisa goyah.
Yafizan masih bersikukuh, dia tak mau menjawab. Padahal sebenarnya dia merasa tak enak sudah bersikap seperti itu pada istrinya. Namun, ia ingin memberi sedikit pelajaran.
Soully menyenderkan kepalanya di tangan Yafizan yang sedang bersedekap itu. Menatap suaminya yang sedang marah. Lalu mencium bibirnya sekilas. Yafizan menegang tapi tetap menjaga sikapnya.
Soully menghela nafas, ia menjauhkan dirinya duduk ke sisi kaca jendela, memajukan bibirnya, sebal.
Tanpa diduga sebuah tangan merangkul tungkak lehernya, menariknya lalu mencium bibirnya dengan dalam, lama-lama ciumannya semakin lembut.
"Oh, sungguh kalian tak mengenal tempat dan situasi. Apa kalian tak menganggapku ada?" Rona berdecak kesal.
Yafizan melepas ciumannya, menempelkan keningnya di kening Soully lalu berucap pelan. "Kau, hanya milikku seorang. Tak ada yang lain, maka berjanjilah untuk tidak melepas lagi tanganku. Apa kau mengerti?"
Soully mengangguk pelan, Yafizan mencium keningnya lalu dipeluknya erat tubuh mungil istrinya. Mereka tersenyum melihat tingkah Rona yang mendengus kesal.
Mobil mereka memasuki kawasan Hutan Taman Kota. Daerah yang cukup sepi. Tiba-tiba tubuh mereka tersentak, Soully terbentur kursi di depannya ketika Rona melakukan rem dadakan.
"Apa yang kau lakukan?!" bentak Yafizan kaget sekaligus panik. "Kau tak apa-apa, Sayang?"
"Aku tak apa." Soully mengusap dahinya.
"Bos, ada yang menghadang mobil kita." Rona tergagap kaget.
Sebuah mobil sport mewah menghadang mobil mereka. Mobil yang sudah tak asing lagi.
Miller keluar dari mobilnya. Menghampiri lalu mengetuk kaca mobil Yafizan.
"Ada apa lagi orang ini?" Yafizan kesal.
Tanpa menunggu kunci mobil di buka, Miller dengan kemampuannya segera membuka pintu mobil di mana
posisi Soully berada. Ia menarik paksa lengan Soully.
"HEI, apa yang kau lakukan?" Yafizan menarik tangan Soully yang satunya.
"Lepas atau kau akan menyakitinya," ancam Miller. Soully mengikutinya keluar.
Rona yang sigap segera membantu tiba-tiba ditahan oleh Bimo. "Apa-apaan kalian ini?" Rona berteriak.
"Tuan, ada apa ini? Kenapa kau..." bingung Soully.
"Jangan panggil aku Tuan!" Miller membentak, membuat Soully terkaget tak meneruskan ucapannya, dan Miller tak ingin Soully merasa takut padanya seperti Malika yang selalu menurut dan pasrah. "Panggil aku seperti yang biasanya kau memanggilku..." lirih Miller, mengusap rambut kepala Soully. Tatapannya kini menjadi sendu dan penuh kerinduan.
"Aku...memanggilmu apa?" Soully menunduk takut, tak mengerti.
"Ayo, kita pulang, Sayang. Aku akan membawamu pulang dan kita akan menikah segera." Miller menarik Soully dengan paksa. Soully meronta.
Demi apapun, ucapan Miller membuat Soully dan Yafizan tercengang. Emosi Yafizan kini sudah berada di ubun-ubun. Sehingga ia tak bisa menahan tangannya untuk menghajar Miller.
BUGG, Miller terhuyung.
"APA YANG KAU LAKUKAN? DASAR GILA!!" Yafizan dengan segala emosinya. Miller tak tinggal diam, dia menghajar Yafizan kembali. Mereka kini saling baku hantam.
Rona yang melihat tak bisa tinggal diam, namun lagi-lagi Bimo menahannya.
"Kenapa kau seperti ini? Mereka bisa saling membunuh!" seru Rona kesal.
"Biarkan saja, kita tak usah ikut campur. Biarkan mereka menyelesaikan urusannya sendiri. Keputusannya ada di tangan Nona Soully," ujar Bimo tenang. Rona terdiam ikut menyaksikan mereka.
"BERHENTI!! Kumohon hentikan!" Soully berdiri tepat di tengah pertikaian ketika Yafizan hampir mengeluarkan kekuatan supernya untuk menyerang Miller.
"ARRRRRGGGHHHH!!" Yafizan berteriak kencang.
Miller segera menghampiri Soully. Lalu melayangkan pukulan ke arah Yafizan.
"Kau ingin membunuhnya lagi dengan kekuatanmu, hah?!!" Miller berteriak.
Yafizan, Soully, Rona dan Bimo tercengang.
"Kau tahu? Dari awal Soully adalah milikku! Dan kau yang dulu membunuhnya! Kini bahkan kau merebutnya dariku!"
Yafizan terdiam, dia masih tak mengerti dengan apa yang Miller katakan.
Dengan langkah gontai, Miller mengajak Soully pergi.
"Apa maksudmu, Tuan?" Soully enggan beranjak.
"Sayang, dari awal kau adalah milikku. Calon istriku! Jodoh yang sudah ditentukan dari awal. Dan suamimu itu, dia seharusnya menikah dengan tunangannya, adikku. Mayra." Miller menjelaskan. Soully terkesiap, namun tak kalah kagetnya dengan Yafizan yang tiba-tiba oleng, lemas dan tak berdaya.
Tiba-tiba sekilas bayangan masa lalu terselip dalam memorinya ketika ia mendengar nama Mayra.
"Tidak mungkin. Kau berbohong. Aku memang pernah mengalami kecelakaan dan koma selama tiga tahun, dan aku memang mengalami amnesia. Tapi aku tak pernah merasa jika aku mempunyai calon suami, terlebih itu adalah anda, Tuan," sanggah Soully. "Kalau benar kau calon suamiku, lalu ke mana kau selama ini? Saatku koma, kenapa hanya Kak Erick yang marawatku? Ke mana saja kau?" Soully menggebu.
Miller merasa terkesiap akan pertanyaan Soully. Lidahnya seakan kelu. "Malika..." hanya itu yang keluar dari mulutnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Soully terdiam ketika Miller menyebutkan nama itu.
"Tidak, aku bukan Malika!" Soully menggelengkan kepalanya, menutup telinganya seketika ia berjalan mundur. "Tidak, tidak, aku bukan Malika..."
Soully melihat sekelilingnya, tempat yang cukup familiar. Perlahan dia terus berjalan mundur, tiba-tiba saja ada sebuah truck besar yang tengah melintas. Seperti de javu, sekilas ingatan kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Soully bergetar, ia merunduk lalu berjongkok dengan menutup kedua telinganya dan memejamkan matanya.
PAMAN AWASSSS!!!
***
Bersambung...
Jangan lupa tekan Like, Comment & Vote
Terima kasih 🙏🏻