webnovel

5. Membuat Keributan

Setelah bertukar cerita, akhirnya dia mengakui bahwa dia juga merindukanku. Betapa senangnya ketika mendengar pengakuannya. Dia pun tidur di sofa karena tidak mau tidur di sampingku karena takut mengenai tanganku. Senang karena kecelakaan itu aku bisa menemuinya lagi.

Pagi tiba. Aku membuka mata. Mengedarkan mata melihat orang yang menemaniku semalam. Apa dia sudah pergi begitu saja tanpa pamit lagi seperti waktu itu? Bukankah dia juga bilang bahwa dia merindukanku juga? Lalu sekarang pergi meninggalkan aku lagi. Sungguh menyebalkan. Aku kira dia akan menyapa pagi ini lalu menciumku.

Pintu terbuka. Kayla datang dengan membawa dua mangkuk bubur. Aku pikir dia meninggalkan aku lagi.

"Selamat pagi," sapa Kayla.

"Pagi," jawabku dengan senyuman.

"Hari ini katanya kamu sudah boleh pulang. Tetapi sepertinya keluargamu akan datang menjemput."

"Bukannya kamu yang akan mengantarkan aku pulang?"

"Aku sudah memberitahu ibu dan bilang akan datang ke sini menjemputmu. Sudah jangan banyak omong makan dulu."

"Aku harus menghabiskan dua mangkuk begitu?"

"Buatku satu, aku juga lapar. Aku sudah lama tidak makan bubur."

"Memangnya tidak ada yang menjualnya di tempatmu?"

"Ada. Hanya saja aku malas untuk pergi membelinya. He-he."

Aku kira dia akan menyuruhku untuk makan sendiri, ternyata dia masih menyuapiku. Selesai makan, dia pergi ke kamar mandi. Terdengar suara ramai di luar ruangan. Seorang perawat membukakan pintu lalu kedua orang tuaku masuk yang diikuti adikku di belakangnya. Perempuan yang memakai baju putih itu pamit pergi.

"Ya Allah, anakku. Apa tidak ada luka parah lainnya?" kata ibu setelah melihat tanganku yang memakai gips.

"Tanganku saja yang patah, bu," jawabku.

"Siapa yang menemanimu?" tanya ayah ketus.

Pintu kamar mandi terbuka. Semua mata tertuju pada arah suara. Aku melihat wajah ayah yang menatap Kayla dengan sini, lalu mengembalikan pandanganku kepada Kayla.

"Apa dia yang menemanimu semalam? Atau dia yang menyebabkanmu kecelakaan?" tanya ayah ketus.

"Assalamualaikum pak, bu. Saya Kayla temannya Aditya," katanya memberi salam.

Kayla terlihat sangat gugup. Mereka menjawab salamnya.

"Ibu, dia perempuan yang menolongku waktu itu," ucap Rena pelan.

"Benarkah?" jawab ibu.

Aku merasa bingung dengan yang dikatakan adikku. Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Kayla kepada adikku ini.

"Tidak baik perempuan dengan laki-laki berada di ruangan berduaan seperti ini. Nanti akan ada fitnah," kata ayah dengan tatapan tajam tertuju pada Kayla.

"Maaf sebelumnya, pak. Saya datang hanya mengantarkan sarapan untuknya," jawab Kayla.

"Di sini ada perawat yang mengurus itu, untuk apa kamu melakukannya? Kamu mau mencari perhatian anakku, kan?"

"Aku yang menyuruhnya untuk datang ke sini membawakan sarapan. Aku tidak peduli dengan omongan orang kalau aku bermalam dengan wanita mana pun," kataku.

Ayah terlihat menahan emosinya karena berada di tempat umum. Dia selalu mementingkan citranya di depan umum. Aku pun pulang bersama karena desakan ibu yang memohon. Kayla pun seperti itu, menyuruhku untuk pulang lalu berpamitan dengan ibu dan Rena karena ayah sudah pergi terlebih dulu ke tempat parkir.

Sesampainya di rumah, perdebatan aku dan ayah berlanjut mempermasalahkan perempuan yang menemaniku semalam. Tak kuat menahan rasa sakit mendengar hinaan yang ayah ucap mengenai Kayla, aku menantang dirinya untuk melawanku. Tetapi sayang, niatku tahan karena ada seseorang mengetuk pintu.

"Maaf pak, di luar ada yang mencari pak manajer," kata seorang staf kantor.

Aku hanya mengangguk lalu menyuruhnya pergi. "Kali ini ayah selamat," kataku dengan menatap tajam.

Aku menemui tamu yang diberitahu tadi. Menuju kantor, melihat seorang perempuan sedang memainkan HP-nya. Lokasi rumahku memang berada di belakang kantor, sehingga tidak aneh jika pegawai tahu rumah atasannya.

POV KAYLA

Aku harus mengantarkan motornya sekarang karena sudah memperbaikinya. Padahal bisa saja menyuruh orang lain yang mengembalikan motornya, tetapi aku tidak bisa mempercayai orang begitu saja. Lagi pula aku tidak seharusnya berada di sini. Tempat yang aku lihat dari kartu namanya ini.

"Ada yang bisa saya bantu, mbak?" tanya seorang perempuan begitu berdiri di depan pintu.

"Ah, iya. Saya mau bertemu dengan Aditya," jawabku.

"Oh, baik. Tunggu saja di sini, saya akan memanggilnya," katanya sembari mempersilahkan untuk duduk.

Aku membuka HP sambil menunggu orang yang aku ingin temui. Rasa gugup, malu dan takut datang bersamaan. Terasa ada yang mendekat dan terdengar suara langkah kaki, aku menghentikan bermain HP lalu melihat ke arah suara. Aku tersenyum lebar.

"Bagaimana kondisi kamu?" tanya Aditya setelah duduk.

"Seharusnya aku yang bertanya itu, bagaimana kondisimu?"

"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja. Bagaimana kamu tahu tempat ini?"

"Aku tahu karena aku menanyakannya kepada orang, dan aku juga datang bukan untuk apa-apa hanya mau mengembalikan motormu saja," kataku lalu menyimpan kunci motornya di atas meja.

"Ha-ha. Aku saja lupa bahwa aku pergi ke sana dengan motor, padahal tidak dikembalikan juga tidak apa-apa asal kamu yang memakainya."

"Aku tidak perlu itu."

Dia tetap saja baik padaku, tetapi karena itu keluarganya berpikir buruk tentangku. Bukan, tetapi ayahnya yang tidak menyukai aku beranggapan aku memanfaatkan laki-laki yang berduit.

Kemudian aku pun pamit pergi. Dia mencoba menahanku. Hingga sampai di depan pintu, Rena baru sampai di rumah yang entah habis dari mana.

"Kakak, kalian mau pergi ke mana?" tanya Rena.

Aku melihat ke arah Aditya.

"Kenapa memangnya?" tanya Aditya.

"Aku enggak tanya kak Adit, aku tanya kak Kay," ucap Rena.

"Ah, aku mau pulang," jawabku lalu tersenyum.

"Pasti kak Kay baru sampai, ayo makan dulu bersamaku," ajaknya sambil memegang tanganku.

"Sejak kapan kalian dekat?" tanya Aditya kemudian.

"Sejak tadi. Ah, sudahlah kak Adit bisanya mengganggu wanita saja. Kak Kay kita makan di luar saja, yuk!" kata Rena lalu menarik tanganku.

Aku hanya mengangguk dan mengikutinya. Tidak aku sangka, perempuan yang aku tolong dua bulan lalu di minimarket karena dompetnya hilang bertemu lagi dan juga dia ternyata adiknya Aditya.

Dia mengajakku makan bukan di tempat mewah tetapi di tempat pinggir jalan seperti ini. Aku kira orang kaya akan makan sesuai levelnya, ternyata keluarganya tidak. Kami pun makan bakso bersama sambil bercerita. Dia anak yang ceria dan mudah bergaul dengan orang baru hingga membuatku nyaman tanpa ada rasa canggung. Lagi pula aku dan Rena usianya beda dua tahun saja.

"Kak, kalau boleh tahu kak Kay sama kak Adit masih pacaran?"

"Eh, kata siapa?"

"Soalnya semenjak kejadian pernikahan kak Adit batal dia selalu menolak perempuan yang ayah pilih. Aku pikir dia seperti itu karena dia punya pilihannya sendiri."

"Oh. Lalu kenapa bisa bilang kalau aku pacarnya?"

"Karena hari sebelum kak Adit pergi dan mengalami kecelakaan aku bertanya kepada ibu karena apa yang sudah terjadi. Ibu bilang kak Adit mau membawa calon istrinya sendiri ke rumah dan menolak perjodohan ayah. Dan aku terkejut ketika melihat kakak ada di rumah sakit menemani kak Adit. Makanya aku berpikir seperti itu."

Ternyata omongan Aditya di rumah sakit benar tentang menolak perjodohan itu. Aku terdiam mendengar Rena menceritakan itu. Setelah selesai makan dan bercerita, aku pun pulang.