webnovel

15. Mengumpulkan Bukti

Setibanya di rumah, Kayla langsung masuk tanpa berbasa-basi. Sudah aku duga dia akan seperti itu. Vina dan Dika merasa aneh dengan Kayla.

"Tolong kalian tangani warungnya, kalau ada apa-apa bilang saja padaku nanti," pintaku pada mereka berdua.

Mereka hanya menganggukkan kepalanya. Aku pun langsung masuk ke kamar. Tampak Kayla tengah menangis.

"Lihat! Apa yang diperbuat Sherlin sekarang? Kamu tidak lihat tadi banyak yang memperhatikan kita?"

"Iya, sayang. Tenang dulu, aku ..."

"Apa? Aku apa? Kamu bilang kamu akan segera menyelesaikan permasalahan ini tapi apa? Sekarang malah jadi makin rumit!" ucap Kayla yang memotong perkataanku.

Aku memeluknya untuk menenangkannya, "Ssttt. Percaya padaku, semua akan baik-baik saja."

Ponselku berdering, terlihat nama Fikram. Dia memberitahu bahwa kandungan Sherlin sudah tujuh minggu. Aku terdiam ketika mendengarnya. Tidak mungkin itu anakku kan? Aku menyuruh Fikram untuk terus mengawasi Sherlin.

"Ada apa?" tanya Kayla sambil menghapus air matanya.

"Fikram memberitahuku bahwa kandungan Sherlin sudah tujuh bulan," jawabku.

Kayla kembali meneteskan air matanya.

"Kalau itu benar anakmu berarti itu anak pertamamu dong, boohoo.." kata Kayla diiringi dengan tangis.

Vina tiba-tiba datang, memberitahu bahwa ayahku datang dan membuat keributan di depan. Aku menghela napas mendengarnya, sudah kuduga dia pasti akan datang. Aku pun keluar untuk menemuinya.

"Anak kurang hajar kamu! Berani-beraninya kamu menghamili perempuan lain. Ayah tidak mau tahu kamu harus bertanggung jawab atas kehamilannya," bentak ayah.

Suara ayah yang cukup tinggi menjadikannya pusat perhatian. Aku masih diam melihat apa yang akan dia lakukan selanjutnya

"Ayah tidak mengajarimu seperti itu! Kamu harus tanggung jawab! Nikahi Sherlin dan tinggalkan wanita rendahan itu! Diam tidak ada apa-apanya dibanding Sherlin."

Tetangga dan pembeli yang masih ada di sini mulai berbisik.

"CUKUP!" bentakku. "Sudah puas mempermalukan anakmu? Kau rela menjatuhkan harga dirimu demi wanita seperti itu? Wanita yang tidak ada apa-apanya dibanding Kayla. Kayla lebih terhormat dibanding Sherlin. Mau mempermalukanku seperti apa pun, aku tidak akan pernah meninggalkan Kayla."

"Dasar anak tidak tahu berterima kasih!" umpatnya.

"Kenapa ayah begitu tidak sukanya padaku? Apa aku seburuk itu dimata ayah?" sahut Kayla.

"Siapa kamu berani memanggilku ayah?"

Aku mengisyaratkan kepada Vina dan Dika untuk membubarkan pembeli. Mereka mengangguk. Dan para pembeli pun pergi.

"Silakan ayah juga pergi. Kami lelah. Mohon kerja samanya," aku merangkul Kayla lalu mengajaknya masuk.

"Kamu harus bertanggung jawab Aditya!" teriaknya.

Kayla memelukku. "Aku tidak menyangka ini akan terjadi, aku lihat rumor tentang kejadian tadi di rumah sakit pun sudah tersebar sekarang."

"Astaga," gumamku lalu mengecup pucuk kepalanya. "Maaf karena kecerobohanku jadi seperti ini."

Aku pun mengajak Kayla ke kamar supaya dia bisa beristirahat. Begitu prihatin melihat Kayla dengan mata sebamnya. Sungguh begitu menyesal. Aku pun meninggalkan Kayla yang tengah tertidur. Aku pun keluar menemui Vina dan Dika. Aku meminta tolong untuk membereskannya saja. Warung memang harus tutup lebih awal karena begitu banyak kejadian hari ini.

"Ini uang untuk hari ini, tidak sebanyak kemarin," ujar Vina sambil menyodorkan uangnya.

"Aku berterima kasih untuk kalian yang mau membantuku," kataku sambil membagi bayaran mereka, karena aku membayarnya harian karena tidak setiap hari mereka membantuku.

"Tidak aku sangka ayahmu seperti itu, apa kamu yakin itu bukan anakmu?" kata Vina.

"Biarlah itu menjadi urusanku."

Mereka pun pergi. Aku membuka ponselku. Menyuruh Fikram untuk meretas data perusahaan ayah. Tak lama kemudian dia menelepon dan mengajakku untuk bertemu. Aku memintanya untuk datang ke rumah Kayla.

Fikram pun datang. Dia memperlihatkan data pemasukan dan pengeluaran perusahaan VK yang masih stabil. Aku berdecak kesal. Sherlin pasti tidak akan bertindak cepat dan gegabah untuk mengambil kekuasaan VK. Bayu mengirimkan pesan. Memberitahu bahwa sekarang Sherlin memintanya untuk mengantarkan ke hotel yang beralasan dengan bisnis di luar jadwal.

"Akhirnya ada kesempatan bagi kita membuat bukti bahwa dia memiliki laki-laki lain," kataku.

"Ada apa?" tanya Fikram.

"Sherlin sedang menuju hotel sekarang menemui laki-laki, dan juga pertemuannya di kamar hotel bukan di tempat pertemuan untuk bisnis."

"Itu sangat bagus. Beritahu hotelnya padaku, akan aku selesaikan sisanya."

Aku mengangguk lalu memberitahu hotelnya. Dia pun bergegas pergi. Tak lama kemudian, Kayla meringis kesakitan.

"Sayang, perutku sakit," katanya sambil memegang perutnya.

"Tahan, ya? Kita pergi ke rumah sakit sekarang," sahutku.

Aku langsung menggendongnya. Mendudukkannya di motor, tak lupa aku juga memasangkan helmnya. Sampai di rumah sakit, perawat langsung membawa Kayla masuk. Semoga kandungan Kayla baik-baik saja. Cukup lama aku menunggu, dokter pun keluar dari ruangan UGD.

"Apa anda keluarga pasien?"

"Iya, dok. Bagaimana kondisi istri saya?"

"Kondisinya sekarang sudah membaik, jika telat sedikit saja, mungkin janin yang dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan. Diingatkan kembali, ibu hamil tidak boleh stres karena itu sangat berpengaruh terhadap janinnya," jelasnya.

"Iya, dok. Terima kasih."

Aku terkulai lemas mendengarnya. Ucapan dokter itu masih berputar di kepalaku. Hanya saja, jika aku kehilangan bayi itu, itu akan menjadi senjata ayah untuk menyerangku lagi nanti.

Kayla sudah dipindahkan ke ruang rawat. Ketika aku mengusap kepalanya, dia terbangun.

"Apa aku membangunkanmu?" tanyaku khawatir.

Dia menggelengkan kepalanya. "Apakah anak kita tidak apa-apa?" tanyanya sambil mengusap perut.

"Tidak apa-apa. Percaya padaku, biar aku yang memikirkan dan menyelesaikannya. Kamu fokuslah dengan kehamilanmu. Dokter bilang jika kamu banyak pikiran itu bisa mengancam janinnya."

"Maaf," kata Kayla lalu menangis kembali.

Aku memeluknya dan mengecup keningnya untuk menenangkannya. Setelah dia tenang, dia pun mengajak pulang. Keluar dari rumah sakit langit sudah berubah menjadi gelap. Karena terburu-buru datang ke rumah sakit, kami tidak memakai jaket. Untungnya aku memakai kemeja berlengan panjang. Aku menyuruh kayla untuk memakainya. Dan aku hanya mengenakan kaus. Tiba di rumahku. Aku pun mengganti pakaian begitu juga dengan Kayla. Aku mengajak Kayla untuk beristirahat lagi.

"Sayang," panggil Kayla sambil memelukku. "Aku mencintaimu, aku mau percaya sama kamu. Aku enggak mau kamu ceraikan aku."

"Aku juga mencintaimu. Tidurlah, ibu hamil tidak baik kalau bergadang."

"Tapi aku mau main game yang sering kamu mainkan."

Aku menghela napas. Lalu memberikan ponselku. Rusak sudah win ratenya, umpatku dalam hati. Dia tidak bermain game selama aku kenal, sudah terbayang mainnya seperti apa. Dengan berat hati aku memberikannya. Aku memberikannya hanya untuk menyenangkannya, sudah cukup untuk merasa kesalnya.

"Kamu main ini nanti ketagihan," kataku sambil melihatnya memainkan ponselku.

"Ya tinggal main saja kan?"

"Memangnya kamu mengerti?"

"He-he, enggak."

Meskipun ini ilmu yang tidak berguna, demi mempertahankan win ratenya aku harus mengajarinya. Memberitahu cara memainkannya. Dan aku pun menyadari permainannya tidak seburuk yang aku kira.