webnovel

Bab 4 - Anda siapa?

"Kamu itu bagaimana sih, Mira, kenapa bisa telat? Kan papa sudah bilang jangan sampai telat, ini malah telat. Papa jadi malu sama Keluarga Pak Prakoso, mereka jadi menunggu kita berdua. Ah, kamu ini bagaimana." Heru berjalan di samping Amira, perempuan itu masih diam sambil mengatur napasnya yang tak karuan.

"Tadi macet parah, Pa. Padahal dari apartemen Salma juga udah sengaja lebih awal, tapi macet. Mira nggak nyangka kalau tempatnya di sini, kan jauh banget dari apartemen Salma. Lain kali kalau bilang itu jangan terlalu mepet, Pa, sekretaris papa aja kirim alamat udah jam sepuluh lebih. Ya Mira jadi buru-buru dari sana," bela Amira. Dia tetap harus membela dirinya, karena ini semua bukan murni karena kesalahannya. Tapi, ada unsur dari orang lain.

"Papa mau kamu tetap berperilaku baik sama mereka, Mira. Jaga perilaku dan sikap kamu. Mereka adalah keluarga terpandang. Papa nggak mau citra baik Keluarga Adhitama jadi tercoret karena ulah kamu," bisik Heru. Dia melebarkan senyumnya tatkala melihat tuan rumah, begitu juga dengan Amira. Berusaha menjadi terbaik di samping papanya. Meski dia tak mengenal siapa orang yang mengundang mereka makan siang, tapi setidaknya dia menghargainya.

Heru berjabat tangan dengan senyuman yang merekah, menawan. "Maaf terlambat, Pak Yusuf. Anak saya ini kalau diajak kemana-mana selalu saja tidak bisa tepat waktu. Maklum namanya perempuan, pasti repot mikirin baju sama riasan."

"Ah, tidak papa, Pak Heru. Anak saya juga belum datang, katanya terjebak macet. Mungkin sebentar lagi. Mari duduk," ajak pria paruh baya tersebut. Umurnya mungkin tak jauh berbeda dengan Heru. Amira ikut duduk di samping papanya, dia tak mengenali dengan siapa dia akan makan siang.

"Bagaimana kabarmu, Heru? Sudah lama sekali kita tidak melakukan acara seperti ini. Lihat putrimu ternyata sudah dewasa sekali, cantik seperti ibunya." Gelak tawa tak terelakkan dari kedua bapak tersebut. Amira hanya bisa mengangguk dengan tersenyum simpul. Tak ada hal lebih yang bisa dia lakukan selain senyum dan mengangguk.

"Seperti yang kamu lihat, Heru, aku baik-baik saja. Dan sehat selalu. Kamu lihat putriku sudah dewasa dan cantik. Mana anakmu, Yusuf? Bukannya kamu memiliki seorang putra? Siapa tahu saja mereka cocok. Anakku ini susah sekali didekati laki-laki, aku sampai bingung harus bagaimana dengan dia." Amira menoleh, dia melototkan matanya. Ini terlalu frontal sekali, dia jelas malu dibuka aibnya oleh papanya sendiri.

Yusuf dan Heru tertawa, sedangkan pipi Amira memerah padam. Dia malu. Ingin rasanya pergi dari tempat itu detik ini juga, tapi tak mungkin. Tangan Heru menggenggam kuat tangannya, tak mungkin membiarkan dirinya kabur begitu saja. Jadi, apa daya? Dia hanya bisa pasrah.

"Asal kamu tahu Heru, anakku juga sama seperti anakmu. Dia hanya gila kerja terus. Tidak pernah bawa perempuan yang ingin dia nikahi ke rumah. Bagaimana kalau nanti dia tidak kebagian jodoh ya? Pikiranku sudah kemana-mana, Heru, takut. Anak jaman sekarang tidak terlalu mau bila diatur. Padahal kalau dia mau pasti sudah ku carikan jodoh terbaik untuknya. Perjodohan jaman sekarang ini jadi hal yang aneh," ucap Yusuf. Amira mendengus kesal, pembicaraan para bapak ini menjurus ke pernikahan. Dia malah takut jika makan siang ini hanya sebuah kedok untuk menutupi rencana yang sebenarnya, perjodohan.

Suara ketukan sepatu mengalun di telinga Amira, dia enggan menoleh. Hanya Yusuf dan Heru, mereka mengembangkan senyuman ketika melihat siapa yang datang.

"Maaf saya terlambat."

Amira mematung. Dia tak asing dengan suara berat tersebut, entah dimana tempatnya dia seperti sudah pernah berjumpa. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya, lehernya pun terasa kelu untuk dia ajak menoleh ke sumber suara. Tapi, dia menebak jika laki-laki itu adalah anak yang digadang-gadang segera datang oleh Yusuf. Amira mengatur napas dan detak jantungnya.

"Aiden, kamu kemana saja? Lihat Om Heru dan Ami sudah menunggu kamu. Aish, anak ini. Cepat duduk," ucap Yusuf.

Amira menoleh ke arah laki-laki tersebut. Manik mata mereka bertemu, Amira merasa tak asing dengan wajah dan suara itu. Lalu, laki-laki tersebut mengalihkan pandangannya dan terpaku pada heels merah yang Amira kenakan. Mereka hanya diam. Laki-laki itu, Aiden, duduk di sebelah ayahnya. Tepat di depan Amira.

"Heru, ini anak bujangku namanya Aiden. Dia yang pegang semua perusahaanku nantinya. Umur hampir kepala tiga, tapi masih nol masalah percintaan. Anak muda macam apa kamu ini, Den." Yusuf merangkul bahu anaknya, tapi pandangan Aiden malah tertuju pada Amira yang menundukkan kepalanya.

Amira merasa tidak asing dengan bahu lebar, hidung mancung dan juga suara berat itu. Semua terasa tak begitu asing diingatannya. Dia tengah mencoba mengingat kembali, dimana dia pernah menjumpai laki-laki seperti ini. Terakhir dia bertemu banyak laki-laki hanya saat di kelab bersama Salma.

Heru menyenggol lengan Amira. "Berkenalan dengan Aiden, Mira. Jangan malah menunduk saja. Ada apa di bawah sana?" Amira mengangkat wajahnya. Dia tersenyum kecil ke arah Aiden. Tangannya terulur dan disambut bahagia oleh laki-laki tersebut.

"Amira Adhitama."

"Aiden Prakoso."

Detak jantung Amira terasa terhenti saat itu juga, dia melepas genggaman tangan Aiden. Ada kilatan bayangan malam itu yang kembali menghantui pikirannya. Siluet badan laki-laki malam itu sama persis seperti badan Aiden. Bahkan suara dan juga wangi parfumnya. Ini bukan sebuah kebetulan yang beruntun, bila benar maka hancur hidup Amira. Bener seperti kata Salma, karir dan segala dari papanya berada di ujung tanduk saat ini.

Gue yakin banget bukan dia, bukan Aiden orangnya. Tapi, kenapa pikiran sama hati gue berkata dia adalah orangnya? Jangan sampai! Tatapan Aiden ke gue kenapa kayak gitu? Dia seperti tengah menelisik. Gue jadi takut sendiri. Batin Amira. Keringat dingin membanjiri dahinya, dia tak begitu yakin bila laki-laki malam itu adalah Aiden. Tapi hati kecilnya berkata iya, orangnya adalah Aiden. Dia bercinta dengan Aiden Prakoso. Semua pemikiran itu terus Amira tampik, dia berusaha berpikiran positif meski susah.

"Anak Om ini, Mi, dia juga jomblo sama kayak kamu. Kalian bisa loh kalau mau saling mengenal, saya dan Heru sangat bahagia. Kami ini sudah tua, sudah seharusnya diberikan cucu." Yusuf tergelak tawa. Aiden menatap Amira dengan mengangkat alisnya sebelah. Ada ketakutan sendiri dalam benak Amira bila melihat gerak-gerik Aiden. Memang seharusnya dia harus mencari tahu siapa laki-laki yang sudah menyentuhnya malam itu.

Aku menemukan dirimu, Sweety Girl. Ternyata selama ini kamu begitu dekat denganku, hanya saja aku yang terlalu buta. Lihat, kamu cantik sekali. Akan aku pastikan kamu menjadi milikku seutuhnya, Amira. Batin Aiden dengan tersenyum miring.

"Om Heru juga senang kalau Nak Aiden mau mengenal lebih dalam lagi tentang Ami," ucap Heru. Aiden mengangguk.

"Dengan senang hati, Om." Mendengar jawaban Aiden membuat Amira mengangkat kepalanya. Tatapan laki-laki itu seolah menginginkan dirinya. Dan, jangan lupakan senyuman miring yang begitu menyeramkan di benak Amira. Ini mungkin akan menjadi berita buruk untuk hidup Amira.