Happy Reading ❤
"Diajeng, aku kok curiga ya," ucap Praditho saat malam itu bersiap-siap akan tidur. Sementara itu Cecile sedang menggunakan skincare sebelum tidur.
"Curiga sama siapa sih, Schatz?" Cecile balim bertanya sambil mengoleskan sedikit minyak wangi ke belakang kupingnya dan pergelangan tangan. Kebiasaan yang selalu dilakukan sejak awal menikah. Kebiasaan yang selalu mampu membuat gairah Praditho bangkit. Hal itu tak luput dari perhatian Praditho yang dari tadi memperhatikan istrinya yang keturunan Jerman ini.
"Diajeng, umurmu tahun ini berapa sih?" Praditho bangkit dari tempat tidur dan menghampiri Cecile. Ia berjongkok di samping sang istri. Diraihnya tangan sang istri dan mulai mengendus pergelangan tangan Cecile.
"Schatz, kamu ngapain sih? Kok tumben nanya-nanya umur." tanya Cecile heran dengan kelakuan sang suami.
"Hmm.. nggak papa. Cuma heran aja."
"Heran kenapa? Hmm.. aku tau.. kamu pasti mau ngegombal nih."
"Selama hampir 30 tahun menikah aku nggak pernah ngegombalin kamu, Diajeng. Apa yang aku katakan tulus dari dalam hatiku." jawab Praditho. Kini bibirnya mulai menciumi tangan Cecile. "Aku cuma heran, kamu itu nggak pernah perawatan wajah yang aneh-aneh, tapi kalau jalan sama anak-anak pasti disangka kakak mereka."
"Ah, bisa aja kamu. Dari dulu kok senang banget ngegombal. Ini semua karena aku punya resep rahasia." jawab Cecile sambil tersenyum menggoda.
"Oh ya? Resep rahasia apa diajeng?" bisik Praditho yang kini sudah berhasil menarik Cecile untuk duduk di pangkuannya. Kini mereka duduk di pinggir ranjang.
"Selalu bahagia bersamamu dan..... selalu bercinta denganmu." Kalimat terakhir ditutup dengan bibir yang saling melumat layaknya sepasang kekasih yang baru saja memadu kasih. Padahal pernikahan mereka sudah berjalan hampir 30 tahun.
Setelah memadu cinta layaknya pasangan pengantin baru, Cecile bergelung dalam pelukan Praditho. Keduanya tampak nyaman saling berpelukan di balik selimut.
"Diajeng, apa kamu benar-benar mau menikahkan adek dengan Lukas?" tanya Praditho sambil tangannya mengelus paha mulus Cecile. Sentuhan yang mampu membuat Cecile kembali mendesah.
"Schatz, tolong kondisikan ya tangannya. Apa yang tadi belum cukup?" tanya Cecile sambil kembali mendesah karena tangan Praditho kini mengelus perutnya.
"Bersamamu nggak akan pernah cukup sekali, diajeng." jawab Praditho.
"Nanti kalau aku hamil gimana?"
"Ya nggak papa kan. Apalagi sekarang rumah sudah mulai sepi. Sebentar lagi adek akan menikah dan ikut suaminya. Gibran selalu sibuk. Ghiffari juga akan sibuk dengan keluarga kecilnya." jawab Praditho sambil mengecup bahu telanjang sang istri.
"Kamu nih nggak mau kalah sama Ghiffari ya. Malu dong kalau nanti cucu dan om lahirnya barengan."
"Wah ide bagus tuh, diajeng. Ayo kita proses lagi," ajak Praditho. Cecile tergelak mendengar ajakan suaminya.
"Schatz, usiaku sudah hampir 50 tahun. Kamu tega lihat aku yang semakin jompo masih mengurus bayi?"
"Kan ada aku, diajeng. Lagipula kata siapa kamu jompo. Kamu itu masih muda, cantik dan seksi. Aku akan menyerahkan urusan perusahaan pada Gibran dan Gladys, lalu membantu mengurus bayi bersamamu di rumah. Gimana?" Tanpa menunggu persetujuan Cecile, Praditho kembali mengajak istrinya bercinta. Sebagai istri yang baik tentu saja Cecile tak bisa menolak keinginan suami.
Kini mereka kembali saling berpelukan setelah permainan cinta yang cukup panas. Keduanya masih mengatur nafas yang masih memburu. Praditho mengecup lama kening Cecilia.
"I love you, diajeng," bisik Praditho.
"Love you too. Schatz, tadi kamu bilang kalau kamu curiga. Curiga sama siapa?" tanya Cecile sambil bersandar di dada Praditho.
"Aku curiga adek punya hubungan dengan Banyu."
"Banyu? Banyu temannya Gibran? Ah, nggak mungkin, Schatz."
"Nggak mungkin gimana? Banyu nggak jelek lho. Bahkan menurut papi dia ganteng, sopan, perawakan tubuhnya juga bagus. Kalau orang nggak tahu pasti mengira dia pegawai kantoran atau bahkan model. Pendidikannya juga lumayan, sarjana. Papi yakin yang naksir dia banyak."
"Mami kan tahu bagaimana selera Gladys. Lagipula kamu lihat kan bagaimana sebalnya Gladys pada Banyu."
"Kamu nggak memperhatikan ya. Saat pernikahan Ghiffari hubungan keduanya sudah nggak seperti Tom dan Jerry lagi. Mereka terlihat cukup akrab. Bahkan aku baru sadar, mereka bukan sekedar akrab tapi mesra."
"Itu kan pencitraan saja, Schatz. Biar nggak jadi omongan orang," sanggah Cecile.
"Kemarin saat jogging, kita ketemu dengan Banyu. Dan aku lihat interaksi mereka seperti layaknya sepasang kekasih."
"Ah, mungkin kamu itu salah lihat schatz. Banyu berusaha bersikap baik pada Gladys, karena dia kan adiknya Gibran dan Ghiffari. Apalagi dia kan bawahannya Ghiffari. Ya wajarlah kalau dia bersikap baik."
"Kamu tahu kalau saat acara fashion week di Bali, Gladys meminta Banyu untuk mendampingi dia?" Wajah Cecile tampak terkejut mendengar hal itu. "Aku diberitahu oleh Gibran."
"Schatz, bagaimana kalau seandainya Gladys jatuh cinta pada Banyu?" Tiba-tiba muncul kekhawatiran di hati Cecile.
"Ya nggak apa-apa tho. Wajar saja kan kalau wanita jatuh cinta pada pria macam Banyu," jawab Praditho santai.
"Ya jangan dong. Aku kan mau menjodohkan Gladys dengan Lukas. Bahkan kemarin jeng Meisya sudah mau mengajak Gladys ke butik untuk lihat-lihat baju pengantin. Keluarga mas Bram kayaknya sudah nggak sabar berbesan dengan kita."
"Kamu yakin Lukas pasangan yang tepat untuk Gladys?"
"Iya dong. Lukas itu ganteng, dokter spesialis jantung, keluarganya terpandang dan pemilik rumah sakit. Lukas itu selevel dengan kita, schatz. Bukannya aku nggak suka sama Banyu. Aku tau dia anak yang baik, tapi strata sosial dia berbeda dengan keluarga kita. Jomplang banget kalau adek menikah dengan Banyu."
"Hmm..."
"Schat, kamu nggak keberatan kalau Gladys memilih Banyu?" tanya Cecile
"Nggak usah dipikirin. Yuk kita tidur aja. Sudah lewat tengah malam, nih." ajak Praditho sambil memeluk erat Cecile. "Kamu pasti capek kan."
"Iyalah. Bagaimana nggak capek kalau kamu minta jatah sampai dua kali." sungut Cecile. Praditho tertawa dan mengecup lama kening Cecile.
⭐⭐⭐⭐
"Nyu, kemarin Gladys telpon ibu."
"Ada apa bu?"
"Kamu jadian sama dia?" Banyu hanya tersenyum. "Beneran Nyu?"
"Menurut ibu gimana?"
"Kamu yakin Nyu?"
"Entahlah bu. Banyu ingin mencoba menjalaninya bersama Gladys."
"Kamu mencintai nak Gladys?"
"Banyu nggak tau rasa apa yang sekarang ada. Yang pasti Banyu merasa nyaman berada di dekat Gladys. Banyu juga suka kangen sama dia," jelas Banyu sambil tersenyum.
"Sama rasanya seperti kepada Senja?" Banyi terdiam mendengar pertanyaan Aminah.
"Kenapa tiba-tiba ibu menyebut Senja?"
"Ibu hanya ingin tau sejauh mana perasaanmu terhadap Gladys. Apalagi sekarang Senja akan bercerai dengan suaminya," jawab Aminah.
"Ibu tahu darimana tentang itu?"
"Senja yang cerita saat dia main kesini."
"Dia cerita kenapa dia mau cerai? Apakah dia benar-benar jadi mengajukan gugatan?"
"Kenapa kamu ingin tahu? Kamu kan sudah jadian dengan nak Gladys."
"Hmm.. nggak papa juga sih. Cuma waktu Banyu di Bali, Senja memberitahu tentang hal itu. Pernah juga Banyu lihat pipinya ada bekas memar dan dia sepertinya habis menangis."
"Kamu masih berhubungan dengan dia? Dia itu kan istri orang Nyu. Kamu tahu nggak, apa yang kalian lakukan justru membahayakan kehidupan dan pernikahan dia."
"Hanya beberapa kali saat Banyu di Bali dan biasanya dia yang menghubungiku lebih dahulu. Itu pun lebih banyak via chatting." jelas Banyu.
"Kamu masih mencintai dia, Nyu?" Banyu tak menjawab pertanyaan Aminah. "Saran ibu, kalau kamu benar-benar ingin serius dengan Gladys lebih baik kamu benar-benar melupakan Senja."
Bagaimanakah perasaanku sesungguhnya terhadap Senja? Mengapa rasa itu tak bisa sepenuhnya hilang dari hatiku. Apakah aku masih mengharapkannya? Apa yang harus kulakukan seandainya dia kembali hadir dalam hidupku? Bagaimana dengan Gladys?
"Nyu..."
"Itu hp kamu dari tadi bunyi terus. Coba lihat siapa yang menghubungimu. Siapa tau nak Gladys. Kemarin dia bilang mau kesini. Mau belajar masak katanya." Banyi hanya melirik hpnya. Terlihat nama Diandra disitu.
"Ibu yakin dia akan bisa masak? Disuruh kupas bawang saja nggak bisa. Jangan-jangan dia nggak tahu yang namanya garam." Banyu tertawa, apalagi bila mengingat kejadian saat di Bali.
"Nyu, sebenarnya apa yang terjadi saat kalian di Bali?"
"Banyu juga bingung bu. Awalnya memang Banyu yang menghindari Gladys. Bahkan dengan tega Banyu meninggalkan dia saat Banyu selesai sidang. Namun saat melihat dia menangis, ada rasa sakit di hati Banyu. Apalagi Banyu sadar dia menangis karena Banyu. Perasaan Banyu tambah tak karuan saat Gladys bilang ingin menyerah dan ingin memilih pria lain. Ada rasa tak rela. Kalau meminjam istilah Gladys, kalah sebelum berperang."
"Kamu cemburu?" Banyu mengangguk dengan ragu. Aminah tersenyum melihat keraguan yang jelas tampak pada diri Banyu.
"Kamu tak ingin dia berpaling?" Kembali Banyu mengangguk.
"Itu tandanya mas Banyu sudah mulai punya perhatian sama kak Gladys," celetuk Aidan yang baru saja keluar kamar. Banyu hanya mengangkat bahu.
"Mas, kemarin siang kak Senja ke sekolah adek lho." Kini si bungsu ikut bicara. Dari tadi dia sibuk mengerjakan tugas sekolah. "Dia mau ajak adek makan siang, tapi adek tolak karena adek masih ada kegiatan di sekolah. Akhirnya kak Senja membelikan pizza buat adek dan teman-teman."
"Oh ya? Kamu kok nggak cerita sama mas Banyu?"
"Lah ini lagi cerita. Lagian apa kepentingannya adek harus lapor sama mas Banyu? Dia kan bukan pacar mas Banyu. Dia kan sudah menyakiti mas Banyu dengan lebih memilih pria lain." jawab Nabila agak judes. Entah kenapa ia masih tak suka dengan Senja yang sudah menyakiti kakak yang paling dia sayangi.
"Kok ngomongnya judes begitu sih?" goda Banyu sambil memeluk bahu Nabila.
"Aku tuh masih belum bisa melupakan apa yang dia perbuat ke mas Banyu. Sekarang giliran pernikahannya ada masalah dia mencari mas Banyu, dia langsung mendekati lagi keluarga kita." sahut Nabila berapi-api. Banyu tak bisa menyalahkan bila adiknya bersikap seperti saat ini.
"Aku dan adek lebih setuju kalau mas Banyu beneran jadi sama kak Gladys." ucap Aidan serius.
"Bagaimana dengan ibu?" tanya Banyu.
"Ibu menyerahkan semuanya kepada kamu, Nyu. Kamu yang akan menjalani, bukan ibu atau adik-adikmu. Kalau kamu bahagia dengan pilihanmu, maka ibu akan ikut bahagia."
"Ibu nggak bisa gitu dong. Ibu harus memilih berpihak kemana." ucap Nabila kesal dan agak keras.
"Adek, jaga nada bicaramu ke ibu," tegur Banyu.
"Maafin adek, bu," ucap Nabila sambil menunduk. "Adek jadi emosi karena ibu bersikap kayak begitu. Ibu lupa ya waktu orang tua kak Senja menolak kedatangan keluarga kita ke rumahnya. Padahal saat itu kak Senja belum dijodohkan dengan suaminya."
"Ibu ingat itu semua, sayang. Tapi sekali lagi bagaimana perasaan ibu tidak penting, karena yang terpenting adalah anak-anak ibu bahagia," jawab Aminah sambil mengelus kepala Nabila yang tertutup jilbab.
"Kalau mas Banyu ingin kembali pada Kak Senja, apakah mas Banyu yakin keluarganya akan menerima pekerjaan mas Banyu?"
"Apa bedanya dengan keluarga Gladys? Keluarga mereka bahkan jauh lebih kaya raya dibandingkan dengan keluarga Senja. Kemungkinan kakak ditolak juga besar karena pekerjaan kakak yang serabutan dan sebagai tukang sayur." Banyu mengutarakan kekhawatirannya.
"Tapi kak Gladys pernah bilang sama adek kalau kakak-kakaknya bisa menerima kak Gladys memilih mas Banyu. Bahkan kak Gladys bilang dia nggak akan menyerah kalau memang mas Banyu mau sama dia. Berbeda dengan kak Senja yang menyerah begitu saja," ucap Nabila lagi.
"Kenapa mas Banyu mau jadian sama kak Gladys? Apakah hanya karena terbawa suasana romantis saat di Bali?" tuduh Aidan.
Banyu kembali terdiam. Apakah karena itu atau karena memang dirinya menginginkan itu? Entahlah, sampai sekarang mereka berdua tak pernah lagi membahas bagaimana perasaan masing-masing. Yang ia tahu, ia merasa nyaman saat berdekatan dengan gadis itu, ia pun merasa tak rela bila ada pria lain yang melirik Gladys. Ia juga merindu bila lama tak saling menyapa baik melalui bertukar pesan, sekedar say hello via telpon maupun video call. Ia menikmati itu semua. Apakah itu bisa dikatakan cinta? Bukankah cinta tak sedangkal itu? Ah, memikirkan itu semua membuat kepala Banyu ingin meledak. Gladys dan Senja. Keduanya menempati ruang hatinya.
⭐⭐⭐⭐