webnovel

Menara Cinta

Sejak kecelakaan itu terjadi.. Seiring berjalannya waktu hidup Sasya berubah. Sasya tak memikirkan lagi masa lalunya! Karena Sasya tak bisa mengingat semuanya. Karena jika Sasya mengingat hal itu. Hanya akan menambah luka di hatinya! Yang Sasya tau, kegelapan serta kedinginan dan Kesepian.

Kazuma_Hans3139 · 都市
レビュー数が足りません
88 Chs

Cemburu

Memasang dasi dengan tenang, Bryan mengingat kembali kejadian semalam. Tentang Sasya yang mengigau menyebut nama Bagas berulang-ulang.

Dahinya mengerut, jujur saja Bryan tidak suka mendengarnya.

"Tsk!"

Menolehkan kepala saat pintu kamarnya diketuk, Bryan beranjak untuk membukanya.

"Bryan?" Tanya Sasya sedikit ragu.

"Iya, ini saya." Jawab Bryan, ia menuntun Sasya masuk kedalam kamarnya.

"Ada apa?"

"Apa kau mau menemaniku sarapan?"

"Tentu saja saya mau, tapi sebentar lagi ya? Saya lagi siap-siap." Ucapnya sambil membereskan berkas-berkas untuk rapat hari ini.

Sasya mendengarkan dengan jelas, bagaimana pria itu membalik buku, memasukannya kedalam tas. Juga bagaimana pria itu membuka lemari dan menutupnya.

Sejak dirinya buta, Sasya sering mendengarkan hal sekecil apapun. Seperti nyanyian burung dan suara lainnya.

Bryan melirik Sasya, tersenyum tipis saat melihat gadis itu memiringkan kepala. Ah.. andai saja gadis itu tidak buta.

Ngomong-ngomong soal itu.. apa Lian sudah mendapatkan matanya?

"Sya, nanti siang saya jemput kam-"

"Memangnya mau kemana?" Potong Sasya cepat, gadis itu menggigit bibir. Merasa tidak sopan karena memotong pembicaraan.

"Kita ke rumah sakit, chek up." Sasya mengangguk patuh, ia mencoba berdiri. "Hati-hati." Ucap Bryan sedikit panik.

Pasalnya, gadis itu hampir saja menabrak meja kerjanya.

Mereka pun keluar dari kamar, Bryan menuntun Sasya saat menuruni tangga. Dan hampir saja Sasya terjatuh, jika Bryan tidak ada di sampingnya.

Saat mereka sudah sampai di ruang makan, Bryan menarik kursi untuk Sasya. "Duduk disini." Ia memberi intruksi.

Mia, kepala pelayan disana berdiri disamping Bryan. Memperhatikan Sasya sedari tadi, bahkan dari kemarin. Wanita separuh baya ini selalu memperhatikan Sasya.

"Kenapa tuan muda mau sama gadis buta ini?" Batin Mia heran. Ia akui, Sasya memang cantik. Tapi kecantikannya percuma jika Sasya buta. Pikirnya.

Bryan memotong roti lalu menyuapi Sasya.  Matanya tak sengaja melihat Farrel datang sambil membawa amplop coklat. "Cepat seperti biasa." Batinnya.

"B-Bryan.. biar aku sendiri saja. Kamu makanlah sarapanmu." Tolak Sasya halus saat Bryan akan menyuapinya lagi.

Sasya menolehkan kepala ketika mendengar suara langkah kaki mendekat kearahnya, atau lebih tepatnya kearah Bryan.

"Tenanglah, dia Farrel." Ujar Bryan tenang, seolah tau kegelisahan Sasya.

"Semuanya sudah lengkap." Bryan menatap Farrel dan asistennya itu mengangguk pelan, kemudian Farrel melakukan beberapa kode untuk memberitahu atasannya itu. Tampaknya mereka lebih nyaman berbicara lewat bahasa isyarat, karena hanya mereka saja yang tau.

"Oh ya, kemarin kamu telpon saya. Dari mana kamu tau letak telpon rumah serta nomor ponsel saya?" Tanya Bryan bingung. Seingatnya, dia tak pernah memberi tahu nomor ponselnya pada gadis itu.

Mia berdehem, "Nona yang meminta saya untuk menghubungi tuan."

Ah.. pantas saja.

"Saya berangkat kerja dulu, kalau kamu butuh apa-apa. Bilang sama Mia ya?"

Sasya mengangguk, wajahnya terlihat murung. Tapi sebisa mungkin Sasya tersenyum. "Hati-hati dijalan!"

Deg...

Bryan menatap Sasya lama, baru kali ini ada seseorang yang mengucapkan kata seperti itu padanya. "Hm.. terimakasih." Sebelum pergi, Bryan mengecup puncak kepala Sasya.

Hening..

Bryan sudah pergi, disini hanya ada pelayannya saja. Meski enggan, Sasya harus terbiasa dengan kehadiran mereka. Walaupun dirinya tidak bisa melihat, Sasya tak ingin merepotkan siapapun.

Tapi pengecualian untuk Bryan sepertinya, entah kenapa bersama lelaki itu Sasya merasa nyaman. Membuat dirinya tak sungkan jika mengandalkan Bryan disampingnya. Walaupun ia belum mengenal dekat dengannya.

Bagas, Dimas.

Gimana kabar kalian? 

Batinnya bertanya-tanya, apa mereka mencari keberadaanku? Atau mereka tak perduli jika aku menghilang?

"Terimakasih atas makanannya." Gumam Sasya setelah menyelesaikan sarapannya. Gadis itu berdiri, berniat kembali ke kamarnya.

Mia hanya menatap kepergian Sasya, ia menghela nafas. "Sepertinya bakal repot nanti, ngurusin orang buta."

Samar-samar Sasya mendengarnya, tangannya terkepal. Rupannya wanita itu hanya bersikap baik jika ada Bryan didepannya. "Rubah sialan." Umpat Sasya dalam hati.

Tangannya terulur, menggapai pegangan di tangga. Pelan-pelan Sasya menaiki anak tangga demi tangga tersebut, ia juga menghitung tiap kali dirinya berpijak. Seingatnya, jika dirinya berbelok ke kanan. Ia akan menemukan kamar Bryan, jika ia berbelok kiri. Pasti itulah kamarnya.

"Bryan sudah janji, dia bakal cari mata buat aku. Tapi sampai kapan? Aku gak mau buta selamanya!" Ucap Sasya lirih. Beberapa langkah kemudian, Sasya berhasil sampai di kamar Bryan.

Sepertinya ia ingin istirahat disini sebentar, Bryan sedang bekerja. Ini adalah kamar Bryan. Pasti rasanya pun sama ketika pria itu ada disampingnya.

"Aku pinjem kamar kamu sebentar."

.

.

Bryan duduk dengan nyaman di kursi kebesarannya. Ia melihat lihat hasil pencarian Farrel mengenai anak dari keluarga Eryudha.

Latar belakang mereka biasa saja, tak ada yang mencolok. Kecuali sang pewaris utama, disini tertulis. Jika Eryudha Bagaskara senang bergonta-ganti pasangan.  Dan tangan Bryan mengepal saat melihat foto Bagas bersama Sasya.

Sepertinya foto ini belum lama diambil. Mengingat wajah Sasya yang tampak tak berubah.

"Nona Sasya salah satu pacarnya si sulung. Dan kabarnya, pewaris utama keluarga Eryudha akan melangsungkan pernikahan." Jelas Farrel.

Pacar katanya? Apa mereka sudah putus?

"Selain Bagaskara, nona Sasya di sukai oleh Dimas." Imbuhnya.

Bryan memangku tangan, tampaknya Sasya disukai kaum lelaki. Dirinya tak menyangkal, ia pun tertarik pada gadis itu.

"Kau bilang Bagaskara akan menikah?" Tanya Bryan memastikan. Farrel menggangguk, setelahnya ia mengulurkan sebuah undangan.

"Anda diundang untuk hadir."

Bryan membuka undangannya, membaca isi.. tapi kenapa nama yang tertera disana. Bukan nama Sasya?

Ah.. gonta-ganti pasangan. Kata itu terngiang dibenaknya. Sepertinya ia tahu, penyebab Sasya tidak mau pulang kerumahnya. Pasti pria ini akan mencarinya lagi.

Mengetahui hal itu, Bryan tersenyum. Sasya lebih memilih tinggal bersamanya. Yang bahkan belum lama dikenal gadis itu, dan menolak kembali kerumah karena situasinya begini.

"Jangan sampe Sasya tau kalau si Bagaskara itu bakal nikah."

Farrel meringis, apalagi yang akan dilakukan Bossnya ini?

.

.

Nara menatap kesal suster didepannya. Padahal Nara hanya ingin mengetahui data pasien dirumah sakit itu. Tapi kenapa mereka tidak mau memberi tahu?

Hilangnya Sasya tanpa jejak, membuat mereka kesusahan untuk mencari.

Nara cemas, pernikahan Bagas sudah dekat. Jika saja Sasya ketemu, ia bisa saja menggagalkan pernikahan kakak tersayangnya itu.

"Sabar Nar, gua udah nyuruh orang buat cari Sasya. Gua yakin, Sasya bakal ketemu secepatnya." Dimas berusaha menghibur.

Nara menatapnya kesal, "sabar lagi, sabar lagi. Sabar aja sampe katak punya sayap." Batin Nara kesal.

Mereka meninggalkan rumah sakit dengan tangan kosong. Nara kecewa karena tak menghasilkan apapun. dirinya merasa gagal menjadi saudara Bagas karena tak bisa membantu.

"Kita pulang dulu, nanti besok setelah pulang sekolah kita cari lagi oke?" Bujuk Dimas pada kekasihnya. Nara hanya menurut, tak ada pilihan lain.

.

.

Rapat telah selesai lima menit lalu, Bryan bersiap untuk pulang menjemput Sasya.

"Edo, apa masih ada jadwal lagi setelah ini?"

Sang sekretaris tersentak, ia membuka tab untuk melihat jadwal Bryan selanjutnya. "Tidak ada pak. Mungkin besok anda harus menghadiri undangan makan malam dari pak Sonjaya."

"Kamu aja yang dateng, saya males ke acara begituan." Ucapnya sambil berlalu. Tak memperdulikan sekretaris yang tampak kesal dengannya.

Kalian harus tau saja, pekerjaan Edo itu tidak mudah. Mungkin Bryan memang Boss yang baik. Tapi pria itu terkadang bersikap seenaknya saja!

Tak butuh waktu yang lama bagi Bryan untuk sampai dirumahnya. Kepalanya menoleh kesana-kemari mencari sosok Sasya.

Tapi tidak ada. Tempat yang belum Bryan datangi hanya kamar miliknya. Mungkinkah Sasya disana?

Ia pun membuka pintu kamarnya, tatapannya tertuju pada gadis cantik yang tampak tidur dengan pulasnya. Diranjang miliknya. Siapapun itu, Bryan akan memarahinya jika saja bukan Sasya.

Berjalan mendekat, sebisa mungkin Bryan tidak membangunkan Sasya.

Sepertinya gadis ini benar-benar nyaman, ia sangat lelap dalam tidurnya.

Bryan mengambil ponsel, memotret Sasya beberapa kali.

"Lumayan deh, buat penyemangat kalau saya lagi Bt di kantor." Ia menggumam pada dirinya sendiri.

Setelahnya Bryan mengirim pesan untuk Lian, kunjungan mereka ke rumah sakit di tunda sampai sore nanti.

Bryan memutuskan untuk ikut berbaring diranjangnya. Memeluk Sasya pelan, takut kalau pergerakannya membuat gadis itu terjaga.

Perlahan ia memejamkan mata, mencoba untuk tertidur juga.

Sedang diseberang sana, tepatnya dirumah sakit. Seorang dokter mencak-mencak karena kesal.

"Dia pikir rumah sakit ini miliknya? Bisa datang seenaknya saja!" Dengus Lian kesal. Sumpah serapah ia ucapkan untuk sang sahabat dirumah.

Sedang Bryan merasa telinganya panas,  ah.. sepertinya ia tahu siapa yang tengah membicarakan dirinya.

"Bodo amat deh." Ucapnya dalam hati.