Mendadak bibir Alma terasa sangat kaku. Bagaimana dia harus menjelaskannya? Manakala Alma hendak berkata jujur, Umi sudah menyela dulu. "Oh iya, dia masih di kantor, ya?"
"Kalau begitu, sekarang kita masak dulu saja. Nanti Mas Lazuardi yang akan menjemputmu. Kamu sudah bilang kan?" tanya Umi.
"Abi sudah kasih pesan tadi, Alma ada di sini." timpal Abi.
"Oalah, yaudah yuk, kita masak dulu, Alma. Nanti barulah makan, dan kamu bisa pulang."
Alma meringis. Ia mengikuti langkah Umi ke dapur. Membantu mencuci beras untuk menanak nasi.
Di saat itulah Alma terpikir. Ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya.
"Umi, kalau boleh tahu.... Mas Lazuardi itu kerja di mana, ya? Dia nggak pernah cerita soal pekerjaannya."
Umi mendadak tertawa. "Astaghfirullah, dia itu sibuk sekali, ya, sampai nggak banyak cerita sama kamu. Dia ini owner PT Pulp Industry."
"Pulp Industry?"
"Iya, perusahaan kertas itu lho. Ya ampun, Umi sampe nggak kebayangin kamu dan dia sampai jarang komunikasi begini."
Alma pun menggarukkan kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu merasa lega, tetapi juga kebingungan. Kenapa Mas Lazuardi seolah menyembunyikan pekerjaannya? Bukankah pekerjaan di PT Pulp Industry itu halal?
Tatkala itu, suara bel mendadak berdentang, membubarkan pikiran Alma.
Oh lala. Ternyata Si Biang Kerok Pembuat Masalah di otaknya sudah datang.
Mas Lazuardi.
* * *
Alma benci dengan kenyataan kalau Mas Lazuardi baik baik saja meski mereka pisah ranjang.
Lihatlah, lihat! Lelaki itu bahkan bisa tersenyum sangat wibawa kepada Abi dan Umi.
Sialnya, Alma juga merindukan senyuman Mas Lazuardi ini. Ah, betapa Alma sudah lama tak merasakan kelembutan lelaki ini. Bahkan dari kelembutan suaranya.
Di saat itu, Alma hanya bisa banyak diam dan memperhatikan.
Sampai suatu ketika, Umi tiba-tiba menyeletuk. "Kalian ini ada apa mendadak datang? Mau bawa kabar apa?"
"Jangan jangan Alma sudah isi, ya?" tanya Umi menggoda.
Digoda begitu, Alma hanya bisa menelan kepahitan. Bagaimana mungkin dia hamil, sementara Mas Lazuardi saja tidak pernah menyentuhnya?
Dia bahkan seperti perempuan yang mengemis sentuhan pada Mas Lazuardi.
Anehnya, Mas Lazuardi malah berkata dengan malu-malu. "Doakan saja yang terbaik,"
"Ahhh~ Umi nggak sabar lihat cucu yang mirip denganmu Almaa,"
Alma hanya tersenyum, menyembunyikkan luka yang tersayat di dadanya.
Tak berselang lama, acara makan malam pun berakhir. Abi dan Umi melambaikan tangannya, mengantarkan Alma dan Mas Lazuardi masuk ke dalam mobil.
Sepasang suami istri itu sudah berada di mobil, Mas Lazuardi sudah mengenakan seatbelt, dan mulai melajukan mobilnya.
Di kala itu, Alma langsung menimpali. "Doakan yang terbaik? Kamu bercanda Mas?"
"Alma," Sungguh, suara Mas Lazuardi sangat pelan nan lembut saat dia menyebut namanya. Seakan menggempurkan pertahanan Alma yang selama ini dibuat.
"Aku sungguh--"
Alma tidak peduli, dia langsung menyela. Dia menuding tepat ke ulu hati Mas Lazuardi. "Mas, apakah Mas Lazuardi sadar dengan apa yang terjadi? Alasan kenapa aku pergi dari rumah Mas dan tidan mau balik lagi ke sana?!"
Dalam waktu yang singkat, Mas Lazuardi pun terdiam. Lelaki itu tidak bisa menjawab apa pun.
Alma pun menghela napas panjangnya. Ia tahu, kalimatnya nanti akan merusak hubungan rumah tangganya dengan Mas Lazuardi yang seumur jagung.
Namun, lebih baik dia tahu alasannya daripada harus mengubur ini semua.
"Kenapa Mas Lazuardi sama sekali tak menyentuhku? Apakah Mas Lazuardi jijik kepadaku?"
"Jawab, Mas."
* * *