Wajah Mas Lazuardi sungguh tak bisa dijelaskan. Perasaan Alma berubah tidak enak, gadis itu berakhir mengatupkan mulutnya. Bagaimana mungkin lelaki itu begitu jahat bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun?
Mas Lazuradi membuka mulutnya, ia hendak mengucapkan sesuatu, tetapi Alma buru-buru mengatakan. Ia menarik dirinya, "Mas tidak perlu menjawabnya kalau Mas merasa keberatan."
Gadis itu beralih tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Tidak masalah aku tak tahu apa pun soal Mas Lazuardi."
Gadis itu mengelap ujung matanya, lalu berkata. "Ah, rasanya aku terlalu emosional hari ini. Aku ingin pulang sendiri saja,"
Ia hendak keluar dari mobil, tetapi Mas Lazuardi buru-buru mencegat Alma. Lelaki itu menyentuh tangan Alma. "Jangan pergi...."
Alma melihat ke arah Mas Lazuardi, lelaki itu memandangnya dengan wajah yang tak bisa dijelaskan. Ada penyesalan dalam yang terpatri di wajahnya.
"Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi, jangan pergi... Kumohon." Lelaki itu menyentuh kepala Alma, lalu memberikan sebuah pelukan kepada gadis itu.
"Aku punya alasan tersendiri untuk hal ini. Aku tidak pernah sekalipun merasa jijik padamu. Bagaimana mungkin aku merasa jijik kepada istriku sendiri?"
"Lalu... Kenapa kau tidak pernah menyentuhku?"
Mas Lazuardi melepaskan pelukannya. Dia menyentuh pipi Alma. "Aku hanya tidak sanggup melakukan itu. Aku merasa tidak pantas untukmu. Jadi, izinkanlah aku untuk menyiapkan diriku sendiri."
"Aku takut jika aku sudah menyentuhmu, aku tak bisa menahan diriku sendiri. Aku belum siap untuk menjadi Ayah."
Mata Alma membulat... Ayah?
Lelaki tampan di depannya itu menyentuh pipi Alma. "Jadi, bersabarlah... Apakah kamu mau untuk bersabar dan kembali padaku?"
Alma pun menganggukkan kepalanya. Di saat itu, Mas Lazuardi memberikan kecupan hangat di kening Alma. Disertai dengan bisikan lembut berupa ucapan terima kasih.
Di saat itu, jantung Alma berdebar.
Perasaannya kepada Mas Lazuardi adalah hal yang nyata.
* * *
Alma kembali ke apartemen Faradina. Gadis itu mengemas barang-barangnya. Dan tentu, Faradina mengernyit melihat tingkah Alma.
"Kamu mau pergi?"
"Mmm."
"Sudah menemukan tempat baru?" tanya Faradina mencoba menerka-nerka.
Alma menggelengkan kepalanya. "Mm-mmm. Tidak, aku tidak punya tempat baru. Tapi, aku akan kembali."
"Setelah kamu kehabisan uangmu, kamu memutuskan untuk kembali ke rumah? Well, itu memang langkah yang cukup bagus daripada kamu terus menerus berada --"
"Tidak, aku tidak ke rumah."
Kerutan di kening Faradia muncul. "Terus? Kamu mau ke mana? Jangan bilang...."
Gadis itu merekahkan sebuah senyuman. Membayangkan Mas Lazuardi. "Ya, aku kembali. Ke rumah Mas Lazuardi."
Pupil mata Faradina membesar. Ia malah mencengkram kuat pundak Alma. Serasa ada yang salah dengan gadis ini. "Hei, katakan... Kau benar benar kembali padanya? Apa yang terjadi??!"
Alma melepaskan tangan Faradina yang shock itu. Masih merangkum senyuman, dia berkata dengan bayangan indah Mas Lazuardi yang memenuhi kepalanya.
"Aku kemarin bertemu dengannya. Aku mengatakan semua kekhawatiranku. Dan kau tahu apa jawabannya?"
"Apa?" tukas Faradina tak sabaran.
"Dia berkata, kalau dia belum siap jadi Ayah. Sehingga dia takut untuk menyentuhku."
"Astaga..."
Faradina menepuk jidatnya sendiri. Ia pun mengatakan pada Alma kalau Lazuardi ini sangat bodoh.
Dengan kecanggihan teknologi yang ada, lelaki itu bisa mengenakan pengaman, suntik KB, atau pil penahan kelahiran atau apapun itu, Faradina juga tidak begitu paham.
"Tapi dia bisa melakukannya. Ada banyak cara untuk tidak jadi Ayah."
"Aku tahu, tapi pasti dia tidak nyaman. Tetap saja ada konsekuensi aku bisa hamil. Aku ini perempuan normal, Faradina."
Faradina menggelengkan kepalanya, masih tak percaya dengan pemikiran Lazuardi. Ia sungguh berharap, kalau Alma tidak terperdaya pada tipu muslihatnya.
Karena entah mengapa, Faradina merasa ada keanehan pada lelaki itu. Meski itu entah apa.
* * *