webnovel

Hello, Office

Kepalaku seperti dihantam sesuatu dengan sangat keras, terasa berputar dan sulit kukendalikan. Ucapan Papah barusan membuatku membeku seperti terbelenggu. Papah menjodohkanku dengan Siva, anak Pak Fandi, atasan Papah. 

"Kenapa Papah menjodohkan Gitta dengan anak Fak Fandi? Gimana nanti Gitta harus bersikap ke Pak Fandi? Ma, mama tolong Gitta dong, Ma. Masa' mama diem aja sih." Aku memasang wajah memelas ketika tahu siapa yang dijodohkan dengannya.

 

Kamu ngga suka sama Siva? Kenapa? Siva kan ganteng, baik, banyak yang naksir loh." Mama sungguh tidak membantu.

"Tapi kan keluarga kita beda sama keluarga mereka, Ma. Gimana nanti kalau kita direndahkan? Ih mikirinnya aja udah males. Aaaaah jodohin sama yang lain aja deeeeh." Aku mencoba menggoyahkan Mama.

   

"Hush! Jangan berburuk sangka, Gitta. Papah kan sudah belasan tahun kerja sama Pak Fandi. Papah tahu betul bagaimana keluarga Pak Fandi. Mana mungkin Papah mau menjodohkan kamu dengan sembarang orang."Papah berusaha menenangkanku.

   

"Tapi kalau Siva ngga suka sama aku, gimana?" Aku merajuk.

   

"Kita lihat saja nanti, nak. Mmmm yakin siapapun pasti suka sama anak mama yang baik dan nggemesin kayak gini." Mama berkata sambil mencubit pipiku.

   

"Yaudah Gitta berangkat kerja dulu deh." Aku beranjak mencium tangan Papah dan Mama,

Aku, Brigitta Prasetya, seorang graphic designer yang selama ini lebih banyak bekerja di rumah karena pandemi. Perlahan keadaan mulai membaik dan perkantoran mulai menggeliat. Pertemuan dengan klien yang selama ini melalui zoom meeting, mulai kembali seperti sedia kala dimana kami bisa bertatap muka.

Kantorku berada di pusat kota Jakarta, di sebuah Gedung bertingkat di mana aku bisa melihat Monas di sebelah Utara dan Gedung MPR/DPR di sebelah Selatan. Jaraknya sekitar 1 jam dari rumahku.

"Akhirnyaaaaaa, back to my lovely office. I miss youuuuuu." Seruku dalam hati ketika tiba di depan gedung kantor.

Aku berlari kecil menuju pintu masuk, tiba-tiba, BRUK! ADUH! Seseorang menabrakku dari belakang.

Kurasakan panas di pundak sebelah kananku.

"Aduh, aduh, aduh, apaan sih nih?!" Aku panik memegangi punggungnya sambil menatap orang yang menabrakku. Seorang pria gagah tampak panik dan sibuk menepuk-nepuk tangannya yang sepertinya kepanasan .

"Kopi." Pria itu menjawab singkat.

Aku merasa kesal.

"Ya Mas ngapain numpahin kopi ke saya?!" Omelku.

"Ya maaf ngga sengaja, Mbak. Saya buru-buru. Maaf, mbak." Kata pria itu sambil memungut gelas kopi yang sudah kosong.

   

"Masih pagi, adaaaaa aja. Baru juga masuk kantor." Jeritku dalam hati.

"Yaudah, lain kali hati-hati ya, Mas." Aku menatap mata laki-laki itu.

Kusipitkan mataku dan berpikir, entah dimana aku pernah melihat pria di hadapanku ini. Sepertinya tidak asing. Ah sudahlah, mungkin karena wajahnya pasaran saja. 

Aku segera berbalik menuju pintu masuk gedung. Kusapa security yang berjaga di dekat pintu masuk. lalu berjalan ke arah lift yang berjejer di sebelah kanan. Saat melirik ke belakang, kulihat pak security seperti menyambut pria yang menabrakku tadi dengan membungkukkan badannya seperti memberi hormat.

Hmmm, memangnya siapa laki-laki itu? Kenapa pak security tampaknya hormat sekali? 

   

Pintu lift segera terbuka ketika kutekan tombolya. Tak terduga, laki-laki itu ikut masuk ke dalam lift. Kukendalikan rasa terkejutku, lalu kutekan tombol lantai 12. Laki-laki itu diam saja, tidak menekan tombol lantai berapapun. Jangan-jangan...dia bekerja di lantai yang sama denganku?

Saat aku sedang berpikir, tiba-tiba laki-laki itu berkata,"Maaf ya, Mbak. Bajunya jadi kotor. Mbak kerja di sini? Kalau boleh tahu, Mbak kerja di kantor yang mana? Biar nanti saya belikan baju untuk ganti, Mbak. Nggak enak saya."

Ng…nggak papa, Mas. Ngga usah diganti." Jawabku.

Beruntung aku menyimpan satu jaket di loker kantor. Aku bisa pakai untuk menutupi kemejaku yang terkena noda kopi.

"Tapi, Mbak, bajunya kotor banget karena tadi kopi saya tumpah semua ke baju Mbak. Atau gimana kalau saya ganti pakai uang aja, nanti Mbak yang beli baju sendiri di department store seberang kantor ya?" Pria itu terus membujukku supaya mau dibelikan baju.

Mood ku hilang sudah. Kujawab dengan ketus,"Eh, Mas, ga usah maksa ya. Kalo saya bilang ngga mau ya ngga mau. Ngga usah ngurusin saya, Mas. Urus aja urusan Mas sendiri. Baju Mas juga kotor tuh. Beli aja baju untuk mas sendiri."

Tepat setelah akh berkata demikian, pintu lift terbuka. Cepat-cepat aku keluar lift menuju kantor yang berada di ujung sebelah kanan lantai 12. Pria itu berjalan mengikutiku.

Mau kemana sih dia? Kok ngikutin aku terus? Kantor yang di sebelah kanan kan cuma kantorku. Jangan-jangan dia penguntit.

Sengaja aku berbalik badan secara tiba-tiba, membuat pria di belakangku itu terkejut.

"Aduh. Ngagetin aja, Mbak." Ucapnya dengan nada kaget.

"Mas, kalo ngga berhenti ngikutin saya, saya panggilin security sekarang juga!" Aku berkata tegas.

"Tapi, Mbak, saya,…" Pria itu mencoba menjelaskan, tapi segera kupotong.

"Jangan macam-macam, atau saya…"

 

Ucapanku terhenti karena seorang security tiba-tiba keluar dari dalam kantor.

"Ada apa ini, Mbak Gi.. .oh, eh, selamat pagi, Pak Siva. Sudah datang, Pak? Silakan masuk." Pak Robi, security kantor berkata.

Apa aku tidak salah dengar? Pak…..Siva?

Pria di depanku menjawab santai,"Sebentar ya, Pak Robi. Saya ada urusan dulu."

Sekarang giliran Pak Robi yang tampak bingung. Loh, Bapak kenal sama Mbak Gitta? Kalau begitu bagaimana kalau bicara di dalam saja, Pak? Mbak Gitta juga karyawan di kantor kita." 

    "Hah?!"

    "Hah?!"

Kami serentak mengucap 'HAH'.

Apakah pria yang ternyata bernama Siva ini adalah pria yang dijodohkan denganku? Kalau iya, apa yang dilakukannya di sini? Bukankan dia anak atasan Papah?

Pria itu menatapku penuh tanda tanya. Tubuhnya yang tinggi, rahangnya yang terbentuk dengan tegas, dan tatapannya yang menyelidik membuatku sedikit gentar.

"Nama kamu...Gitta? Brigitta?" Dia bertanya.

"Ya." Jawabku singkat setelah terdiam beberapa saat.

"Wah! Kebetulan macam apa ini?" Ucap pria itu sambil mengacak-acak rambut hitamnya yang sedikit gondrong.

"Kamu siapa?" Akhirnya kuberanikan bertanya.

"Siva Rifandi. CEO kantor ini." Jawabnya sambil menjulurkan tangan kepadaku.

Tak bisa kukendalikan rasa terkejutku mendengar jawabannya. Pria yang tadi menabrak dan menumpahkan kopi di kemejaku kemudian menawarkan untuk membelikanku kemeja ganti, ternyata adalah pria yang akan menghabiskan seluruh hidupnya bersamaku, jika saja memang itu yang akan terjadi.

Kujabat tangannya dengan perasaan enggan.

"Brigitta, Senang bertemu dengan Anda."

次の章へ