webnovel

Toxic

David memang tidak suka melihat Parlin sejak hari pertama kali masuk sekolah. Gaya Parlin yang arogan dan suka mengganggu membuat David sangat risih. Apalagi, Parlin setiap hari memeras uang jajannya setiap kali dia pergi ke kantin pak Tompel.

Di sana, Parlin berlagak seperti anak senior saja. Mentang-mentang memiliki tubuh tinggi besar dan wajahnya yang sangar, dia lantas berbuat semena-mena kepada siswa yang lain. Anehnya, kakak kelas mereka yang ada di sana malah mendukung aksi yang dia lakukan itu. Mereka seperti mendukung apa yang dia kerjakan. Sehingga sikap arogan Parlin semakin menjadi-jadi.

David yang masih jengkel dengan pengakuan Sari akhirnya mundur teratur kembali ke kursi tempatnya semula. Dia melihat Parlin sudah kembali dari kantin dengan mulut yang masih berminyak. Begitu juga dengan anak-anak yang lain, sudah mulai masuk memenuhi ruangan itu kembali untuk menghabiskan waktu sisa istirahat yang masih lumayan lama.

Sebagian siswa cewek yang masih terbawa kebiasaan dari Sekolah Dasar mulai bersiap-siap mengambil ancang-ancang untuk bermain kuaci. Sejenis permainan anak-anak yang cara memainkannya dengan taruhan dan di lempar-lemparkan. Setelah beberapa anak perempuan berkumpul dan mulai meletakkan taruhan mereka di lantai, tiba-tiba saja Parlin datang ngerusuh dengan merecoki tumpukan taruhan itu.

Tanpa pikir panjang, dia berlari masuk kedalam kumpulan anak cewek yang sedang labil-labilnya itu, kemudian menendang taruhan yang mereka tumpuk itu seperti sedang melakukan tendangan adu penalti dalam sebuah pertandingan sepak bola.

Spontan, teriakan caci-maki, sumpah-serapah keluar dari mulut masing-masing anak-anak itu tanpa dikomandoi terlebih dahulu setelah melihat kuaci yang mereka tumpuk berserakan kemana-mana. Apalagi, jika mulut perempuan memang terkenal dua semenjak dahulu kala. Secara otomatis, ruangan itu menjadi riuh oleh makian yang di kerahkan khusus kepada Parlin.

"Ngaca dulu kau jadi orang! Udah misqueen nggak ada akhlak," teriak salah seorang dari mereka dengan suara nyaring. "Biar tau kalian woi! Bapak dia orang misqueen. Kerjaan Bapaknya aja berkubang di lumpur-lumpur. Makanya anaknya jahat kek gini. Orang di kasi makan lumpur sama Bapaknya." Wanita muda itu terus saja mengoceh melampiaskan kemarahannya pada Parlin yang sedang mengintip dari luar jendela.

Setelah merusuh tadi, dia menyelamatkan diri dengan berlari ke luar kelas karena takut di keroyok sama anak cewek. Itu memang sudah kebiasaannya dari dulu, bahkan semenjak dari Esde. Untuk teman-teman sekolahnya yang satu Esde seperti Sari, sudah terbiasa dengan tabiat Parlin. Kadang, Sari yang merasa malu sendiri dengan kelakuan teman kecilnya itu yang belum berpikiran dewasa. Makanya Sari enggan pergi ke kantin, karena merasa risih dengan kelakuan Parlin juga.

Dia tau bahwa Parlin memang orang susah. Sejak Esde dulu pun, Parlin hanya berharap makanan bekal yang dia bawa untuk mereka makan berdua. Tetapi, setelah masuk SMP ini, Parlin sudah tak pernah lagi  berhubungan dengan Sari. Bahkan hanya untuk bertegur sapa pun mereka sudah tidak pernah sama sekali. Mungkin, mereka berdua sudah mulai memiliki rasa canggung satu sama lain atau masing-masing merasa malu jika harus diketahui oleh orang lain bahwasanya mereka pernah berteman akrab.

Walaupun jauh dalam lubuk hati Sari yang paling dalam sebenarnya, dia menginginkan Parlin yang dulu. Dia rindu Parlin yang polos, yang rakus, yang patuh padanya karena takut tidak diberi makanan. Parlin yang selalu menjaganya saat pulang sekolah bersama. Bermain hujan bersama, menjaga burung di sawah bersama, bermain masak-masakan bersama. Sari rindu kebersamaan seperti dulu.

Kadang dalam kesendirian, Sari juga merasa sedih. Merasa telah kehilangan seorang sahabat yang telah dia anggap sebagai saudaranya sendiri. Dan dia juga sempat berharap bisa menjadi lebih dari itu.  Lebih dari saudara. Menjadi abang misalnya, biar lebih dekat. Walaupun tak bisa dia pungkiri, bahwasanya dia juga berharap jika suatu hari nanti, Parlin bisa menjadi kekasih hatinya.

Tapi melihat sosok Parlin saat ini, harapan itu seperti hanya tinggal harapan saja untuk Sari pendam sendiri. Walaupun masih berusia muda belia, tapi dia sudah bisa merasakan jika Parlin menyukai wanita lain yang baru saja mencaci maki pekerjaan orang tuanya. Wanita itu bernama Atikah, anak seorang pengusaha kaya di desa mereka.

Ayah Atikah seorang tokoh pesohor dan berpengaruh di desa tempat tinggal mereka. Selain pengusaha, dia juga seorang pemimpin organisasi kepemudaan terkenal. Dia juga merupakan seorang kepala desa yang tak tergantikan. Dengan posisinya yang strategis itu, membuat semua keinginannya selalu mendapat dukungan dari warga dan pemuda setempat.

Hanya satu hal yang belum bisa dia capai hingga saat ini, yaitu mengubah fungsi lahan persawahan menjadi lahan perkotaan dan perkantoran. Ambisinya untuk mengalihkan fungsi persawahan itu di tentang keras oleh para petani yang sudah secara turun menurun bercocok tanam.

Beberapa waktu lalu, Pak Kades juga sempat menggandeng oknum anggota DPRD  untuk melancarkan aksinya. Tapi hal itu di tolak mentah-mentah oleh para petani dengan melempari rombongan itu dengan tanah lumpur. Atikah yang ikut menemani ayahnya menyaksikan kejadian itu langsung dengan mata kepalanya sendiri. Apalagi, Parlin si anak nakal juga ada di sana. Diam-diam, Atika memperhatikan pergerakan Parlin dan dia mendapati bahwasanya orang tua Parlin merupakan salah satu oknum yang ikut terlibat melempari rombongan mereka dengan tanah lumpur persawahan.

Makanya Atikah membalas dendam dengan mempermalukan Parlin di hadapan teman-temannya. Apalagi, Parlin yang memancing permasalahan terlebih dahulu.

Parlin yang merasa sudah terpojok, hanya mengintip dari celah jendela saja. Dia enggan masuk karena sudah terlanjur malu dengan omelan Atikah yang sulit untuk di debat. Parlin sangat malu dengan pekerjaan ayahnya yang sudah terbongkar secara publik. Dia sangat menyesal karena sudah terlahir dari keluarga misqueen yang berprofesi sebagai petani tradisional.

Kadang, dia juga merasa heran dengan sikap para petani yang menolak pihak pemerintah desa untuk memajukan kampung halaman mereka. Dia merasa aneh, kenapa para petani itu, termasuk orang tuanya sendiri masih betah berkubang dengan lumpur. Bukankah pekerjaan perkantoran jauh lebih menjanjikan?

Dari itu, Parlin selalu merasa iri dengan David. Bagaimana mungkin, anak gendut itu bisa bernasib mujur dengan terlahir dari keluarga besar polisi. Padahal, gayanya saja seperti itu. Untuk membawa bobot badannya saja, dia terlihat kesusahan. Bagaimana mungkin jika dia akan diwarisi sebuah tanggung jawab tugas negara? Apakah dia akan mampu? 

Makanya, Parlin selalu menjadikan David sebagai bahan mainan dan bahan bulian. Parlin merasa lebih hebat dan lebih pantas dari pada pria culun itu untuk mengemban sebuah tanggung jawab negara di masa yang akan datang. Karena menurutnya, dia lebih berbakat dari pada David. Tanpa dia sadari, selain bakat, masih banyak faktor lain yang bisa menentukan seseorang untuk sukses. Tapi, Parlin kecil belum menyadari hal itu, karena dia sendiri bukan tipe manusia yang respect dan cepat peka terhadap lingkungan sekitarnya.

****