webnovel

Ketika Dia Selingkuh

. . Dia selingkuh ... Tunggu pembalasanku. Andini tidak akan pernah memaafkan mereka berdua. "Aku yang hancur atau kalian yang akan mati." -Andini Setelah kejadian itu Andini tidak pernah menduga dia bertemu dengan seorang pengusaha muda yang diam-diam sudah jatuh hati padanya. Siapa sangka, Leonard Maghara, pewaris tunggal Maghara Group ternyata selama ini yang telah membantunya. Ikuti aja ya kisah Andini dan Leo, si bos yang malu-malu meong menyatakan cintanya pada Andini, tapi bucin-nya setengah mati. . . . . . . . . . . . Plis berikan dukungan pada novel ini dengan review, komentar, dan batu kuasanya. Tanpa kalian novel ini tidak ada apa-apanya. Selamat membaca dan terima kasih. ************************************ Disclaimer : Bijaklah membaca dan memberikan komentar, naskah ini asli milik ratna fa, segala macam plagiat dan dengan sengaja mencoba mencopy atau menyalinnya akan dikenakan sanksi hukum pidana sesuai aturan pemerintah yang berlaku di Indonesia. Terima kasih. My Instagram @_ratnafa BACA NOVELKU LAINNYA : DOKTER TAMPAN JATUH CINTA (TAMAT) HOPE! OH MY ANGELS (ON GOING) THE SECRET OF TARON (ON GOING) THE LOVE MAZE (ON GOING)

ratnafa · 都市
レビュー数が足りません
243 Chs

Meeting Dadakan

"Andini, kamu baik-baik aja kan?"

"Eh, iya Mas."

"Muka kamu pucat gitu loh."

"Mungkin karena aku belum sarapan." Andini mengelak.

"Yo wis, makan snack mu itu. Aku tinggal dulu ya." Roy berdiri, mendekati Andini menepuk pundaknya.

"Oke Mas Roy, makasih uda nemenin."

"Yah ... yah ..."

Roy meninggalkan Andini seorang, Andini kini cemas. Jika Dwi sudah melakukan apa yang tadi Roy katakan. Itu berarti mereka tengah mengumpulkan data-data dan bisa jadi semua tentang hal kemarin benar adanya. Tapi Andini tak habis pikir, bagaimana bisa. Karena ia tak pernah melakukannya.

Pukul sembilan lewat lima puluh menit, masih juga sepi. Mengapa mereka tak pernah tepat waktu, keluh Andini tak sabar ingin sekali mendengar penjelasan masalah yang sebenarnya. Argo, apa mungkin ia juga sudah mengetahuinya dan berpura-pura tak tahu.

Ya ampun, Tuhan. Mengapa aku jadi tak bisa tenang seperti ini.

"Mbak Andini." Andini terjengat, setengah kaget. Tika memperhatikannya dengan tatapan aneh. Kemudian Andini tersenyum lebar.

"Mbak, sabar ya. Mereka sudah datang kok. Lagi ada di ruangan Mbak Dwi. Kata Mbak Dwi tadi sebentar lagi mereka ke sini." Tika dengan cekatan merapikan meja, meletakkan bunga Anggrek bulan diatas meja, ada empat botol minuman diatas meja dan empat kotak snack itu berarti hanya ada lima orang dengan dirinya. Andini menggeser lagi laptop miliknya tepat di hadapanya. Meja panjang bergaya modern dengan warna hitam dibagian penyangga keempat kakinya dan lima belas kursi di kanan kiri. Andini duduk tepat di sisi kiri urutan nomor lima belas. Andini memperhatikan Tika yang tengah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tika memang jeli dan cekatan, usianya hampir sama dengan Dhea, tapi Tika terlalu ramah dan selalu tersenyum kepada setiap orang. Mbak Dwi tak salah memilihnya untuk menjadi asistennya.

"Oke, Mbak." Tika lagi-lagi tersenyum.

"Oh, itu mereka lagi menuju ke sini Mbak." Tika berdiri di depan pintu kaca, ruangan meeting itu didesain terbuka dengan semua sekat kaca bening dan dapat dilihat seluruh karyawan di lantai lima. Dwi dan tiga orang laki-laki berpakaian jas rapi berjalan beriringan menuju ruang meeting. Andini mendesah, berkali-kali menahan nafas. Ini pertama kalinya ia tak didampingi Dhea meeting di kantor pusat. Biasanya ia selalu mengajak Dhea dalam hal urusan apapun.

Tika membukakan pintu dan tersenyum menyambut mereka.

"Terima kasih Tika." Kata Dwi tersenyum manis, kemudian melirik ke arah Andini.

"Andini, maaf ya telat." Andini berdiri, mereka bercipika cipiki.

"Ini Pak Arul." Dwi memperkenalkan mereka kepada Andini.

"Andini." Andini menjabat tangan laki-laki berwajah teduh itu, tersenyum.

"Pak Jeremy."

"Andini." Lagi Andini bersalaman, ini jauh lebih sangar. Wajahnya terlihat keras dan berbentuk kotak, tipe wajah Medan. Bathin Andini, sama dengan dirinya. Tanpa senyum laki-laki itu meninggalkan Andini dan duduk di hadapan Andini.

"Terakhir Pak Salman."

"Andini." Andini menahan senyumannya. Pak Salman tersenyum ramah kepada Andini. Tubuhnya lebar dan hitam, tapi wajahnya sangat kebapakan.

"Silahkah.." Dwi mempersilahkan mereka bertiga untuk duduk.

"Terima kasih Tika." Dwi memukul lengan Tika.

"Sama-sama Mbak." Tika meninggalkan ruangan. Andini lagi-lagi mendesah, menatap layar laptop.

Tika berdiri di meja kerjanya melihat ke dalam ruangan meeting hanya berjarak sepuluh langkah dari meja kerjanya, mereka mulai berbicara satu persatu. Entah apa yang mereka katakan, Tika hanya bisa melihat gerakan bibir mereka. Pak Salma, Pak Arul, dan kemudian Pak Jeremy terlihat serius dan Andini berkali-kali tertunduk. Pak Jeremy terlihat dominan banyak bergerak, terkadang tangan kanannya diangkat menunjuk ke Andini dan terkadang melempar dokumen ke atas meja.

"Door." Tiba-tiba Argo sudah berdiri di sampingnya.

"Hayo … ngapain ngeliatin orang lagi meeting."

"Mas Argo, ngagetin aja ih."

"Lagian kamu serius gitu mukanya." Argo menunjuk wajah Tika, Tika nyengir garuk-garuk kepala.

"Itu Mas." Tika menunjuk ke arah ruang meeting dengan pensil. Argo paham.

"Dari tadi aku perhatiin, tegang sekali nggak ada yang senyum Mas. Ada apa yah Mas? Mbak Andini juga kelihatan tegang." Argo lama menatap ke dalam ruangan itu.

"Aku juga nggak tahu Tik."

"Tuh, liat Mas. Lagi-lagi si Bapak gendut itu yang ngomong."

"Sudah.. sudah.. kamu kerjain kerjaan kamu aja sana. Nggak usah merhatiin orang lagi meeting." Argo membalikkan tubuh Tika dan didudukkan di kursi.

"Mas Argo." Tika melawan, tapi Argo kuat memegang tubuhnya yang mungil.

"Nah tuh, kerjaan kamu banyak kan." Argo menunjuk layar komputer dan catatan kecil milik Tika yang berisi jadwal kerjanya. Tika meringis. Argo berdiri menatap Andini duduk terpaku di dalam ruang meeting.

Bersambung ...