"Jangan pingsan, dong!" Kurasakan sentakan kuat di tanganku. Kepalaku yang tadi terasa berputar-putar nanar, mencoba untuk stabil kembali. Kulihat kepala Rara sudah berada di tempatnya dengan benar.
"Jangan kagetin aku lagi, please! Kamu, sih, enak. Sedang aku?" Aku merengut sambil memijit pelipisku yang terasa sakit.
"Cieee, manyun! Cute tau, 'nggak?" Rara mencubit pipiku gemas. "Iya, deh! Aku janji enggak bakalan nakutin kamu asal kamu juga tidak menyebut-nyebut nama Bang Arya. Kalau aku yang nyebut, enggak masalah. Tapi kalau orang lain yang nyebut, tubuhku terasa bertanggalan dari sendi-sendinya."
"Hmm." Aku memutar pikiran mencoba mencerna maksud dari perkataan Rara. Namun, tetap saja tidak ada jawaban. "Kenapa bisa begitu?"
Dia tersenyum. Senyumnya begitu manis di wajah cantiknya. Membuatku terpesona dan alirah darahku terasa mengalir lancar.
"Karena dialah lelaki yang pernah mengisi hatiku, memberiku sejuta cinta dan kebahagiaan. Darinyalah aku belajar bagaimana mencintai dan bagaimana pula rasanya dicintai. Dia adalah matahariku dan aku adalah bulannya. Dia kumbang, aku bunganya. Pokoknya, aku Juliet dan Bang Arya adalah Sang Romeo-nya. Hidupku tanpanya bagai pohon asam tanpa daun. Aneh. Gimana tidak aneh, coba? Sebatang pohon yang sedang berbuah, tapi tidak ada daunnya. Meranggas. Begitulah dulu yang aku rasakan sebelum akhirnya semuanya berubah menjadi duka nestapa berkepanjangan. Bang Arya berubah! Kami yang sama-sama orang melarat, miskin harta mencoba membuat komitmen kalau kami akan menikah jika salah satu dari kami menjadi orang kaya. Dan Bang Arya memilih jalan sesat untuk mendapatkan kekayaan. Sayangnya, syarat untuk mendapatkan semua itu harus aku yang membayar mahal. Nyawaku tergadai ke iblis. Anak yang kukandung pun harus kuserahkan ke setan-setan kelaparan yang haus akan darah. Apakah kamu siap mendengar lebih lanjut kisahku, Bul? Jeritan Hati Sang Kuntilanak?"
Aku yang sedari tadi begitu fokus mendengar ceritanya sesaat terkesiap dan terkejut. Ternyata ini baru garis besar yang dia sampaikan. Akankah aku sanggup mendengar curhatan Rarashati? Sebuah cerita yang sepertinya akan mengandung banyak bawang? Sebuah cerita yang kemungkinan besar begitu tragis dan mengerikan.
"Aku ... akan mencoba! Ceritakanlah, mungkin berat, pahit dan getir. Namun, jika kisahmu ini benar-benar tidak sanggup lagi kamu simpan sendirian, aku akan menyediakan ruang di hatiku untuk tempatmu berbagi." Aku berusaha menggenggam tangannya. Tangan yang begitu lembut, tapi sangat dingin. Sedingin es yang ada di freezer kulkas. Membuatku menggerakkan rahang menahan hawa beku yang menyerang syaraf-syaraf di tubuhku. Cepat-cepat kusentakkan tanganku kembali. Aku tidak mau mati kedinginan.
Mendengar ucapanku, Rara tertawa melengking. Sosoknya melesat ke langit-langit rumah. Menggantung di salah satu plafon kayu. Wajahnya kembali berubah menakutkan. Gaun merah yang menutupi tubuhnya melambai-lambai ditiup angin malam. Tawa melengking itu sesaat berubah menjadi isak tangis, sangat pilu dan membuatku meneteskan air mata tanpa sebab. Begitu perihkah luka hati yang Rarashati rasakan?
"Aku ... seorang perawan yang mati karena sebuah harapan. Mengharap cinta sejati, tapi hanya kematian memilukan yang aku dapatkan. Cinta yang kumiliki, meracunku tanpa belas kasihan. Melibasku dalam jeratan api iblis yang mengikis jiwa manusiaku. Sekarang, aku tergantung antara langit dan bumi. Tidak tahu lagi ke mana aku harus pergi. Bumi tidak menerimaku, akhirat menutup pintu dariku. Semua itu harus ditebus mahal dengan kematian Bang Arya. Lelaki itu ... sampai saat ini masih hidup! Dan kamulah ... pembuka jalan untukku bisa membalas dendam, Astrea Bulan!"
Dadaku berdebar kencang. Sebelum aku bisa melepaskan napasku yang tertahan, Rarashati melesat ke arahku dengan kecepatan yang tak bisa kuukur dengan mata. Tangannya yang berkuku panjang berkiblat seakan-akan hendak menembus jantungku.
Aku hanya bisa menjerit menunggu kematian menghantam tubuhku.