webnovel

Hari Pertama

"Selesaikan semua, baru kamu boleh berangkat." Seraya menaruh setumpuk piring yang baru saja digunakan untuk sarapan satu keluarga, kecuali dirinya karena sedang sibuk mencuci.

"Iya, Ma." Jawabnya pasrah. Ia baru saja bernafas lega karena telah membersihkan peralatan yang tadi digunakan untuk masak. Padahal jam masuk sekolah tinggal lima belas menit lagi. Hari pertama kembali sekolah harus ia lalui dengan terlambat.

Dengan gerakan cepat, ia berusaha mempersingkat waktu. Setidaknya jika terlambat tak sampai memakan waktu yang banyak.

Tak butuh lima menit, cucian piring tadi sudah bersih dan tertata rapi kembali di rak piring.

"Jeha, kok belum berangkat?"

Ia menoleh mendengar suara kakak perempuannya.

"Ini baru mau berangkat, Kak."

Menyambar tas selempang miliknya. Lalu berjalan mendekati sang kakak yang tampak pucat.

"Kakak, oke?"

Pertanyaan yang selalu ia lontarkan kala melihat wajah sayu kakaknya. Dibalas dengan anggukan dan senyuman, selalu seperti ini juga jawaban yang ia terima.

"Kakak istirahat. Aku berangkat dulu ya, Kak." Meraih telapak tangan kakaknya dan membawa ke bibir.

"Jeha!"

Panggil sang kakak lagi saat ia akan membuka pintu samping rumah.

"Ini ambil, buat ongkos ojek." Menyodorkan selembar uang.

"Tapi kalau Ma-"

"Sttt! Jangan sampai tahu kalau begitu."

Jeha mengigit bibirnya. Ia sebenarnya perlu uang itu tapi takut ketahuan sang mama seperti dulu-dulu. Ayolah, ia hanya tak ingin mendengar rentetan kalimat pedas itu.

"Em, terima kasih, Kakak."

Si kakak mengangguk dan mengelus rambut pendek adiknya. Benar-benar pendek seperti potongan rambut lelaki tapi lebih panjang sedikit.

Jeha mengambil uang tersebut dan mengantonginya, lalu berlari meninggalkan pekarangan rumah.

Ia sempat melirik ke garasi, mobil papa dan kakak kembarnya sudah tidak di sana. Ternyata masih sama saja, tidak ada yang mau menunggunya menyelesaikan pekerjaan rumah untuk berangkat bersama.

"Huh, sudahlah biasanya juga gitu." Kembali melanjutkan langkahnya.

Iya, biasanya juga seperti itu. Entah kenapa, apa mereka malu mengantarnya. Padahal dirinya tak pernah bermasalah di sekolah sejak dulu.

Ia berlari dan terus berlari, sampai sebuah truk bermuatan perlengkapan rumah tangga melintang di tengah jalan menutupi aksesnya.

"Ish!" Terpaksa harus berhenti, ada beberapa kendaraan yang juga harus berhenti karena hal itu. Truk ini berusaha membalikkan posisi agar mudah untuk menurunkan muatan.

Lahan kosong yang ada di samping rumahnya telah dibangun sebuah rumah mewah berlantai dua, sama seperti rumahnya berlantai dua ralat rumah papa dan mama. Tapi tentu saja, rumah baru itu lebih modern dan mewah. Lihat saja pilar penyangganya tinggi menjulang dengan gagah.

Jeha melihat sedikit celah di depan truk yang berusaha masuk ke pekarangan rumah dengan bagian belakang lebih dulu.

Ia berlari ke jalan raya dan langsung memburu pangkalan ojek bawah pohon belimbing.

"Bang, SMA Nusa."

"Woke, Neng."

Motor meluncur dengan cepat sesuai permintaan Jeha. Sudah dipastikan ia terlambat. Ini juga karena bibi yang tiba-tiba izin pulang kampung. Ya, walau pun ada bibi ia tetap mencuci piring di pagi hari setidaknya dirinya tak perlu memasak atau menyiapkan menu sarapan.

Jadi sarapan yang biasanya siap jam enam, jika dirinya yang bertugas makan setengah tujuh baru selesai. Itu pun ia tak pernah ikut menikmati buatannya.

***

"Terima kasih, Bang."

"Sama-sama, Neng."

Jeha berlari memburu gerbang yang sudah tertutup rapat. Dapat ia dengar suara pembina upacara sedang memberikan amanat.

"Duh, Neng Jeha. Masa hari pertama sekolah sudah terlambat."

Jeha meringis kala satpam sekolah itu membukakan gerbang untuknya. Ia sudah akrab dengan petugas keamanan itu karena sering terlambat.

"Maaf, Pak. Terima kasih ya, Pak."

Pak satpam mengangguk. Ia mempersilakan Jeha untuk bergabung di barisan upacara bagian belakang. Bagian belakang ini khusus untuk yang terlambat. Dan sepertinya hanya Jeha sendiri yang terlambat.

"Ish ish ish, hari pertama saja terlambat. Gimana hari-hari selanjutnya."

Mampus, baru saja menurunkan tas kalimat mengejek dari guru piket yang sudah mengamati Jeha sejak di depan gerbang menyapa telinganya.

"Maaf, Bu."

"Hem, selesai upacara kamu lari keliling lapangan lima kali!"

Perintahnya mutlak. Jeha menunduk, ia tak bisa menghindar dari hukuman.

"Maaf saya terlambat, Bu."

Suara laki-laki dari belakang Jeha mengalihkan perhatian guru yang tadi memarahinya.

"Ryshaka. Apa ini? Kamu juga terlambat?"

Jeha melirik ekspresi ibu gurunya yang tampak kaget. Dan sepertinya ibu ini sudah akrab dengan murid bernama Ryshaka. Huh, padahal Jeha baru mendengar nama siswa ini. Ini karena Jeha yang tak mudah bergaul.

Di tahun ketiga sekolah menengah atasnya, Jeha tak punya teman dekat. Entahlah, baik di rumah mau pun di sekolah Jeha tak punya seseorang untuk diajak berbagi. Yang ada jika di sekolah, Jeha selalu diperlakukan layaknya pesuruh.

"Maaf, Bu."

"Lari keliling lapangan lima kali setelah ini!"

***

Hosh! Hosh! Hosh!

Baru dua kali putaran ia sudah lelah, Jeha berhenti sejenak di bawah pohon yang berada di pinggir lapangan. Pagi ini matahari cukup terik.

Ia tak sendiri, bersama siswa laki-laki tadi Jeha menjalankan hukuman. Mungkin untuk lelaki itu bukan hal yang sulit untuk menyelesaikan hukuman ini tapi bagi Jeha yang belum sarapan ini sangat menyiksa.

"Kamu! Kenapa berhenti? Ayo selesaikan hukuman kamu!"

Jeha terlonjak kaget mendengar lengkingan suara dari arah belakang. Ternyata guru tadi masih memantau.

Terpaksa ia kembali meneruskan hukumannya.

Tiba-tiba pandangan Jeha mengabur. Tubuhnya akan jatuh jika seseorang tidak menahannya dari belakang.

"Duduk saja!"

Lengan Jeha diapit, ia dituntun untuk duduk di undakan yang biasa digunakan siswa perempuan untuk duduk.

"Eh?"

Setelah mendudukkan Jeha, lelaki itu berlari memutari lapangan. Jeha melirik tempat berdiri ibu guru tadi, ternyata beliau sudah tak ada di sana.

Jeha mengamati kembali lelaki tersebut yang terus berlari mengelilingi lapangan.

"Loh?"

Bukannya sudah lima kali tapi kenapa ia tak juga berhenti.

Selesai berlari, lelaki tersebut mengambil tas miliknya yang ada di dekat Jeha duduk dan meninggalkan Jeha tanpa berkata apa pun.

Apa lelaki itu baru saja menjalankan hukukan Jeha? Jeha tersenyum kecil, entah kenapa perlakuan itu membuat hatinya menghangat.

"Eh?" Jeha berdiri dan segera menyambar tas selempang. Ia harus masuk ke kelas.

***

Tadi Jeha telah membaca daftar pembagian kelas, dan ternyata kelasnya berada di lantai dua paling pojok. Hah, ia masih harus menaiki tangga untuk sampai ke kelasnya.

Jeha mengintip sebentar ke arah kelasnya. Ia mendesah lega begitu belum melihat guru mengisi kelas. Ia masuk dengan mengucap bismillah. Semoga tahun ketiga ini lebih baik dari kemarin.

Biasanya akan ada pengacakan siswa lagi, Jeha sangat berharap ia bisa mendapatkan teman sekelas yang lebih baik.

Tapi harapan tinggal harapan, kebanyakan yang satu kelas dengan Jeha tahun lalu kembali ada di kelas ini. Bahu Jeha merosot melihat orang-orang itu. Mereka sedang asyik bercerita. Jeha melirik tempat duduk paling pojok yang masih kosong.

Masih sama seperti dulu, ia tetap duduk sendiri dan berada di pojok.

Jeha mendudukkan bokongnya. Ia lalu menatap punggung tegap di pojol depan.

"Itu?"

Ternyata siswa lelaki tadi juga satu kelas dengan Jeha. Kebetulan apa ini?

"Jeha!"

Panggil seseorang dari samping. Jeha menoleh dan tersenyum menyapa orang itu.

"Reni!"

Reni, anggota osis yang sering menawarkan tumpangan pulang untuk dirinya. Dengan motor lawasnya, Jeha sering diantar pulang dengan selamat. Meskipun tak setiap hari tapi Jeha senang.

Mereka tak satu kelas tahun lalu, oleh karena itu Jeha tak terlalu dekat. Mereka berbicara saat Jeha di antar pulang. Itu pun hanya sampai gang depan tak sampai gerbang rumahnya.

次の章へ