Gara Xien, pemilik nama belakang Cina itu merupakan blasteran Cina-Indo yang dimana sang Ayah adalah orang Cina, sementara sang Ibu berasal dari Indonesia. Gara Xien, berumur 25 tahun tepat dua minggu yang lalu. Wajah yang tampan dengan rambut yang menutupi sebagian dahinya, bahkan hampir 99% persen dahi lelaki itu tertutup.
Hari ini adalah hari yang baik untuk Gara Xien, dimana setelah sekian lamanya ia mengaruni pendidikannya di Negeri Ginseng, Korea selatan, kini dia kembali ke indonesia untuk melanjutkan perusahaan milik Ayahnya. Gara seorang anak tunggal laki-laki. Ia memiliki seorang adik perempuan bernama Anna Xien. Nama belakang mereka merupakan nama marga sang Ayah.
Tak ingin berlama-lama, Gara menarik tas kopernya lalu memasuki arena dalam pesawat. Gara tersenyum sekilas melihat orang-orang di dalam pesawat. Yang Gara tahu dari Bundanya, bahwa kalau naik pesawat harus banyakkin doa supaya perjalanan pesawat baik-baik saja.
Gara sudah tentu melakukan apa kata Bundanya. Setelah menyimpan kopernya di tempat yang telah di sediakan, Gara mengambil duduk di samping seorang lelaki paruh baya yang seumuran dengan Ayahnya kemudian menyatukan tangan lalu berdoa.
Sang lelaki paruh baya sempat inscure melihat tingkah Gara di sampingnya itu yang menurutnya sangat baik. Dia salut dengan Gara yang berdoa tanpa malu. Sementara dia yang sudah tua dan lebih dewasa terlihat biasa-biasa saja tanpa memikirkan apa yang akan terjadi dengan pesawatnya. Akankah perjalanan pesawat ini lancar dan baik-baik saja? Atau sebaliknya?
Setelah mendengar Gara yang berdoa, lelaki paruh baya itu ikut mengatakan Amin di dalam hatinya. Gara membuka matanya lalu mengedarkan segala pandangannya di setiap isi pesawat. Sembari mengangguk, Gara mengambil earphone dan menutup kedua telinganya. Musik yang ia dengarkan sangat terdengat sayup dan merdu membuat Gara hampir terlelap jika saja lelaki paruh baya itu tak menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Gara sempat kalang kabut, dia berpikir pesawat yang mereka tumpangi akan terjatuh, tetapi Gara hanya salah paham. Lelaki paruh baya di sampingnya itu hanya ingin memberi tahu bahwa pesawat sudah mulai lepas landas.
"Pesawat sudah lepas landas, Nak. Sebaiknya handphonenya jangan digunakan jika sudah berada di dalam pesawat," jelas lelaki paruh baya itu.
Gara mengangguk lalu melepaskan earphone dan mematikan handphonenya dalam mode pesawat. Gara baru teringat dengan perkataan ibunya bahwa kalau di dalam pesawat tidak bisa menggunakan handphone. Haiss hampir saja dia lupa.
"Terimakasih karena telah memberitahu saya," ucap Gara berterimakasih.
Lelaki itu paruh baya itu mengulurkan tangannya. Sudah tentu Gara meraih uluran tangan itu sambil tersenyum.
"Gery, panggil saya Pak Gery," ujarnya.
"Hai Pak Gery, saya Gara." Gara memperkenalkan dirinya dengan senyum yang menampakkan sederetan gigi putih dan rata miliknya.
Pak Gery sempat terhenya melihat tingkah Gara yang layaknya seperti anak kecil, polos sekali. Mudah tersenyum dan sangat tampan. Baru pertama kali ini Gery melihat lelaki seperti Gara. Membuat ingatannya untuk putranya yang menurut Gery sangat mirip dengan Gara kembali teringat dalam benaknya.
"Kau mirip dengan putraku," ucapnya kemudian.
"Benarkah? Apa aku terlihat tampan hingga mirip seperti putramu?" Gery mengangguk demgan antusias.
"Kau polos sama halnya dengan putraku yang hilang hampir tiga puluh tahun menghilang. Umurmu berapa?"
"Umurku dua puluh lima tahun," jawab Gara. Lagi dan lagi memarkan sederetan gigi putihnya itu.
"Seharusnya putraku itu umurnya sama denganmu jika dia masih hidup."
Ekspresi Gery yang berubah jadi sendu itu membuat Gara ikut terlarut dalam kesedihan yang dirasakan oleh Gery. Gara tahu pasti, bagaimana rasanya kehilangan seorang anak. Jika meninggal, pasti hanya meninggalkan kenangan yang tenang, sementara ini kehilangan, pastinya Gery terus memikirkan putranya itu hidup atau tidak. Kalo memang masih hidup, lalu bagaimana dengan kehidupan yang dijajaninya?
Semua pasti bergelut di dalam pikiran Gery saat ini.
"Jika memang takdir anak bapak hidup, dia pasti baik-baik saja sekarang. Pasti sedang tersenyum seperti aku," ucap Gara.
Gery terkekeh dengan tanpa sadar mengacak rambut Gara dengan gemes. "Kamu bisa saja."
"Siapa lagi. Gara pastinya dong.
Setelah begitu lamanya, akhirnya pesawat sampai di tempat tujuan dengan selamat. Gara yang tertidur dengan lelap terpaksa terbangun dengan suara salah satu pramugari yang menyatakan bahwa pesawat sudah sampai di bandara Soekarno-Hatta. Gara mengucek kedua matanya, sepertinya ia sudah lama tertidur membuat seluruh tubuhnya pegal-pegal karena begitu lamanya tertidur di kursi pesawat ini.
Seluruh penumpang keluar dari pesawat satu persatu. Turun menaiki tangga pada bagian kiri depan kabin pesawat. Begitupula dengan Gara yang ikut keluar. Sudah tentu dengan menenteng dan menarik tas kopernya. Gara dengan rakusnya menghirup udara alami saat keluar dari pesawat. Tingkahnya begitu lucu dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya.
Senyum itu membuat Gara di anggap sangat naif dan polos. Namun bagi Gara senyum itu sudah kebiasaan baginya. Emang apa salahnya jika dia tersenyum?
Dasar orang-orang! Bilang saja iri dan tak suka bila melihat orang bahagia.
Gara mengedarkan pandangannya ke sekeliling bandara. Dia tak melihat satupun keluarganya yang menjemputnya. Atau memang dia yang belum melihatnya. Lalu dimana mereka? Gara berjalan mencari kedua orangtuanya yang sempat menelfonnya sebelum menaiki pesawat.
Kedua orangtuanya akan menjemputnya di bandara.
Saat Gara sibuk berjalan-jalan mencari orangtuanya, Gara tidak tahu kalo seorang gadis sedang mengikutinya dirinya dari belakang. Lelaki itu malah bernyanyi ria dan menyapa orang-orang yang bertemu pandang dengannya. Gara menyisir rambutnya dengan jari-jemarinya setiap melihat orang yang melihatnya.
Gara-Gara, sudah tampan makanya kamu jadi pusat perhatian. Wajah yang hampir memiliki Gen dari Ayahnya itu, yaitu wajah ciri khas orang-orang Cina membuat keunikan tersendiri di dalam dirimu, tapi itu bagus, sedikit sombong untuk wajah tampan, ya tidak apa-apa.
Sedangkan gadis cantik di belakangnya memutar bola mata dengan malas ketika melihat tingkah sang Kakaknya lebih persis seorang bayi. Bisakah Kakaknya itu menunjukkan citra seorang calon CEO sekali saja? Bisakah Kakaknya itu berpakaian formal seperti jas rata-rata seperti orang pejabat.
'Kakakku yang polos...,' batin gadis itu dalam hatinya. Ia kemudian menyentuh pundak Kakaknya karena tidak kuat lagi melihat tingkah Kakaknya yang sangat membuatnya malu.
Gara merasakan punggungnya ada yang menyentuh. Reflek ia pun melihat ke belakang. Cahaya bahagia terpancar di kedua mata Gara kala melihat adik perempuan satu-satunya yang begitu ia sayangi sekarang tepat berada di hadapannya. Tak butuh waktu lama baginya untuk memeluk adiknya yang paling Cantik kedua itu. Yaiyalah, Bundanya adalah orang yang paling cantik pertama sedunia.
"Anna, Kakak sangat merindukanmu." Ungkapan rindu Gara nyatakan dengan tulus dari dalam hatinya.
"Yang benar saja, Kak?" Anna meronta supaya Gara melepaskan pelukannya. Tak lama setelah itu, kedua wanita dan lelaki paruh baya datang menghampiri Gara dan Anna.
Sudah tentu itu, Ennoch Xien dan aileen. Ayah Bunda Gara dan Anna.
Bunda yang pertama menghampiri dan memeluk Gara. Setelah itu bergantian dengan sang Ayah.
"Kamu sangat besar dan lebih tampan dari pada di foto dan video call," ujar sang Ayah.
"Sudah tentu Ayah, aku ini Gara, putra Ayah dan putra ibu," balas Gara.
"Mana ada tampan, lebih baik lagi Kakak sekalian gak pulang ke indonesia." Anna tiba-tiba menimpali membuat Bunda langsung menatap Anna dengan garang. Namun, tatapan itu tak Anna hiraukan, ia hanya memutar bola mata dengan malas.
Aileen heran dengan sikap putri bungsunya itu yang sangat tidak menyukai Kakaknya.
"Anna, kamu tidak boleh bicara seperti itu," tegur Bunda dengan tegas.
"Hmm," jawab Anna singkat.
"Ya, sudah. Kita pulang saja sekarang." Ayah yang melihat sedikit ada hawa yang tidak sejuk dari kedua Anak dan Ibu itu langsung merangkul sang Istri dan mencolek dagunya.
"Sudahlah, biasa anak-anak bertengkar."
Gara tersenyum ke arah Anna, tetapi Anna malah membuang muka dan berlari mensejajarkan tubuh di samping sang Ayah. Gara memang sudah terbiasa dengan sikap Anna yang dingin kepadanya. Entahlah Gara tak tahu apa sebabnya, tapi dia akan tetap menyanyangi adiknya itu.
Saat membaca catatan saya, saya berterimakasih banyak karena telah membaca chapter 1 Istri Tuan lugu.
Silahkan berikan ulasan kalian, baik buruk pun sekalian.
Jangan lupa collection, ya.