webnovel

Inayah, Mengurai Gelap

Saat hidup terasa begitu melelahkan dengan segalanya yang begitu menggiurkan, terjebak dalam kubangan hitam berputar-putar mencari jalan keluar. Saat hidup terasa sangat memuakan dengan segala sandiwaranya mencoba tetap tersenyum lalu kembali menapaki takdir tanpa tahu kemana jalan akan membawa akhir. Dan saat semua orang hanya menontonnya dengan tawanya yang pecah, sambil berseru, “Dia hanya seorang anak itik yang merindu matahari.” Tapi Ia percaya, “Fainni Qorib”, sesungguhnya, tak sejengkalpun kita diabaikan. Buku ini tentang perjuangan meraih apa yang diyakini “menang”

Ismi_Dey · 若者
レビュー数が足りません
23 Chs

OM FREDIYAN

Aku mengenalnya baru dua bulan. Awalnya ia hanya iseng ingin 'jajan' ketempat kami. Sebuah karaoke yang terpencil yang bahkan LC nya sangat buluk dan jelek kalau siang. Muka dan kaki belang jika malam. Siap peduli? Pelanggan kami jika bukan pejabat kecamatan paling pejabat kabupaten dengan bayaran murah, jika tidak para sopir atau pelajar yang pasti tidak akan sanggup membayar tip lebih dari dua ratus ribu.

Om ini datang dan memesan sembarang LC dan kebetulan saat itu aku yang senggang. Kami hanya sekilas berkenalan dan aku sudah menjelaskan bahwa aku tak bisa memberi servis hingga hotel karena usiaku.

"Kau masih perawan?" tanyanya tak percaya.

"Aku akan melepasnya kalau udah siap, om, tapi bukan sekarang," jawabku.

Gaji dan tipku memang paling kecil di sini, tapi lumayan untuk anak sekolah sepertiku. Sudah bisa bayar sekolah dan uang saku ditambah tabungan 50ribu tiap hari.

"Kenapa?" tanya dia.

"Mungkin belum umur?" jawabku apa adanya.

Aku merasa belum siap hancur sehancur-hancurnya. Aku... masih ingin ada kebanggaan pada diriku bahwa pekerjaan ini tetap menguatkanku untuk tidak masuk sedalam-dalamnya pada lembah.

"Berapa yang kau mau?" tanya om Ferdi saat aku selesai menemaninya menyanyi.

"Aku sudah merasa cukup denganku saat ini, om, tabunganku bahkan sudah cukup untuk mengembalikan hutang keluargaku. Jadi berhentilah membaca novel tak masuk akal itu," aku tergelak.

"Maksudnya?" tanya dia bingung

"Saya memang butuh uang, bukan untuk gaya hidup, saya butuh uang untuk sebuah pembuktian, kurasa cukup," jawabku.

"Apa masalah hidupmu?" tanya memangku dan memainkan anak rambutku.

"Om nggak perlu tahu, biarkan kita sebatas penjual jasa dan pembeli jasa saja," jawabku tersenyum.

Sejenak wajahnya menggelap namun sedetik kemudian kembali teduh. Aku beranjak dari pangkuannya mengecup sebentar bibirnya lalu pamit.

"Terimakasih, om, sudah menyewa saya. Maaf jika banyak sekali kekurangan," kataku membuka pintu.

Tanganku merasa ada yang menarik. Aku berbalik melihat om Frediyan memandangku seoalah meyakinkan sesuatu.

"Nama saya, Inayah. Panggil saja Naya," aku paham akan pandangan itu. Pandangan penuh keingin tahuan. Pandangan sedikit ingin menyicip bahkan tubuh yang sudah banyak terjamah.

"Inayah," katanya menyerahkan ponselnya. Aku mengetikkan nomor teleponku lalu menyerahkannya dengan senyum.

Setelah itu om Fredi sering mengirim chat hanya untuk menanyakan sudah makan atau sedang apa dan seringnya aku abaikan. Aku menggunakan ponsel ini untuk bisnis jadi jika bukan mami Reg yang menelepon atau Rizal maka aku abaikan. Kecuali Jean tentu saja. Aku bersedia membalas chatnya meskipun tengah malam sekalipun saat aku bekerja.

"Nay, kau dipanggil mami!" teriak mbak Indah, kembang di sini.

"Oke," jawabku langsung beranjak menuju ruangan mami.

Kutemukan orang yang kemarin menyewaku-om Ferdi- sedang duduk bersama mami, seolah sedang ada pembicaraan serius. Aku dipersilakan masuk lalu duduk disebelah om Frediyan.

"Usiamu berapa Nay?" tanya mami.

"Bulan ini 16 tahun," jawabku jujur.

"Kau yakin tak lepas itu?" tanya mami mengarahkan pandangan pada bagian tengah dari diriku.

"Mungkin belum, mi," jawabku enggan.

"Jika kau mau sekarang, om ganteng ini akan membayarmu berlipat-lipat," kata mami memberiku tawaran.

Aku menengok sekilas mencoba bersabar karena memang tak punya harga diri lagi. Hanya itu kebanggaanku. Bahkan Diora sudah melepasnya setelah SMP. Katanya di kampungnya bahkan menikah dan mempunyai anak diusia 15 tahun sudah biasa.

"Aku juga akan jadi pelanggan tetap untukmu," kata om Fredi.

"Mungkin seminggu lagi, jika malam ini tidak," kataku, "jamku sudah selesai, mi, saya pamit pulang," lanjutku.

Aku bergegas santai mengambil tas sekolah yang sengaja selalu aku pakai. Aku tak ingin mencolok dengan barang-barang mahal dan dewasa. Biarlah mereka menganggap diriku lugu. Aku yang hina ini hanya bisa terus menutup aib.

***

Seminggu berlalu dan om Fredi menagih janji. Dengan hati berat aku memenuhi panggilannya. Bertemu di tempatku bekerja lalu menginap di hotel. Dengan sangat berat aku melangkah mengikuti maunya.

"Jangan takut, kamu sudah terlanjur, sayang kalau nggak sampai akhir," seringainya.

"Saya... Manusia biasa om, bahkan sebelum kesini saya sholat isyak," jawabku jujur.

"Kau bahkan masih beribadah meskipun berdosa?" tanya om Fredi heran.

"Ya, saya masih butuh Tuhan untuk menutup aib-aib saya," jawabku.

"Kau takut?" tanya om Frediyan lagi yang hanya kuangguki saja sebagai jawabannya.

"Saya masih sekolah. Untungnya ini liburan kenaikan kelas, jadi saya bisa menemani om. Besok saya pulang," kataku jujur.

Malam kehancuranku resmi sudah. Aku sudah menjadi sehina-hina wanita. Setelah ini aku akan terus menikmati dosa yang pasti kusesali entah dalam waktu dekat atau lama. Yang pasti aku tahu. Aku akan menyesal dan tak pantas untuk orang baik dimasa yang akan datang.

***

Kuraih amplop yang kata om Ferdiyan memang untuk bayaranku. Aku tersenyum getir. Rasanya aku benar-benar kehilangan dunia. Aku menimang-nimang sebentar lalu berjalan menuju kamar mandi dengan tertatih menahan sakit luar biasa yang harus kutahan setelah ini.

"Tuhan, jangan panggil aku dalam keadaan berdosa," jeritku dalam hati.

"Sudah mandi?" tanya om Frediyan.

"Jangan bilang kau mandi besar?" tanya om Frediyan lagi.

"Bukankah memang harus mandi besar setelah melakukan itu?" tanyaku polos.

Om Frediyan terpingkal-pingkal mendengar jawabanku. Aku bingung tak mengerti. Seolah aku sangat bodoh baginya mungkin.

"Kita tak menikah, Nay," kata om Frediyan akhirnya.

"Ya memang tak menikah, apa salah?" tanyaku.

Dia menatapku lekat. Dan aku hanya bisa diam dengan pandangan yang entah kutujukan kemana. Aku makan sendiri sarapan sembari menunggu om Frediyan mandi.

"Hey, bahkan kau makan sendiri?" tanya om Fredi begitu keluar.

"Saya laper om," jawabku apa adanya.

"Kamu kok nggak ada romantis-romantisnya sih? Siapa nanti yang akan mau jadi pelangganmu? Harusnya bersikaplah yang manis!" kata om Fredi sembari memakai kaosnya.

"Om Fredi, sisanya aku akan mencari setahun lagi," kataku akhirnya.

"Waw, kau konsisten sekali, mari kita lihat berapa lama kau bertahan gadis nakal?" kata om Fredi menyusulku makan.

Sejak saat itu memang hanya dengan om Frediyan aku melakukan hal bodoh dan menjijikan. Selama bukan masa periodeku seperti janjinya dia akan membooking di tanggal 15, 25, dan 28.

***

"Rumahku setelah kebun itu ada gang, masuk aja. Cuma ada dua rumah disitu," kataku.

Om Frediyan benar-benar mengantarku pulang dengan mobilnya. Selama perjalanan aku hanya memikirkan simbok, ibu, dan bapak. Bagaimana aku akan menjawab mereka? Bagaimana aku harus menghadapi mereka?

"Rumahnya yang sebelah mana, Nay?" tanya om dengan memicing.

Jijik? Silakan. Mungkin juga setelah ini dia akan berhenti membookingku. Aku bisa mencari yang lain dengan harga yang lumayan murah.

"Yang mau ambruk itu," kulihat mbok Nur dan mama sudah berada di teras sedang memarut singkong.

Aku turun setelah om selesai parkir. Tak ku hiraukan apakan akan turun atau tidak. Aku langsung bergegas dan dengan tergopoh-gopoh lagi tertatih simbok berlari memelukku.

"Naya, cucuku pulang," katanya dengan linangan air mata yang semakin deras.

Kami saling memeluk dan aku hanya terus bisa mengucap maaf tanpa henti.

"Wah, anaknya pulang sama om-om kaya, pelanggannya?" tanya seorang tetangga yang bahkan aku tak kenal.

Aku menoleh pada om yang berdiri di depan mobil. Tak menghiraukan keberadaannya sama sekali. Mama dan aku masuk rumah.

"Kalau tak jijik, masuklah. Tapi jika mau disini tolong turunkan barang-barang Naya, biarkan dia seperti remaja pada umumnya," kata Simbok tersedu memohon pada om Frediyan.

Om Frediyan tampak bimbang lalu mengikuti masuk rumah peyot milik mbok Nur. Pintunya yang rendah membuatnya harus merunduk sedikit dalam.

"Kau lelah, Nay? Istirahatlah dulu," kata mbok Nur.

Aku mengangguk.

"Rizal kemari beberapa hari ini. Menceritakan semua tentangmu," kata mbok Nur dengan susah payah.

"Maaf ya nduk, mama nggak bisa jagain kamu," kata mama sambil menangis dan mulut bergetar.

"Ini… pilihan Naya, untuk menebus hutang mama dan membeli sepetak rumah untuk tempat tinggal," kataku juga tubuh gemetar. Rasanya sedang dihakimi setelah berbuat salah.

"Mungkin juga bisa membangun rumah ini, iya kan Nay?" timpal om Frediyan dengan muka congkaknya yang kuyakin membuat mama dan mbok Nur serba salah.

"Om boleh pulang, terima kasih sudah mengantar saya," kataku lalu beranjak masuk menuju kamar.

"Saya bisa bantu kamu," kata om Frediyan mencekal tanganku.

"Ya, jangankan membantu om, sayangnya saya sudah tak percaya segala jenis bantuan dan kasihan, selalu ada timbal balik dibelakang bukan? Saya tak bodoh untuk hal seperti itu, om," desisku lalu masuk.

Sejak saat itu aku berharap aku berhenti bertemu dengan om Frediyan. Benar-benar tak ingin lagi menjadi pelanggan meskipun dengan bayaran besar.