"Astaga, kita ketiduran ya, Pak?"
"Emang tidur Neng, cepetan saya mau nyari penumpang lagi ini," jawabnya.
Mereka turun dengan pandangan yang masih kabur, rasanya seperti ada yang menarik kedua kelopak matanya agar kembali tertutup.
"Bim, bareng ya, gue tunggu di rumah," ucapnya sebelum masuk.
Matanya bisa terbuka lebar, dengan kesadaran penuh ketika tubuhnya merasakan kesegaran dengan guyuran air di dalam kamar mandi.
Hanya ada roti tawar di dalam kulkas, Meysa pikir setidaknya ini bisa dia gunakan sebagai ganjal perut.
Gadis itu mendengar suara motor yang tak asing di telinganya. Kelihatannya Aslan benar datang. Meysa mengintip lewat jendela, mengingat janjinya kepada sang papa semalam, membuatnya harus menghindari cowok itu.
Meysa mengirimkan pesan ke ponsel Bima, agar cowok itu menjemputnya lewat pintu belakang saja.
"Kenapa masih tertutup rapat ya, rumahnya. Apa Meysa gak ada di rumah? Coba aku telepon deh," gumamnya.
"Gak aktif."
Aslan melihat seorang ibu-ibu lewat di hadapannya.
"Bu, saya mau tanya pemilik rumah ini ke mana, ya?"
"Saya dengar, dia dibawa ke rumah sakit tadi malam," jawabnya.
"Kalau anaknya juga ikut ke sana?"
"Kayaknya iya, tapi saya kurang tahu. Permisi, ya ...."
Aslan merasa bersalah, dia pikir semua ini terjadi pasti karenanya.
Sampai di sekolah.
Meysa tahu, hari ini Aslan akan pindah sekelas dengannya. Bagaikan mimpi buruk, karena dengan begitu pasti akan sulit baginya untuk menghindarinya.
Beberapa anak tengah berdiri di depan mading sekolah. Kerumunan itu mampu menarik perhatian Meysa yang baru saja datang.
"Bim, gue mau ke sana Lo ikut gak?"
"Males banget banyak orang, gue tunggu di kelas aja," jawabnya.
Meysa tak heran, Bima tipe orang yang suka menyendiri di tempat sunyi. Berbeda jauh dengannya. Meysa menerobos beberapa anak, hingga dia tepat berada di depan papan itu.
"Pemilihan anggota OSIS? Kelihatannya menarik, apa gue ikutan aja kali, ya? Dengan begini, gue bakalan lebih disibukkan dengan kegiatan, dan pastinya akan lebih mudah untuk menghindari Aslan. Ide yang sangat bagus," gumamnya.
Meysa langsung menuju ke ruang sekretariat untuk mendaftarkan diri.
Kring!!
Kemunculan Aslan membuat seisi kelas terkejut, terlebih lagi Bima. Bisa-bisanya dia pindah kelas hanya demi Meysa, dan lebih parahnya lagi Bu Rena mendukung cowok itu?
Aslan melihat ke seluruh penjuru kelas, tak ada wajah Meysa yang dia temukan di antara para murid yang duduk.
"Aslan, kamu boleh duduk di bangku yang kosong," suruh Bu Rena.
Cowok itu memilih untuk duduk di belakang bangku Bima.
"Husst, Meysa mana?"
"Gak tahu," jawab Bima cuek. Cowok itu lebih memperhatikan papan tulis di depan.
"Ditanya gitu doang, juga!"
Di kelas Edo dan yang lain. Mereka tampak kesepian, sesekali menoleh ke belakang biasanya ada Aslan di sana. Tapi, kini hanya tinggal kenangan saja.
"Gue gak bisa kayak gini!" Edo memukul meja.
"Lo mau ke mana? Kalau bolos ajak-ajak dong," sahut Tama.
"Gue pengen pindah kelas sama Aslan, gak bisa jauh dari dia kayaknya," jawab cowok itu.
"Parah! Lo suka sama Aslan? Hey, cewek di luar sana masih banyak kalik, mentang-mentang habis ditolak Dinda aja, langsung frustasi," cetus Arya.
Sepertinya cowok itu keceplosan. Seisi kelas melemparkan pandangan ke arahnya, dan seorang cewek yang duduk termenung di pojok depan. Cewek pendiam, yang hanya mengisi kesehariannya dengan belajar, bagai bencana yang mendatangkan seorang Edo, untuk menyukainya.
"Mulut Lo!"
"Oh, jadi Edo sama Dinda sekarang?" Sahutan beberapa anak circle lain, mengejeknya mulai terdengar.
"Heh, bisa diem gak! Mau Lo uang palak naik dua kali lipat?"
"Ya, kita mah gak takut, masih ada Meysa," jawab Clara.
"Beraninya sembunyi di balik orang lain," geram Edo.
Jam istirahat.
Anak lain sudah menunggu kedatangan lelaki itu, sepuluh menit lamanya.
"Ah, Aslan kayaknya benar-benar udah lupa sama kita deh," kesal Edo.
"Kenapa tuh, anak?"
"Biasa, udah bucin sama bos kita," sahut Tama.
"Ayo ke kantin, laper!" Beberapa dari mereka meninggalkan gudang belakang sekolah.
Aslan masih berusaha menghubungi Meysa.
"Eh, Bim, Lo sama sekali gak ada khawatir sama Meysa, katanya sahabat gimana sih?"
"Ngapain gue khawatir, palingan juga dia dipanggil sama guru, secara Meysa 'kan anak pintar," jawab Bima.
"Dipanggil? Masalah lomba?"
Cowok itu mengangkat bahunya, dan lebih fokus pada buku yang dia baca kini.
"Gue 'kan juga ikutan lomba, kenapa cuma dia yang dipanggil, wah, gak adil nih, Bu Rena." Cowok itu bergegas keluar dari kelas.
Bima hanya melihat punggungnya yang kian menghilang di balik tembok itu.
Di ruang OSIS.
Seorang cowok tampan, dengan alis tebal, kulit putih bersih dan kumis tipisnya tengah berdiri di samping papan tulis. Dia adalah ketua OSIS baru, yang memegang jabatan selama satu tahun ke depan. Anak kelas tiga, dengan banyak pengalaman, terlihat keren di mata adek kelas seperti Meysa salah satunya.
"Gila, idaman banget." Meysa terkagum-kagum melihatnya.
"Jadi, begitulah kira-kira tugas organisasi OSIS di sekolah ini. Seorang ketua, tentunya butuh pendamping, siapa di sini yang mau jadi wakil ketua OSIS?"
Bendahara, dan beberapa perangkat lain, sudah terpilih. Namun, tak ada yang berani unjuk diri dengan satu jawaban itu. Bukan hanya menyiapkan mental, melainkan juga hati dan pikiran. Tanggung jawab yang ditanggung yang dipikul pun, begitu besar.
"Beneran gak ada yang mau? Baiklah, saya yang tunjuk."
Tangannya mengarah kepada seorang cewek yang duduk dengan tenang, di pojok belakang. Bahkan dia bersandar di dinding dengan tatapan datar.
"Gue?" tanya Meysa memastikan.
"Iya, karena saya lihat, kamu lebih berani dari yang lain."
Meysa tak salah dengar? Di mana letak keberanian yang cowok itu lihat darinya? Bahkan sedari tadi, dia hanya duduk diam, tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.
"Maaf Kak, saya gak bisa," tolaknya.
"Siapa namamu?"
"Meysa ...."
"Catat namanya, sore ini kita kumpul di aula sekolah." Bahkan ini bagai pemaksaan, satu kehendak.
Sekertaris itu sudah terlanjur mencantumkan namanya di kolom wakil ketua.
"Ya sudahlah, mau gimana lagi."
Hari pertama, dia tertinggal pelajaran. Sepertinya Meysa tak bisa pulang bersama dengan Bima, dia menghubungi cowok itu memintanya untuk pulang terlebih dulu dan mengijinkannya kepada sang mama.
Beberapa perangkat penting, harus tetap tinggal di ruang OSIS, untuk pembahasan lebih lanjut.
"Lo gila, Mey! Mendingan juga di rumah bantuin mama Lo, atau gak nongkrong sama gue. Seneng banget lagi ikut kayak gitu," omel Bima lewat telepon.
"Udahlah Bim, kepala gue pusing nih, banyak yang harus gue urus," jawabnya.
"Iya, tapi Lo jangan lupa belajar. Olimpiade sudah semakin dekat." Cowok itu mengingatkan tanggung jawab Meysa yang satunya.
"Iya, gampang, udah jangan lupa kasih tahu mama ya," sahutnya.
"Eh, Mey, tadi Aslan cari Lo ke mana-mana tahu gak, dia sampai ke ruang kepala sekolah, dipikir kamu ada di sana."
Meysa merasa tak enak hati, tapi bukankah ini yang dia mau?
Bersambung ....