webnovel

Keingintahuan Lexa

Vano memang langsung pergi ke perusahaan meskipun kantor itu belum sepenuhnya buka. Pria itu mendatangkan dan mengerahkan seluruh kekuasaannya untuk memeriksa kondisi seluruh bangunan. Dia tidak mau masih ada bubuk perak yang tertinggal yang akhirnya bisa membahayakan banyak pihak. Dia juga memastikan keamanan di perusahaan mereka diperbaharui dengan sangat. Juga masih sibuk mencari siapa sebenarnya mata-mata yang melakukan semua kejahatan ini. Javier sudah menunggunya dengan sebuah laporan di tangannya.

"Kau sepertinya sudah jauh lebih baik?" tanya Javier.

"Iya, aku punya makan malam yang enak semalam," wajah datar Vano.

"Ada yang harus ku laporkan padamu, tapi sebenarnya itu mungkin akan membuatmu jengkel," ucap Javier ragu.

"Ada apa? Katakan saja," ucap Vano sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.

"Aku belum bisa menemukan apapun dari kejadian itu. Siapapun itu yang melakukannya jelas sudah lama bekerja di sini atau dia sudah mencari tahu banyak tentang tempat ini. Wajahnya sama sekali tidak terekam kamera dan dari postur pun ada puluhan karyawan yang mungkin serupa dengannya. Keadaan sangat kacau hari itu dan kita tidak bisa mengamankan apapun. Mungkin pelakunya berpura-pura keluar dengan membaur bersama karyawan lainnya. Bukti jelas sudah dibawa oleh pelakunya saat itu karena aku juga tidak menemukan apapun di kantor. Mencarinya jelas butuh waktu yang sangat lama dan mungkin juga akan berakhir sia-sia.

"Hmh, aku sudah menduganya. Melihat bagaimana alarm keamanan kita sama sekali tidak berbunyi saja aku sudah bisa menebak dia orang dalam. Kita jelas harus menambah pengamanan di depan. Mulai saat ini, kita harus mengidentifikasi setiap karyawan ataupun siapapun yang masuk tidak hanya dengan pengenalan wajah, tapi harus seluruh tubuh. Kita harus tahu tinggi badan dan setiap detail kecil tanda di tubuh mereka. Kita juga harus tahu pasti ukuran sepatu, celana, dan pakaian mereka. Bahkan kalau perlu, kita harus tahu berapa kilo dia bertambah atau berkurang berat badannya! Perlu waktu dan mungkin terdengar konyol, tapi itu jelas diperlukan!" ucap Vano saat itu.

"Aku memang pernah mendengar alat semacam itu, tapi aku yakin bisa mendapatkannya untuk perusahaan ini," ucap Javier sedikit melegakan.

"Iya itu bagus," Vano mengiyakan, tapi pikirannya mendadak teringat pada gantungan ponsel milik Lexa.

"Sebenarnya, ada yang ingin aku pastikan. Entahlah apa ini ada hubungannya atau tidak, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah tentang Lexa," ucap Vano tampak berpikir kali ini sudah berjalan menuju lift.

"Lexa? Kenapa?" Javier tentu saja penasaran.

"Aku hanya ingin kau memeriksa ke dalam tasnya, terutama ponselnya. Entahlah terdengar aneh mungkin, tapi aku merasa ada sesuatu yang janggal di dalam situ," ucap Vano menekan tombol lift tergesa-gesa.

"Ya aku akan melakukannya segera," tentu saja Javier menurut.

Baru saja akan melangkah masuk, kedua pria itu dihentikan oleh suara teriakan yang cukup melengking dari arah belakang tubuh mereka.

"Tunggu…"

Sontak kedua pria itu menoleh dan segera dia bisa melihat Lexa yang sedang berlari kecil. Vano spontan mengecek jam tangannya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Vano dengan tatapan kesalnya.

"Apa lagi? Bekerja tentu saja!" ucap Lexa sedikit terengah.

"Apa kau tidak tahu kantor sedang libur? Kita akan kembali bekerja dua hari lagi!" ucap Javier kali ini menyela.

"Ah benarkah?" Lexa menggaruk belakang tengkuknya.

"Apa kau tidak mendapat pemberitahuan?" Javier masih meneliti dan gadis itu menggeleng.

"Aku memang tidak mendapat pemberitahuan. Hm, tapi aku juga sebenarnya ingin tahu apa yang terjadi," ucap Lexa ragu.

"Kau berbohong?" tanya Vano kali ini.

"Berbohong? Tidak!" elak Lexa cepat.

"Hmh, Javier, kau lanjutkan pekerjaanmu, dan kau ikut aku ke atas," perintah Vano cepat.

Keduanya tiba di lantai 13 yang kali ini sangat sepi. Padahal setiap hari hanya berisi enam orang beserta dirinya, tapi kali ini di ruangan seluas ini, dia hanya berdua dengan sang atasan yang berjalan kaku di hadapannya. Vano sempat mengatakan pada Lexa untuk meletakkan tasnya di dalam ruangan kerjanya sendiri. Tidak tahu saja ada rencana lain yang sudah Vano lakukan.

"Jadi, apa yang membuatmu begitu penasaran?" tanya Vano menyilangkan kakinya dengan punggung bersandar di kursi.

"Bagaimana ya. Kejadian waktu itu terus terngiang dalam otakku. Aku hanya penasaran pada apa yang sebenarnya terjadi," ucap Lexa berhati-hati.

"Kau tahu kan semua ini hanya persaingan bisnis dan tidak lebih. Aku menyesal karena banyak nyawa melayang karena ini dan perusahaan pun sudah melakukan sebaik mungkin untuk memastikan keluarga korban mendapatkan kompensasi termasuk pelayanan kesehatan terutama psikis karena kehilangan. Kita semua berduka, dan saat ini aku terutama akan mencari tahu siapa yang melakukannya. Hingga saat itu tiba, aku akan memastikan keamanan perusahaan ditingkatkan dan tidak ada lagi kejadian serupa terjadi ke depannya," ucap Vano dengan tatapan tegas.

"I-iya aku mengerti itu. Maksudku apa yang 'musuh' kau itu lakukan? Aku hanya bingung kenapa aku dan beberapa orang lainnya baik-baik saja sedangkan sebagian lainnya terkapar dengan mudahnya seperti itu? Reaksi mereka sangat aneh," Lexa seakan melayang.

"Aku belum tahu pasti, tapi saat ini katakanlah itu racun. Aku percaya ada hal-hal yang membuat seseorang lebih kebal terhadap racun tertentu sedangkan yang lain tidak. Saat ini aku memang tidak bisa lebih banyak memberitahumu, tapi itulah yang kemungkinan besar terjadi," ucap Vano mencoba menjelaskan dengan baik.

"Tapi… aku seperti melihat bulu-bulu hal-"

"Ah, dan racun juga memiliki efek yang berbeda-beda pada manusia tergantung racun apa itu yang disebarkan kan? Hanya satu pesanku padamu Lexa, jangan terlalu banyak ingin tahu karena mungkin kau akan menyesal akhirnya! Kau ingat kan pertama kali masuk ke perusahaan ini? Mereka sudah mengatakan padamu apapun yang terjadi di dalam Gold Lycaon Company, tetap akan bertahan di dalam sini! Bahkan saat kau menemukan sesuatu yang sangat 'salah' di matamu satu saat nanti, hanya tetap diam!" ucap Vano penuh penekanan.

"Saranku, lebih baik kau pulang dan beristirahatlah! Kembali lagi dalam dua hari dan jangan ada lagi pertanyaan! Kita semua di sini untuk bekerja dan bukan berbincang semacam ini," Vano seolah mengusir Lexa dengan halus.

Lexa mengalah. Dia memang sudah menandatangani perjanjian itu. Perjanjian untuk tetap diam dengan segala apa yang terjadi di dalam perusahaan. Vano juga sepertinya sangat terganggu dengan kedatangannya. Sudah seharusnya karena banyak hal yang jauh lebih penting untuk dikerjakan daripada mengurusi karyawan rendahan seperti dia yang begitu ingin tahu. Gadis itu memilih kembali ke ruang kerjanya dan mengambil tas ranselnya yang dia letakkan di sana lalu pulang dengan lunglai ke apartemennya yang sederhana.