9 Sebab

Beberapa tahun sebelum masa sekarang.

Seorang gadis berseragam putih abu-abu berjalan melewati sebuah rumah sederhana di dekat persawahan. Rumah itu berada di paling ujung kampung tempatnya tinggal, dan sering dilewati karena berada tepat di pinggir jalan kampung.

Sesekali gadis tersebut bersenda gurau dengan temannya, nampak akrab sekali. Tak lama kemudian, godaan-godaan mulai muncul dari salah seorang temannya.

"Ehm, gebetannya pulang kampung tuh. Samperin gih," godanya. Tak lupa ia senggol pelan bahu temannya itu.

"Apaan, sih?" balas gadis itu malu-malu.

"Sudah menjadi rahasia umum, kalau Lia anak Pak Widyo Kusumawardhana naksir berat sama Mas Awan."

"Enggak, ya!" elaknya.

"Katanya dia bentar lagi wisuda, lhoh. Pasti dia langsung nikahin kamu nanti," perkataan temannya itu mampu membuat perasaan berdebar menguasai diri gadis itu, yang tak lain adalah Lia.

"Kurasa itu tidak mungkin," ucap Lia pelan dan ragu.

"Kenapa tidak? Kalian terlihat cocok satu sama lain, bahkan sudah akrab juga dari dulu. Tunggu apalagi?"

"Keluargaku tidak akan setuju. Lagipula aku belum mau menikah, masih banyak cita-cita yang ingin kucapai terlebih dahulu."

Lia berusaha menutupi perasaan membuncahnya. Ia senang apabila ada yang mendukung dan memuji kedekatannya dengan Mas Awan. Namun, ia tidak yakin dengan keluarganya sendiri.

Keluarganya cukup selektif dalam menentukan pendamping anak-anaknya, dan tentunya harus jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Mungkin Bapak dan Ibunya tidak akan keberatan dengan pilihan Lia, namun bagaimana dengan keluarganya yang lain? Ia tak ingin suaminya nanti tertekan, kemudian meninggalkannya. Ia tidak akan siap jika harus berpisah dengan Mas Awan, jika ia menikah dengannya.

"Kamu pernah mengutarakan perasaanmu itu?" Melihat pertanyaannya hanya direspon dengan gelengan, temannya itu berdecak gemas. "Bagaimana dia bisa tau perasaanmu? Ayolah, utarakan saja. Setidaknya jika kalian tidak berjodoh, minimal sudah saling tau perasaan masing-masing."

"Aku ini perempuan, rasanya malu sekali jika harus menyatakan duluan."

"Gede banget gengsinya. Hah, sudahlah! Aku duluan, Lia."

Mereka berpisah di sebuah pertigaan. Rumah Lia sudah terlihat tak jauh dari pertigaan tersebut.

Sebuah mobil yang sudah ia hafal siapa pemiliknya nampak bertengger manis di bawah pohon mangga. Setelah sampai di ruang tamu, ia melihat sang pemilik mobil sedang berselisih paham dengan Sang Bapak.

"Ayolah, dia tidak lebih baik dari lelaki pilihan saya. Bahkan untuk mencukupi kehidupannya sendiri saja dia masih kesusahan, apa jadinya keponakanku itu?"

"Biarkan anakku memilih orang yang tepat untuknya. Sudah cukup perjodohan itu berhenti di generasi kita. Biarkan anak-anak kita menemukan pasangan masing-masing. Jaman sudah berubah, Dik."

"Ya karena sudah berubah itulah, Mas. Tidak baik jika mereka asal pilih yang mereka suka! Bagaimana dengan nama besar keluarga kita? Tercoreng rasanya, Mas."

"Tidak akan tercoreng jika kita berbuat sesuai aturan dan menjaga kelakuan kita. Apalah arti sebuah nama besar jika sikap kita tak mencerminkan hal itu?"

"Pokoknya aku tidak setuju. Risih rasanya mendengar omongan warga tentang anakmu yang dekat dengan Awan itu. Kuliah saja belum beres, begitukah yang anakmu sukai?"

Cukup. Lia tak ingin mendengar perkataan menyakitkan itu lebih lama lagi. Sudah cukup Pamannya itu mengomentari hidupnya.

Lia bergegas mengganti seragam sekolahnya dengan baju rumahan, kemudian ia ke dapur untuk makan siang. Rencananya, sore ini ia akan datang ke balai desa untuk membantu kegiatan KKN di desanya.

.

Lia terlihat sibuk dengan beberapa bungkusan hadiah yang akan dibagikan kepada pemenang jalan sehat besok pagi. Beberapa remaja dari kampung sebelah juga ada yang ikut membantu.

"Ini Si Mia ke mana?"

"Lagi mojok, kali. Kelihatan banget kalau dia naksir berat sama ketua kita. Mepet terus kerjaannya."

"Bukannya ikut kerja, malah asyik pacaran. Nggak inget pacarnya di kampus apa ya?"

"Kan dia udah lama banget naksir sama ketua kita. Tapi dicuekin mulu dari dulu, makanya pas sekarang ada kesempatan dia nempel mulu kayak cicak. Bahkan kemarin aku mergokin mereka jalan bareng pas dari masjid itu. Si Mia juga kelihatan sering banget ke rumahnya."

"Jangan-jangaaan..."

"Huss! Jangan asal berspekulasi. Ada tetangganya ketua di sini," kata mahasiswi tersebut sambil menoleh ke arah Lia. Diam-diam ia menyimak obrolan mereka, mencoba mencari tau siapa yang mereka maksud.

"Eh! Maaf-maaf, aku nggak tau kalau ada tetangganya Awan di sini. Yang tetanggaan sama Awan yang mana?"

"Saya, Kak."

"Oooh, Lia. Tapi jangan bilang-bilang, ya? Kita takut dimarahi sama Awan. Galak banget dia."

"Mia itu sering godain Awan. Akhir-akhir ini dia gencar banget deketinnya. Apalagi ibunya Awan baik banget ke kita-kita, jadilah ia semakin kebaperan. Dikiranya cuma dia yang dibaikin, padahal yang lain juga diperlakukan sama. Nggak ada malunya itu anak."

Lia tertegun mendengar ucapan yang dilontarkan oleh mahasiswi tersebut. Apakah Mas Awan akan tergoda dengan Mia-Mia itu? Karena dari yang ia lihat, Mia itu perempuan yang sangat cantik dan cerdas. Apalah ia jika dibandingkan dengan Mia?

"Awan juga oke-oke aja tiap dia ngomong. Emang sih dia itu cakep dan pinter. Cocoklah mereka berdua. Kayak couple goals gitu, ya nggak?"

"Kak, aku ke toilet sebentar, ya?" pamit Lia kepada para mahasiswi tersebut.

Ia berlalu ke toilet balai desa. Selesai dengan urusannya, ia mendengar sebuah perdebatan kecil di parkiran motor yang hendak ia lewati.

"Kenapa sih kamu nolak aku? Kurang apa aku ini, Awan?"

"Kamu nggak ada kurangnya, Mia."

"Halah! Selalu itu yang kamu ucapkan ke aku. Tapi nyatanya? Kamu sama sekali tidak menyukaiku balik. Apa kamu sudah punya kekasih?"

"Kamu tidak perlu tau privasi saya, Mia."

"Aku bisa jadi yang kedua, Awan. Kasih aku kesempatan. Aku yakin, nantinya kamu bakal terbiasa dan bisa melihat ketulusanku. Aku mau kamu, Awan.."

"Lebih baik kita kembali ke dalam. Yang lain sudah menunggu kita di sana."

Tanpa mendengar jawaban Mia, Awan langsung berlalu dari parkiran meninggalkan gadis itu.

"Awan!"

.

"Lia? Saya antar, ya?"

"Eh, nggak usah, Mas. Saya sudah mau dijemput Bapak," tolaknya pelan. Gadis itu merasa canggung dan malu saat tatapan para mahasiswa terarah padanya yang dihampiri Awan.

"Kamu bilang aja balik bareng saya. Sekalian saya mau ambil sesuatu di rumah. Bagaimana?"

"Nggak ngerepotin?"

Awan tersenyum. "Enggak, kok. 'Kan saya yang nawarin. Yuk," ajaknya.

Beberapa menit kemudian sampailah motor Awan di depan rumah Lia. Suasana rumahnya cukup sepi, maklum hari sudah hampir maghrib.

"Makasih, Mas udah nganter Lia pulang."

"Sama-sama." Balas Awan sambil merapikan rambut gadis di depannya yang sedikit berantakan. "Masuk, gih. Nanti dicariin orangtua kamu."

"Nggak mampir dulu?"

"Udah malem, Lia."

Lia menganggukkan kepalanya pelan.

"Lia," panggilnya pelan.

Lia mendongak. "Iya?"

Awan berdehem pelan. "Duh, gimana ya bilangnya?"

Melihat raut bingung Mas Awan, rasa penasaran Lia semakin bertambah.

"Emmm, selama ini saya menyukaimu, rasa suka seorang pria kepada wanita. Dan kalau saya tidak salah tangkap, kamu juga punya perasaan yang sama. Jadi..."

"Maukah kamu menunggu saya? Selesai kuliah nanti saya akan datang meminangmu. Itupun jika kamu berkenan."

Sebuah rasa berdebar memenuhi perasaan gadis tersebut. Apakah ini nyata? Rasanya ini seperti mimpi, maka dicubitlah pipinya pelan.

"Auw," erangnya. Sakit!

"Lhoh? Kenapa malah nyubit pipi? Sakit 'kan?" pria itu menyentuh pipi gadisnya dengan lembut. "Lha, kok pipinya jadi merah?"

Rasanya Lia ingin pingsan... Tadi itu nyataaa???

.

.

.

.

.

To be continue

Note: part kali ini adalah flashback, kemungkinan part selanjutnya masih flashback. Terimakasih sudah mampir🙏🙏

avataravatar
次の章へ