Dua bulan yang lalu, Zack masih mengunjungi Maya untuk memperkuat perlengkapannya, tapi setelah seluruh perlengkapannya berlevel max, Zack sama sekali tidak mengunjungi Maya.
Maya keluar dari ruangan pribadinya, lalu berjalan menuju counternya dan membersihkan apa yang harus dia bersihkan. Masih setengah jam lagi sebelum toko pandai besi Maya di Area tiga akan terbuka, tapi suara lonceng terbuka nya pintu toko terdengar di telinga Maya.
"Ah, aku masih belum-" Maya berbalik, dan dia terkejut melihat seseorang yang berdiri di depan pintu toko nya. "Zack? Apa itu kau?"
"Iya. Empat bulan ya?"
Maya mengangguk, lalu tersenyum sedih dan senang di saat yang bersamaan. "Kau, kau tampak berbeda ya, Zack."
"Berbeda?"
"Iya. Tatapan mata mu terlihat sangat suram."
"Begitu ya?"
"Iya."
Zack masih memakai armor hitam ringannya yang di tutupi oleh jubah berwarna hitam legam. Pedang Sharp and healing miliknya di sembunyikan di balik jubah hitamnya. Zack yang menutupi kepalanya dengan jubahnya, membuat tatapan matanya yang memang suram, bertambah lebih suram dan mengerikan lagi.
"Apa yang terjadi selama empat bulan ini, Zack?"
Zack menggeleng, "Tidak ada."
"Selama dua bulan kau berkunjung ke sini, setiap hari nya tatapan mata mu selalu berubah, dan bahkan sekarang-"
"Jangan pedulikan soal mata ku."
"Jadi, kenapa kau kemari, bukankah seluruh perlengkapanmu sudah max?"
Zack mengangguk, "Iya. Aku hanya ingin mengatakan pada mu kalau aku sudah selesai."
"Zack, berapa level mu?"
"Dua ratus."
"Ma-Max?"
"Iya."
Maya tersenyum lembut, "Kau sudah berjuang keras ya, Zack?"
"Iya."
"Kau benar-benar, telah berjuang sangat keras."
"Iya."
Maya perlahan berjalan ke arah Zack, lalu dia memeluknya dengan lembut selama beberapa menit.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Zack.
Maya melepaskan pelukannya dan menatap wajah Zack. "Jika yang ada di depanku adalah Zack yang dulu, sudah pasti dia akan tersipu, tapi sekarang, bahkan kau tidak bereaksi apapun."
Zack memalingkan wajahnya, "Setelah apa yang terjadi, aku bahkan tidak memikirkan apapun selain menyadari kalau dunia ini sangat mengerikan."
"Apa yang terjadi, Zack?"
Zack menggeleng, "Tidak ada."
Maya tersenyum sedih, "Kau akan lebih baik jika kau bercerita, lho."
Zack menggeleng, "Tidak ada."
"Begitu ya?" Maya berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, "Lalu, sekarang kau mau kemana?"
"Aku akan menemui Rio."
"Baiklah, hati-hati, Zack."
"Iya, terima kasih, Maya."
"Iya."
Zack berbalik dan langsung berjalan pergi dari toko pandai besi Maya.
Maya menghembuskan napas sedih. "Apa yang terjadi pada mu selama enam bulan ini, Zack?"
Enam bulan yang lalu, adalah hari-hari di mana Zack baru saja memulai pelatihannya. Dia masih memiliki tatapan layaknya orang-orang pada umumnya, tapi setelah dia tahu kalau setiap hari nya ada saja orang yang mati karena pergi melawan Boss Area sepuluh, Zack terus mempercepat perkembangannya dan hanya tidur dua jam setiap harinya selama enam bulan itu, sisanya, dia habiskan dengan membunuh seluruh Monster dari Area satu sampai Area sembilan.
Zack tidak pergi ke Area sepuluh, karena seluruh Area sepuluh adalah Boss Field.
Selama enam bulan, Zack sudah membunuh ribuan, atau bahkan jutaan, atau mungkin milyaran Monster yang dia temukan. Sudah ribuan kali Zack menghadapi serbuan Monster. Sudah ribuan kali Zack lari dari kematian. Tapi bukan itu yang membuatnya memiliki mata suram seperti itu, karena yang membuatnya seperti itu, adalah karena Zack sudah mati ribuan kali. Tapi karena pedangnya, Zack selalu kembali hidup, tapi cahaya putih yang selalu dia lihat sebelum hidup kembali, membuatnya stress dan mengingat bahwa nyawa dari satu juta player kurang ada di pundaknya.
Walaupun Zack kembali hidup, tapi... Tetap saja, setiap serangan pembunuh yang berhasil membunuh Zack sangatlah menyakitkan.
Satu bulan yang lalu, di Area dua.
Yuki berhasil membunuh ratusan White Wolf dan White Ant dengan mudah, tapi saat Hati dan Skoll muncul setelah ratusan kali mati oleh Yuki, Yuki tidak bisa berkutik.
Yuki terpojok, dan napasnya terengah-engah. Hanya ada bayangan kematian di dalam pikiran Yuki. Benar! Dia membayangkan kematian.
Saat itulah sesosok berwarna hitam berjalan ke arah Yuki.
Setiap langkah sosok hitam itu mengeluarkan hate reaction yang membuat setiap Monster menarget kan dirinya.
"Dia sudah gila." Gumam Yuki. "Hentikan!" Teriak Yuki. "Aku tahu kau mau menolongku, tapi jika kau melakukan itu, kau akan mati! Setiap hate reaction menambah ATK Monster, tahu!"
Sosok berjubah hitam itu tidak mengatakan apapun dan mengeluarkan pedang hitam legam dari balik jubahnya.
"Sharp and healing? Zack, apa itu kau?" Tanya Yuki.
Zack yang memakai jubah yang menutupi kepala dan seluruh tubuhnya itu tidak menjawab pertanyaan Yuki, dan hanya menyiapkan kuda-kuda saat Hati dan Skoll melompat ke arahnya dan bersiap untuk membunuh Zack dengan level hate reactionnya adalah seratus.
Zack menebaskan pedangnya ke arah kanannya, dan memotong Skoll dari mulut hingga ke punggunya. Setelah itu Zack mengganti posisi pedangnya dan menebaskan Hati yang ada di sebelah kirinya dan memotongnya dari kepala hingga ke punggungnya.
Setelah itu, ratusan Monster bertipe White menyerang Zack dengan beringas. Tapi, dengan tetap tenang, dia berhasil membunuh semuanya.
Zack memasukan kembali pedangnya ke balik jubahnya dan berbalik.
Sebelumnya, bahkan Zack kewalahan dan butuh bantuan Yuki untuk membunuh hati dan Skoll, tapi sekarang, bahkan tanpa mengaktifkan skill dan ability, Zack membunuh Hati dan Skoll dengan mudah.
"Tunggu!" Yuki berlari mengejar Zack, lalu dia berhasil mencengkram jubah Zack.
Zack berhenti melangkah, lalu berbalik.
"Kau... Zack kan?" Yuki tampak ragu.
Zack tidak menjawab pertanyaan Yuki dengan kata-kata, tapi hanya dengan anggunakan kepala.
"A-Apa yang terjadi padamu?"
Zack menggeleng, "Tidak ada yang terjadi."
"Ta-Tapi, mata mu, wajah mu. Kau terlihat-"
"Aku masih harus membunuh Monster, jadi bisakah aku permisi?"
"Katakan padaku, berapa level mu, Zack?"
"Dua ratus."
"Max? Lalu kenapa kau tidak berhenti leveling?"
"Berlatih."
"Begitu ya?"
"Iya."
"Setelah ini kau mau kemana?"
"Area tiga."
Yuki menghembuskan napasnya. "Jangan paksakan dirimu, Zack."
"Iya."
"Dan, terima kasih karena sudah menyelamatkan ku, Zack." Lalu, Yuki memberikan Zack senyuman yang sangat manis dan menawan.
Ekspresi wajah Zack yang tadi terlihat suram, seketika berubah menjadi tersipu walau hanya beberapa detik.
"Ah, kau-"
"Aku harus pergi!" Zack langsung berbalik dan berjalan pergi.
Yuki tersenyum dan menggumam, "Jangan mati, Zack."
Di waktu sekarang, tepat setelah Zack menemui Maya, Zack bertemu Liz di jembatan yang menghubungkan antar pulau buatan di Area tiga.
"Zack?"
"Liz?"
"Mata mu-"
"Aku tahu, aku suram kan?"
"I-Iya. Kau tidak apa-apa?"
Zack mengangguk, "Iya, aku baik-baik saja."
"Kau mau kemana?"
"Markas The Green Eyes."
"Ah, jadi kau tahu kalau markasnya pindah ke Area tiga ya?"
Zack mengangguk, "Iya."
"Kalau begitu mau pergi bersamaku?"
"Baiklah."
Liz tersenyum canggung, "Oke, ayo."
"Iya."
Butuh dua menit bagi Zack dan Liz untuk akhirnya sampai di depan pintu markas The Green Eyes.
Zack menoleh ke belakang, dan menatap patung Ray dengan matanya yang suram, atau lebih tepatnya depresi?
"Ada apa, Zack?" Tanya Liz.
"Tidak ada." Zack kembali menatap ke depan, lalu membuka pintunya. "Hanya saja, ternyata sudah satu tahun sejak Ray mengajak ku party."
"Oh, cerita tentang terbentuknya The Green Eyes ya?"
"Aku tidak tahu."
"Ehehe." Liz tersenyum canggung.
Saat Zack dan Liz memasuki markas, tatapan orang-orang langsung tertuju pada Zack.
"Woi, dia si pengelana hitam."
"Iya."
"Ka-Katanya dia membunuh Boss Area empat dengan satu tebasan."
"Serius?"
"Zack," Liz menyenggol lengan Zack, "Kau terkenal ya?"
"Aku juga tidak tahu."
Di depan Zack, seorang gadis kecil yang pernah Zack selamatkan nyawanya melambaikan tangannya pada Zack.
"Rena?"
"Whoa! Kau benar-benar berubah ya, Zack?"
Zack menggeleng, "Entahlah."
"Yah, tatapan mata mu, mungkin?"
"Iya, mereka berkata seperti itu, tapi aku tidak terlalu peduli."
"Kenapa kau kesini?"
"Aku ingin bertemu Rio."
"Oh, dia ada di ruangannya."
"Iya, makasih."
Liz menyentuh lengan Zack, "Kalau begitu aku pergi dulu ya, Zack?"
"Kenapa?"
"A-Ada urusan."
"I-Iya," Rena menambahkan, "Aku juga."
Setelah mengatakan itu, keduanya pergi menjauh.
Ada apa dengan mereka? Yah, aku juga tidak terlalu peduli, tapi aku yakin akan ada hal merepotkan di atas sana.
Zack menaiki anak tangga pertama dan terus ke atas, sampai akhirnya lantai tiga sudah terlihat.
Saat Zack menginjakan kaki nya di lantai tiga, seorang perempuan cantik sedang menyandarkan punggungnya pada tembok. Mary menoleh pada Zack saat menyadari ada seseorang yang datang.
"Kau tahu aku datang?" Tanya Zack.
"Iya, Liz yang memberitahuku."
"Begitu ya?"
"Iya."
Zack berjalan mendekati Mary. "Rio di ruangannya?"
"Iya." Mary berjalan ke arah Zack dan memukul pelan dada Zack. "Kau menanggung beban yang begitu berat, bahkan sampai tatapan mata mu yang biasanya hangat itu berubah menjadi sangat dingin. Bahkan aku yakin tatapan mu lebih dingin dari pada Yuki."
"Maaf."
Mary menarik tangannya. "Kenapa meminta maaf?"
"Tatapanku begini bukan hanya pada mu, tapi aku sudah tidak tahu lagi bagaimana tatapan ku yang dulu. Aku lupa pada sifat ku yang dulu."
Mary tersenyun sedih, "Entah seberapa banyak kau berubah, aku masih tetap menyukai mu, Zack."
"Terima kasih. Aku senang karena gadis secantik diri mu menyukai aku."
Mary tersipu, "Ehehehe."
"Berapa level mu?"
"Seratus lima puluh."
"Bagus."
"Nah, Zack,"
"Apa?"
Mary menatap wajah Zack dengan tatapan sedih, "Apa kau sudah bertemu Yuki?"
Zack menggeleng, "Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah satu bulan yang lalu."
"Kenapa sekarang kau tidak menemuinya?"
"Tidak penting."
"Eh?" Tentu saja Mary terkejut dengan apa yang di katakan Zack. "Apa kau sudah tidak menyukai Yuki?"
Zack menggeleng, "Aku tidak tahu. Aku rasa aku tidak peduli lagi dengan hal-hal semacam itu."
"Kau berjuang terlalu keras, Zack."
"Jika tidak, aku tidak akan menjadi kuat dan hanya akan membuat semuanya terbunuh."
Mary memalingkan wajahnya, "Rio ada di ruangannya. Dia sudah menunggu mu."
"Iya, makasih."
"Iya."
Zack berjalan melewati Mary begitu saja.
Mary menatap sosok pengelana hitam itu dalam diam dan kesedihan. Karena Mary benar-benar menyukai Zack, maka wajar jika dia tidak mau melihat sosok Zack yang di penuhi oleh aura depresi itu, Mary tidak mau melihat mata Zack yang menjadi sangat dingin itu.
"Mary," Liz berjalan mendekati Mary. "Kau tidak apa-apa?"
Mary mengangguk, "Kenapa harus Zack?"
"Ya?"
"Kenapa harus Zack yang menanggung beban berat itu?"
Liz memeluk Mary dengan lembut, "Iya, aku juga merasa seperti itu."
Sosok pengelana hitam itu akhirnya masuk ke dalam ruangan leader.
"Rio." Kata Zack.
Rio berbalik dan melihat sosok Zack yang di penuhi oleh aura depresi dan mata yang dingin. "Kau tidak apa?"
Zack mengangguk, "Iya, aku baik-baik saja."
"Berapa kali kau mati?"
Zack menggeleng, "Sudah tidak terhitung."
"Sakit?"
"Sangat."
"Kau ingin menangis?"
"Iya."
"Lalu kenapa kau tidak menangis?"
"Aku ingin menyimpan tangisanku untuk kemenangan nanti."
"Kau ingin menyerah?"
"Tidak akan."
"Kenapa?"
"Karena aku ingin bertemu keluargaku."
"Zack!"
"Iya?"
"Kau tidak perlu melindungi semua orang."
"Kau terdengar seperti Rick."
Rio tersenyum, "Karena dia memang ingin mengatakan itu."
"Kau tahu di mana dia?"
Rio menggeleng, "Tidak tahu."
"Apa dia ikut penyerbuan?"
Rio kembali menggeleng, "Tidak. Saat aku bertanya pada nya tentang itu, dia tersenyum dan berkata, 'Aku ingin hidup bahagia bersama isteriku, bahkan jika itu di dalam game ini.' padaku. Tapi dari wajahnya, aku tahu dia juga ingin keluar dari game ini."
"Tentu saja. Semua orang jelas ingin keluar dari game kematian bodoh ini."
"Zack."
"Apa lagi?"
"Kau tahu siapa yang harus kau lindungi kan?"
Zack mengalihkan pandangannya, "Diriku sendiri."
"Tatap mata ku!"
Zack menatap Rio.
"Kau tahu siapa yang harus kau lindungi, Zack?"
Zack menggeleng, "Aku tidak tahu."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak tahu harus melindungi siapa."
"Kau menyukai seseorang kan? Aku mendengarnya dari Rick."
"Tidak, aku rasa perasaan semacam itu sudah menghilang."
"Menghilang?"
"Iya, sejak lima bulan yang lalu."
"Apa maksudmu?"
"Setelah aku mengalami ribuan kali kematian dan mendengar ratusan teriakan kematian, aku sadar beban ku sangatlah berat. Dan karena setiap aku mati rasa sakit di tubuhku selalu terasa sangat menyakitkan, aku lupa siapa yang harus aku lindungi."
"Kau-"
"Kau tidak akan mengerti, Rio."
"Iya, aku memang tidak mengerti, tapi setidaknya aku tidak ingin kehilangan mu."
"Hmp! Perkataan bodoh. Aku tidak bisa mati di game ini."
"Bukan! Bukan nyawa mu, tapi hati mu, Zack."
"Begitu ya?"
"Kau tahu kalau aku menyukai mu kan?"
"Ah, kau hampir membuatku mengingat hal itu."
"Hal itu?"
"Tidak perlu di pikirkan."
Iya, aku hampir saja lupa kalau Rio adalah gay yang suka pada pantatku. Setelah kengerian yang terjadi pada ku selama enam bulan, aku melupakan semua perasaan semacam suka dan benci. Aku hanya fokus pada satu tujuanku, yaitu membunuh Boss Area Sepuluh yang entah akan seberapa kuat.
Walau aku tahu kalau aku tidak bisa mati, tapi tetap saja, melihat orang-orang di sekitarku terbunuh adalah pemandangan yang sangat mengerikan.
"Zack."
"Apa?"
"Apa kau ingin bertemu Yuki?"
Zack menggeleng, "Tidak perlu."
"Ayolah, dia menunggu mu di kamar nya."
"Kamar?"
"Iya, dia bergabung dengan The Green Eyes satu bulan yang lalu."
"Begitu ya?"
"Iya."
Satu bulan yang lalu, setelah di selamatkan oleh Zack, Yuki sadar kalau waktunya tidak akan cukup, maka dari itu Yuki berhenti melakukan solo player dan bergabung bersama The Green Eyes untuk leveling dari setiap Area kecuali Area sepuluh.
"Jadi, dia sudah menunggumu di samping kanan ruanganku."
"Baiklah."
"Jangan terlalu dekat dengannya, Zack!"
"Ha?"
"Aku cemburu."
"Terserah." Zack berhenti sejenak, mengambil napas, lalu melanjutkan dengan nada yang rendah. "Kapan penyerbuannya di mulai?"
"Aku sudah memeriksa setiap anggota tim penyerang. Walau masih ada yang kurang dari seratus lima puluh, tapi kita bisa menyerangnya. Mungkin beberapa hari lagi aku akan mengumumkan tentang penyerbuan."
"Berapa yang paling kecil?"
"Seratus empat puluh."
Zack berbalik, membuka pintunya dan berjalan keluar dari ruangan itu.
Zack berdiri di depan pintu kamar Yuki. Dia hanya berdiri seperti itu dengan ekspresi dingin di wajahnya. Aura depresi semakin lama semakin kental, bahkan dengan jubah hitamnya, Zack terlihat semakin cocok dengan nama Pengelana Hitam.
Zack menarik dan menghembuskan napasnya, lalu mengetuk pintu kamar Yuki.
"Iya~" Suara Yuki terdengar dari dalam kamar itu, lalu pintunya terbuka.
Saat Yuki melihat Zack, dia tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya.
"Zack, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Yuki.
"Rio bilang kau ingin bertemu denganku."
"Eh? Aku tidak pernah-"
"Begitu ya."
Zack langsung berbalik, tapi saat Zack hendak melakukan itu, Yuki memegang jubah Zack dan menghentikannya.
"Tapi aku rasa aku ingin mengucapkan terima kasih."
Zack kembali menatap Yuki. "Terima kasih?"
Yuki mengangguk, "Iya, satu bulan yang lalu?"
"Ah, bukankah kau sudah mengatakannya?"
"Ah, iya."
"Kau, berubah ya, Yuki?"
"Eh?"
"Kau tidak sedingin dulu."
Yuki tersenyum, "Hehe, sepertinya aku berubah setelah satu bulan bersama The Green Eyes."
"Bagus."
"Tapi, kau terlihat semakin suram sejak terakhir kita bertemu, Zack."
"Iya, mungkin."
"Kau terlihat seperti... Depresi?"
"Mungkin."
"Ah, jadi... Sepertinya aku tidak perlu mengucapkan terima kasih lagi ya?"
Zack mengalihkan pandangannya.
Walau aku memang berkata kalau aku sudah melupakan perasaan cinta dan benci, tapi aku rasa aku memang masih tertarik dengan Yuki.
Walaupun setelah mengalami kengerian selama enam bulan, aku tetap menyukainya ya?
Bodoh sekali sih.
"Yuki." Kata Zack.
"Iya, apa?"
"Aku tidak ingin kau ikut penyerbuan kali ini."
"Eh?"
"..." Zack tidak mengatakan apapun.
"Ke-Kenapa aku tidak boleh ikut?"
"Aku tidak mau kau... Umm... Pokoknya kau tidak perlu ikut."
"Ha?!" Yuki mulai menunjukan wajah kesal. "Apa menurutmu aku lemah?!"
"Kau memang lemah."
"Ha?! Kau-"
"Saat insiden pemerkosaan pun, kau berkata kau kuat, tapi akhirnya kau malah tertangkap."
"Zack, jika ada alasan lain kenapa kau tidak mau aku ikut, katakan!" Yuki mulai marah.
"Itu karena... Umm... A-Aku me... Umm... Aku melihat mu seperti orang lemah."
Yuki benar-benar menunjukan wajah kesal. "Zack, aku cukup kuat untuk tidak mati!"
"Benarkah?"
"Iya."
"Kau bahkan tidak bisa menghadapi Hati dan Skoll."
"Bukan!" Yuki menghentakan kaki nya. "Aku lengah setelah membunuh banyak dari mereka!"
"Kau masih lengah, kau lemah."
"Zack!"
"Baiklah,"
Yuki tersenyum senang, "Aku boleh ikut?"
"Jika kau bisa mengalahkanku dalam duel satu lawan satu kau boleh ikut."
"Ha?!" Yuki kembali kesal.
"Bagaimana?"
"Boleh! Tapi kau jangan menggunakan pedang Sharp and healing!"
Zack mengangguk, "Baiklah, kau yang memberikan ku pedang."
Yuki tersenyum licik, "Pedang apapun?"
"Iya."
Yuki membuka ruang itemnya dan mengambil pedang kayu.
"Bagaimana dengan ini?"
"Baiklah, aku akan melawanmu dengan pedang kayu."
Yuki mulai kebingungan. "Ta-Tapi aku menggunakan pedang ini, lho."
"Tidak masalah."
"Ka-Kau sombong banget sih."
Zack menggeleng, "Aku bukan sombong, aku hanya ingin membuktikan kalau aku lebih kuat dari pada kau."
"Tck! Kau gunakan saja pedang itu!" Yuki menarik pedang es nya, "Ayo bertarung!"
"Disini?"
"Iya, arena nya adalah lorong ini!"
"Baiklah."
Rio, Liz, Rena, dan Mary yang mendengar percakapan mereka, hanya terdiam dengan wajah keheranan.
Zack langsung melompat mundur dan menyiapkan pedang Sharp and healing nya. Yuki langsung berlari dengan cepat ke arah Zack dan menebaskan pedangnya secara vertikal. Zack mengangkat perisai di tangan kirinya dan berhasil menahan Yuki. Yuki tidak berhenti pada serangan itu, dia langsung mengarahkan tangan kiri nya pada dada Zack dan melepaskan satu bongkahan es. Zack melompat ke belakang sambil menendang bongkahan es itu kembali pada Yuki.
"Ahh!" Bongkahan itu mengenai perut Yuki dan membuatnya berlutut.
"Lihatkan, kau lemah." Kata Zack.
Yuki menggertakan giginya dan langsung berdiri dan melesat ke arah Zack dengan kecepatan tinggi. Zack melangkah ke samping kiri, lalu memegang tangan kiri Yuki dan melemparkannya kembali setelah berputar ke kamarnya.
"Whoaaa..."
"Sudahlah, kau tidak bisa menang melawanku."
Yuki kembali bangkit, tapi kali ini dia tersenyum, lalu menyentuh lantai dengan tangan kirinya yang menyebabkan seluruh lantai di lorong itu berubah menjadi es dalam sekejap.
Zack yang biasanya tetap dingin, kini mulai merasa waspada.
"Apa ini?!"
"Ice Floor! Salah satu skill ku!"
Setelah mengatakan itu, Yuki seperti berselancar dengan kaki nya ke arah Zack dengan kecepatan yang tidak masuk akal.
Zack langsung mengaktifkan skill percepatannya dan siapa sangka mereka mulai saling beradu pedang di lantai yang licin itu.
"Menyerahlah, Zack!" Teriak Yuki, yang sudah mulai kelelahan.
Rena, Liz, dan Mary yang melihat Zack dan Yuki yang saling beradu pedang dengan kecepatan tinggi hanya bisa melihatnya dengan heran.
"Bagaimana mereka bisa secepat itu?" Tanya Mary.
"Keren!" Kata Rena.
"Ice Floor," Liz mulai menjelaskan. "Adalah skill khusus milik penyihir, yang mana saat skill itu di aktifkan dan mereka menginjak field atau floor yang terkena efek skill itu, maka speed, damage, defense, dan luck mereka akan meningkat secara drastis."
Mary dan Rena menatap Liz, "Bukankah itu licik?!"
"Yah, penyihir sih."
"Yuki," Kata Zack, yang masih beradu pedang dengan Yuki. Bahkan Zack tidak terengah-engah sedikit pun.
"Haa... Haa... Haa... Apa... Haa... Haa..."
"Aku masih belum mengaktifkan skill dan ability ku yang lain."
"Eh? Haa... Haa... Haa... A-Aku juga... Haa... Haa..."
Zack menghembuskan napas lelah, lalu dengan sengaja tapi tetap terlihat serius, Zack membiarkan satu tebasan fatal menebas dada sampai perutnya.
"Gah!"
"Wah, Zack! Kau tidak apa-apa?"
Zack mundur beberapa langkah, "Iya, aku baik-baik saja."
Yuki tersenyum, "Syukurlah."
"Iya."
Luka tebasan itu perlahan mulai menghilang bersamaan dengan HP nya yang mulai meregenerasi tanpa meminum potion.
"Aku menang ya?" Yuki tersenyum senang.
"Iya, kau menang."
"Jadi, aku boleh ikut kan?"
"Iya."
Liz mengangguk, "Yah, walaupun tadi Zack mengalah sih."
"Serius?!" Rena dan Mary bertanya pada Liz serentak.