webnovel

Bab 2. MOS 1

Hari ini adalah acara MOS atau Masa Orientasi Siswa dilakukan. Alina sudah mempersiapkan semua keperluan yang dibutuhkan.

Mulai dari kaus kaki oblong berwarna-warni seperti pelangi namun hatinya menangis. Rambut dikepang dua meski dia terlihat seperti kuda beban.

Buah kesukaan yang menggantung di depan dadanya. Alina sangat suka dengan buah naga, karena itu, dia memilih membawa buah naga.

Selain itu juga, para murid MOS disuruh agar membawa ember. Alina berdiri di depan pagar. Dia menutup setengah bagian pagar karena tubuhnya yang besar.

Alina menelan ludah melihat para murid baru terlihat bagus dan juga modis. Berbeda dengan dirinya.

Dia terlihat sangat jelek, seperti ikan badut yang kembung dan juga beracun.

Ya, Alina mulai insecure melihat para gadis-gadis lainnya bertubuh kurus.

Gadis itu berjalan dengan gontai membelah pagar.

Alina tersedak melihat dua bocah laki-laki yang kemarin mengejar-ngejarnya. Alina berhenti dan bersembunyi di belakang post satpam.

Laki-laki yang memakai baju bertuliskan security itu melihat Alina dan bertanya.

"Kenapa kamu bersembunyi. Ayo cepat masuk ke dalam!" perintahnya.

"Hm, gimana Alina mau masuk, Pak. Di sana ada dua bocah jelek yang suka sekali mengganggu, Alina." Tangan Alina terarah pada dua bocah laki-laki yang sedang duduk santai sambil menikmati jus kemasan dalam plastik.

"Mereka!" kata si satpam balik menunjuk.

"Benar, Pak. Alina takut."

"Ya sudah. Jangan takut. Ayo biar Bapak temani ke sana." Wajah gendutnya terlihat seperti kepiting rebus. Merah. Mungkin itu karena dia terlalu senang dan bahagia.

Bisa dikatakan jika satpam itu adalah orang pertama yang mengajaknya berbicara.

"Bos, bos. Itu si gendut akhirnya datang," ucap Fadel.

Alina meringkuk di belakang tubuh tinggi penjaga sekolah. "Eh mau ke mana lo, gendut! Sini lo!" tangan Fadel berusaha menarik tas Alina. Namun dihentikan oleh satpam.

"Bocah nakal! Jangan ganggu dia atau Bapak akan melaporkan kalian ke wali kelas. Mengerti!"

"Iya, Pak. Mengerti!" Kedua bocah itu lalu pergi dengan menundukkan kepalanya.

Sedangkan Alina sudah berlari menaiki tangga dan duduk di kursinya.

Sudah dua hari duduk di bangku putih abu-abu, namun Alina masih belum memiliki teman. Dia masih terasingkan dan juga dikucilkan.

Alina berusaha untuk berteman dengan mereka. Di pojok kanan sebelah lapangan basket besar.

Satu kelompok gadis tengah memperbincangkan mengenai yel-yel akan mereka tampilkan nanti.

Namun Alina masih sendiri. Meski sudah dibagi dan dia termasuk ke dalam tim mereka yang dijuluki dengan Bunga Teratai itu, namun dia tidak.

Dia seperti orang asing, bukan bagian dari sana. Salah satu anak OSIS mendekat dan bertanya.

"Lo kenapa bengong di sini! Mana kelompok lo?" tanyanya galak.

Alina menunduk takut. Dia tidak pernah dibentak atau dimarahi seperti ini. Alina juga tidak bisa untuk bercerita kepada Ayah dan Ibunya di rumah.

"Malah diem lagi! Punya mulutkan. Dipakek buat ngomong!" Tangannya menarik rambut Alina.

Gadis gendut itu merasakan sakit karena rambutnya dimain-mainkan seperti karet.

Seorang laki-laki lainnya datang dan meminta kepada temannya untuk berhenti.

"Stop! Jangan lakuin itu lagi. Kalau lo masih mau ada di OSIS," ancamnya.

"Iya, ketua." Dia mengejek Alina.

Alina tersenyum dibalik wajah tertunduknya. Laki-laki itu memegang rambut Alina sambil tersenyum.

"Jangan takut! Gue gak doyan sama cewek gendut."

"Hah, emangnya Kakak vampir?" ucapnya polos.

"Ya ampun, umur lo berapa sih!"

"Hm, 15, Kak," jawab Alina masih dengan posisi tertunduk.

"Pantasan polos. Tim lo mana!"

"Di sana, di pojok itu!"

"Terus lo ngapain di sini. Kenapa gak gabung sama mereka. Lo mau gue hukum!"

Alina menggeleng cepat. "Kalau enggak mau, sana. Gabung sama mereka!"

"Tapi, Kak masalahnya adalah-"

"Apa? Mereka enggak mau ngajakin lo!" Alina mengangguk. "Sudah gue duga. Ikut gue!"

Alina mengekor di belakangnya. Tubuhnya yang kecil ditelan oleh badan Alina yang super besar seperti babon.

"Kalian satu tim sama cewek ini!" tanya si OSIS.

"I-iya, Kak."

"Terus kenapa dia masih di sana sendirian!"

"Dia enggak mau kami ajak, Kak. Banyak banget alasannya."

"Iya, benar. Dia sombong dan gak mau berteman."

"Betul, Kak. Kami enggak bohong!"

Ketua OSIS itu melihat Alina dengan mata yang membesar. "Lo ikut gue!" Mereka kemudian pergi menjauh dari para peserta MOS.

"Rasain tuh gendut! Gue yakin dia pasti bakalan disuruh bersih-bersih wc atau gak berdiri hormat bendera!"

"Setuju-setuju. Gue gak bisa bayangin gimana wajahnya dia yang jelek itu makin jelek terus gosong, haha!"

"Haha, udah-udah. Gak usah mikirin dia. Fokus bikin yel-yel aja."

*****

"Eh, Lo ngelihat si gendut gak!"

"Oh cewek gendut di kelas 10.3 itu kan."

"Yoi, lo benar." Laki-laki bertubuh kurus dan juga ugal-ugalan itu tengah mencaritahu di mana keberadaan Alina.

Dia penasaran apa yang sedang dilakukannya. Jika dia sendirian, maka dia akan menjahilinya.

"Gue gak bisa biarin lo lolos gitu aja. Enak aja, udah buat mata gue perih dan hampir saja buta. Lo harus mempertanggungjawabkan semua itu," teriaknya bersemangat.

Seorang bocah laki-laki yang berpakaian rapi menghampiri bocah urak-urakan itu. Dia membuatnya kaget dan hampir saja terjadi baku hantam.

"Oi, mau ke mana lo? Semangat gitu gue lihat," katanya.

"Gak usah nyender di bahu gue, Nyet!"

"Ehehe. Tapi lo mau ke mana."

"Bukan urusan lo," balasnya.

"Jelas urusan gue. Karena lo itu bos gue. Jadi lo kemana aja gue harus ikut. Oke!"

"CK! Terserah lo dah."

*****

Alina duduk di bangku panas sendiri. Dia seperti sedang diinterogasi oleh kepolisian tingkat OSIS.

"Lo bodoh atau gak ada otak!"

"M-maksudnya, Kak!"

Gubrak. Bunyi kursi ditendang. Alina terdiam.

"Bangsat! Masih nanya apalagi. Gue tanya, kenapa lo gak gabung sama mereka. Lo tahu kan peraturan sekolah di sini apa?" Seorang gadis yang memakai baju OSIS menarik pipinya kasar.

Sehingga bekas jarinya menempel di kedua pipi Alina.

"Sa-saya gak dibolehin ikut, Kak. Saya gak bohong!"

"Sial! Dia mau berbohong lagi. An, bawa dia!" Sedangkan laki-laki yang membawanya tadi pergi keluar untuk mengurus kelompok lainnya.

"Jangan, Kak. Saya gak mau."

"Cih, lo pikir kami mau ngapain lo, oon!"

"Gak usah takut. Kami enggak makan daging manusia, terutama cewek gendut jelek macam gini!"

Mereka berdua tertawa. Alina tertunduk. Dia menahan rasa sakit dan juga perih berkali-kali.

Ternyata menjadi jelek memang penuh dengan duka dan luka. Apalagi jika kita memiliki semuanya. Jelek, gendut, bodoh serta tidak bisa untuk membela diri sendiri. Menyedihkan sekali.

Alina menghela napas dengan tersengal. Bahkan utama bernapas saja terasa berat dan juga canggung. Apakah begini rasanya berada di dekat orang cantik?