Sorotan matahari mulai melambai melalui celah ranting dan dedaunan, membuat gadis yang sedang tertidur pulas di bawah pohon itu membuka mata secara perlahan.
"Di mana ini?" Emely belum juga sadar kalau dirinya masih di dalam hutan. Ia berdiri dengan lunglai menatap keadaan sekitar seperti meminta penjelasan pada alam. Seketika, pikirannya langsung teringat dengan kejadian semalam yang membuat dirinya lemas seperti sekarang.
Emely langsung mengamati tubuhnya, ia terus mencari sesuatu yang janggal di sana. Ia sangat yakin, kalau tadi malam tubuhnya berubah drastis menjadi makhluk yang sangat mengerikan.
"Untunglah, tubuhku sudah kembali seperti semula." Ia mengembuskan napas lega.
Gadis itu terdiam, pikirannya kembali bertanya-tanya. Kenapa ia bisa berubah menjadi makhluk yang entah apa itu namanya?
"Kenapa semakin hari aku semakin aneh? Sebenarnya cobaan apa ini?" lirih Emely dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa salahku, Tuhan?" Tangisan Emely pecah, ia menunduk dalam dan memukuli dirinya sendiri yang menurutnya sangat tidak berguna.
Emely terus bersimpuh merenungi setiap kejadian janggal yang ia alami. Mencoba mencari jawaban atas semua pertanyaan yang selalu terbesit di pikiran. Mengingat kesalahan apa yang telah diperbuat sehingga ia mendapat cobaan yang amat menyakitkan. Namun, otaknya tetap tidak mampu menemukan jalan untuk mengatasi masalah itu.
"Arghhh!" Gadis malang itu terlihat pasrah, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Cairan bening dari mata indahnya ia biarkan terus menetes begitu saja.
Suara burung-burung yang baru saja keluar dari sarang berhasil mengalihkan pandangan Emely. Seolah, mereka tengah menghibur gadis yang sedang dilanda kesedihan itu. Samar-samar senyuman pun mengembang di bibirnya. Dengan air mata yang masih berlinang, Emely merasakan betapa indahnya menjadi burung yang dapat terbang bebas menghilangkan rasa penat.
"Astaga!" Tiba-tiba gadis berambut pirang itu menepuk jidat, ia baru saja menyadari sesuatu. "Aku harus mencari Roland," ujarnya seraya berjalan sembari menghapus sisa air mata.
Namun, langkahnya terhenti saat ia kembali berpikir. "Tapi ... apa mungkin sekarang Roland sudah ditemukan?" Emely bertanya pada kesunyian. Ia memutuskan untuk kembali ke area camping. Hatinya yakin Roland sudah ditemukan dan sedang menunggunya di sana.
ΦΦΦ
"Alice, sudah. Kau tenanglah." Suara Carlos datang menghentikan langkah gadis manis itu, sedari tadi Alice terus mondar-mandir dengan perasaan resah.
"Bagaimana aku bisa tenang kalau kedua teman kita belum juga ditemukan dari hutan?" Dari semalam Alice terus memikirkan Emely dan Roland. Kematian Lucy selalu terngiang di kepalanya dan Alice tidak mau itu terjadi pada teman-temannya yang lain. Ia tidak sanggup jika harus mendapat kabar buruk lagi.
"Kau harus yakin, Tim SAR pasti bisa menemukan mereka." Carlos hanya ingin membuat hati Alice tenang, walaupun sebenarnya ia juga cemas dan tidak yakin bahwa Emely dan Roland bisa selamat.
Netra Alice menangkap beberapa anggota Tim SAR yang baru saja keluar dari hutan. Tanpa menunggu lama, ia segera menghampiri mereka.
"Bagaimana, Pak? Apa mereka berdua sudah ditemukan?" tanyanya menelisik satu per satu orang yang keluar dari hutan, tapi Emely dan Roland belum juga terlihat.
"Kami belum menemukannya. Butuh waktu beberapa hari untuk mencari orang hilang di hutan besar seperti ini." Perkataan itu membuat tubuh kecil Alice lemas. Jika saja Carlos tidak menahannya, mungkin gadis itu sudah terjatuh.
"Tapi, kami menemukan ini." Salah satu orang menyerahkan sesuatu pada Alice. "Apa kalian tahu itu pakaian siapa?" lanjut orang itu.
Alice mengamati baju yang sudah tidak utuh, penuh robekkn di mana-mana dan sangat kotor. "Apa kau mengenal baju ini, Carlos?"
"Coba kulihat." Carlos membeberkan baju tersebut dengan mata memicing seperti mengingat sesuatu. "Sepertinya ... aku pernah melihat baju ini."
"Jangan bilang itu bajunya Roland?" Alice mulai mengutarakan asumsinya. Walaupun ia lupa baju yang dikenakan Roland seperti apa, tapi itu adalah pakaian pria. Maka tidak salah jika otaknya langsung tertuju pada Roland.
Pemuda itu menatap Alice sendu, raut wajahnya seketika berubah. "Kurasa ... begitu."
"Tidak mungkin!" Teriakan seseorang membuat mereka menoleh pada sumber suara.
"Emely? Kau kembali?" Alice langsung berlari lalu memeluk gadis itu dengan erat. "Kau baik-baik saja? Kami semua sibuk mencarimu! Aku khawatir, Em!"
Sosok yang dikhawatirkan malah tidak merespons semua penuturan Alice barusan. Ia malah berjalan cepat ke arah Carlos lalu meraih baju itu. Pikirannya langsung mengatakan bahwa ini adalah pakaian Roland. Emely ingat baju tersebut, ia tidak mungkin salah.
"Tidak, tidak! Ini bukan pakaian Roland!" Hati gadis itu terus mengelak walaupun otaknya tetap mengatakan 'Iya'.
"Jika benar ini pakaian lelaki itu, maka kemungkinan besar dia sudah tiada. Dilihat dari keadaan bajunya, mengarah pada binatang buas yang bisa saja sudah menerkamnya."
"Itu tidak mungkin! Roland pasti selamat!" Keadaan Emely benar-benar sangat kacau. Tangisannya kembali hadir melengkapi rasa bersalah atas kematian Roland.
"Roland pasti masih ada di sana!" sarkas Emely, keyakinan di hatinya masih tetap utuh. Kalau saja Carlos dan Alice tidak mencegatnya, mungkin gadis itu akan kembali berlari ke dalam hutan.
"Em, sudah! Sadarlah!" Bentakan Carlos membuat Emely terdiam dengan isak tangisan. "Kau harus menerima semua ini! Mungkin beginilah takdir Roland. Ingat, tidak ada seorang pun yang bisa merubah takdir! Sekarang kita hanya bisa mendoakan Roland saja, termasuk Lucy."
Bukan hanya Emely yang tersadar atas ucapan pria itu, tetapi Alice pun ikut berpikir dan mencerna kata-kata tersebut. "Iya, Em, Carlos benar. Lebih baik sekarang kau istirahat saja di tenda. Sedangkan aku harus ke lapangan, karena acara penutupan camping sebentar lagi akan dimulai."
Alice merangkul sahabatnya yang tampak tidak karuan itu menuju tenda. Emely masih terlihat lemas, tatapannya pun kosong. Sepertinya ia masih berkecamuk memikirkan kejadian kemarin dan hari ini.
ΦΦΦ
Deretan barisan di lapangan terlihat rapi, acara penutupan camping berlangsung dengan tertib dan penuh khidmat. Namun, tidak dengan gadis yang hanya duduk termenung di depan tenda. Dirinya masih diselimuti kesedihan yang amat mendalam.
Daripada mendengar sambutan dari Dekan di lapangan sana, gadis itu lebih memilih mengingat kenangan indah bersama kekasihnya. Di mana Roland selalu memberinya cinta, selalu menjaga dirinya, selalu menghadirkan tawa di saat kesedihan melanda. Namun, bayangan atas semua itu malah berakhir dengan tawa hambar, Emely sadar ia tidak akan pernah semua itu lagi.
"Saya selaku pemimpin kampus, sangat meminta maaf dan turut berduka cita atas meninggalnya dua mahasiswa saat camping ini berlangsung. Saya sadari, mungkin itu terjadi karena kelalaian petugas kampus. Namun, semua itu juga tak luput dari musibah yang tidak pernah kita tahu kapan akan datang."
Saat Dekan mengucapkan kalimat duka seperti itu, Emely langsung menoleh dan berdecih, kemudian membuang muka kesal. Ia sangat menyesal karena menuruti semua kata-kata pria paruh baya itu untuk tetap bertahan melanjutkan camping ini. Harusnya Emely dan yang lain pergi sesaat setelah kematian Lucy, tapi sekarang semuanya terlambat. Nasi sudah menjadi bubur.
"Kalian tenang saja, pertanggungjawaban bagi kedua korban akan pihak kampus berikan dengan setimpal," lanjut Dekan yang tetap tidak mendapat respons dari para mahasiswa.
Penutupan camping sudah berakhir. Semua orang kini sibuk membereskan tenda dan barang-barangnya masing-masing. Namun, aktivitas Emely terhenti kala netranya tak sengaja beradu pandang dengan mata tajam itu.
Kenapa Mr. Ex selalu melihatku seperti itu? batin Emely, lagi-lagi rasa takut datang menghantui.
Apakah aku pernah berbuat salah pada Mr. Ex? Apa mungkin aku sudah berlaku tidak sopan kepadanya? Atau ... ada penyebab lain yang membuat Mr. Ex selalu terlihat penuh emosi jika melihatku? Emely terus berargumen di dalam hati dengan tatapan yang belum juga terlepas antara kedua mata itu.
"Em, sudah belum melipat tendanya?" tanya Alice sembari sibuk memasukan tongkat-tongkat kecil penyangga kain tenda ke dalam wadah.
Emely tak kunjung menjawab, ia masih fokus pada orang yang berdiri lumayan jauh darinya.
"Emely!" Alice dengan sengaja mengejutkan gadis itu.
Tubuh Emely sedikit terlonjak, ia menatap sahabatnya kesal lalu mengelus dada. "Alice! Kau membuatku hampir jantungan!"
Alice hanya memutar bola mata jengkel. "Kau sudah selesai tidak melipat tendanya?" ulangnya dan langsung mendapat anggukan dari Emely. "Kalau sudah, kita ke bus. Ayo!"
Emely mengernyit, dia tidak melihat bus di sini. "Bus? Mana? Mereka belum datang, Al."
"Bus sudah ada di bawah. Aku dengar dari para panitia, sekarang bus sengaja terparkir di dataran yang rata walaupun itu sulit mencarinya, agar kejadian kemarin tidak terulang lagi." Gadis manis itu sedikit memelankan kalimat terakhirnya, ia jadi teringat dengan Lucy.
"Malah, katanya bus-bus itu sampai memakai lahan hutan agar bisa terparkir dengan aman. Jadi, mau tidak mau sekarang kita harus berjalan lumayan jauh ke sana," lanjut Alice menutupi kesedihan.
Emely mengangguk paham lalu berucap, "Itu lebih baik. Seharusnya, ini dilakukan dari kemarin."
Mereka berdua kini benar-benar pergi meninggalkan area camping. Termasuk Carlos yang sudah pergi menghampiri bus lebih dulu. Orang-orang di sana pun mulai surut, terkecuali Mr. Ex. Dia terlihat masih santai-santai saja duduk di depan tenda.
"Al, Mr. Ex tidak ikut pulang?" Emely bertanya di sela-sela langkahnya.
"Entahlah, mungkin dia ada urusan dulu. Sudah, ayo! Nanti kita ketinggalan." Alice menarik tangan Emely sembarang.
Namun, pandangan Emely masih setia menatap tempat itu dengan sendu. Apalagi, melihat hutan tempat di mana Roland menghilang dan sampai detik ini pun jasadnya belum ditemukan. Miris sekali. Ia tidak akan pernah melupakan tempat ini, tempat yang sudah mengambil nyawa teman dan kekasihnya. Tempat indah yang sekarang menjadi spot terburuk bahkan dibenci oleh Emely. Penderitaan Emely sungguh sempurna, dirinya yang selalu ditimpa keanehan dan sekarang ia harus merelakan kepergian orang yang ia sayang.
ΦΦΦ
See you next episode ....