webnovel

Terpesona

Prolog

"Kamu mau jadi anak durhaka hanya gara-gara gadis Indonesia itu, Kim?" cecar seorang wanita paruh baya seraya menunjuk ke arah wajah pria muda di hadapannya.

"Ibu, aku mencintainya!" tegas pria muda itu.

"Bahkan gadis itu tidak memiliki status sosial di negaranya, apa kamu gila? Kamu tidak lihat pakaiannya saja aneh seperti itu!" Wanita itu masih meneriaki sang putra.

"Ibu, tidak boleh bebicara seperti itu!" protes Pria muda itu, penuh emosi, tidak terima pujaan hatinya dihina oleh sang ibu.

"Kamu tidak akan bisa ke sini lagi, jika kamu masih berhubungan dengannya, Paham! Menikahlah dengan Ha Na, atau gadis itu akan mati!" Wanita cantik berpenampilan elegan itu berlalu meninggalkan putranya.

"Ibu! Aargh!" Pria muda itu merasa frustasi dan emosi menjejali seluruh jiwa dan raga.

Dengan penuh amarah dia meninju sebuah meja kaca yang ada di dekatnya, sang ibu masih acuh tak acuh dan melanjutkan langkah.

***

Tatapan tajam terarah pada sosok gadis bergamis hitam, ada hawa hangat yang tiba-tiba menyusup dalam dada seorang pria tampan yang sedang duduk berhadapan dengan wanita muda di sebuah meja kedai. Gadis berkhimar lebar itu begitu gesit melayani pelanggan kedai yang datang.

Menyajikan menu yang dipesan, dengan bahasa tubuh penuh etika.

Mata Kim terpana, seolah tak mau lepas dari gerakan gadis itu. Sementara wanita yang ada di hadapan belum menyadarinya. Wanita yang terpaut dua tahun lebih tua dari Kim itu masih asyik dengan benda pipih di tangan.

"Oia, Kim gimana klinikmu?" Wanita itu terkesiap mengalihkan pandangan dari ponsel, kemudian menatap ke arah pria tampan yang berprofesi sebagai Dokter Ahli Kecantikan tersebut.

Namun, Kim mengabaikannya dan masih asyik memandangi gadis bergamis hitam. Setiap inci langkah tidak Kim lepaskan dari tatapan bola mata bermanik cokelat muda itu.

"Kim!" panggil wanita itu sedikit berteriak.

Kim sedikit kaget, sontak menoleh ke arah wanita yang memanggilnya.

"Kenapa kamu teriak-teriak Aqila, memangnya aku tuli" protes Kim, sedikit kesal.

Wanita yang bernama Aqila itu berbalik memprotes, "Lagian kamu siang bolong gini udah bengong! Lihatin siapa memangnya? Ada gadis sini yang bikin kamu klepek-klepek kah?"

"Baru pertama aku melihatnya, Nuna. Siapa dia?" tanya Kim dengan senyum malu-malu.

"Mana, mana?" Aqila begitu penasaran siapa gadis yang Kim maksud.

"Yang memakai gaun hitam, dan penutup kepala hitam juga," ujar Kim pelan saja, tampak ragu-ragu.

"Oh itu Adya, dia pegawai baru, kemarin dia datang mencari pekerjaan, aku rekrut aja," jelas Aqila.

"Berapa usianya?" Kim masih penasaran.

"Adya?" Aqila balik bertanya, memastikan.

"Nae," jawab Kim yakin.

"Dua puluh sembilan tahun, jangan macam-macam sama dia, lho!" Aqila menggoda Kim sambil sesekali menaik-turunkan alis.

Kim pun tak mau kalah membalas candaan Adya yang sudah seperti seorang kakak baginya. Menggulirkan kedua manik mata ke kiri dan kanan.

"Kenapa dia memakai facemask?" Lagi, Kim bertanya, begitu penasaran tentang Adya.

"Facemask?" Aqila termenung kemudian dia terkesiap, "owh itu nikab, bukan masker, memang dia sedang belajar menjalankan sunah dalam agama kami."

Pria berkulit putih berkemeja hitam itu hanya mengangguk, dengan tatapan kosong. Merasa sedikit bingung dengan perkataan Aqila. Bagaimana tidak, memang keyakinan yang berbeda tentu saja ajaran dan kebiasaan hidup pun berbeda.

Meskipun keduanya berteman sejak lama, tetapi tidak pernah mencampuri urusan keagamaan satu sama lain. Ada batasan dalam hal tersebut. Ajaran kepercayaan masing-masing diterapkan dalam kehidupan masing-masing tentu saja, tanpa harus berdebat memperebutkan benar dan salah yang tiada ujungnya. Adya dan Kim saling menghormati satu sama lain dalam hal tersebut.

"Sudah tak perlu panjang lebar menjelaskan, intinya itu pilihannya kita enggak boleh ikut campur," jelas Aqila kemudian.

"Arasseo," tepis Kim menyudahi.

"Ah, apa kamu ada foto dia tanpa nikop?" Ternyata Rasa penasaran Kim belum terpenuhi.

Masih saja dia begitu ingin tahu tentang gadis yang memikat hatinya itu.

"Nikop?" Sesaat Aqila tafakur, kebingungan mendengar ucapan Kim.

Lantas, untuk menjelaskan maksudnya pria bermata sipit itu, menggerakkan telapak tangan di sekitar wajahnya, memeragakan suatu hal.

Sesaat kemudian Aqila pun terkesiap, mengerti tentang maksud Kim, "Nikab Kim nikab! Aish," rutuk Adya, "kalo poto aku ada, kebetulan kami sangat dekat dan dia sering membantuku."

"Apakah aku boleh lihat?" tanya Kim, penuh harap.

"Enggak boleh lah, pamali!" tegas Aqila.

"Apa itu pamali?" Kedua alis Kim bertaut, dahinya berkerut seolah sedang memikirkan masalah ketatanegaraan.

Aqila terkekeh melihat perilaku sahabatnya. Kemudian tergelak dengan suara tawa renyah yang begitu khas, tak tahan mendapati wajah polos seorang dokter sukses di hadapannya yang begitu menggelitik.

"Wah, pokoknya dia sangat memesona, mata besar dengan pupil cokelat gelap, dagu lancip, Adya juga memiliki senyum yang manis, dia sangat imut, gak kalah cantik deh, dengan gadis Korea," goda Aqila.

Mata Kim berbinar mendengar itu semua. Jantungnya berdebar seolah meronta-ronta ingin menerobos ke luar.

"Nuna ... kirimkan foto itu padaku! Tolong ...," rayu Kim pada Aqila yang akrab dipanggilnya Nuna--panggilan Kakak perempuan di Korea.

"Cih!" Aqila berdecak kemudian memutar bola matanya, membuat Kim semakin dihantui rasa penasaran.

Kim begitu tetarik dengan gadis bernama Adya. Gadis manis dengan pakaian tertutup, begitu membuat Kim terhipnotis.

Sang dokter memohon dengan memasang raut wajah layaknya anak kucing yang meminta untuk diadopsi.

Sesaat Aqila kebingungan, entah bagaimana cara untuk menjelaskan pada pria jangkung, berbadan atletis itu.

"Kim, foto itu privasi Adya, aku enggak bisa sembarangan ngasih loh," ucap Aqila dengan lembut, lalu menyeruput kopi yang Adya suguhkan tadi.

"Aku janji enggak kasih tahu Adya," bujuk Kim, lalu mengerjap-ngerjap mata menggoda Aqila.

Aqila tersenyum, lalu berkata, "Kim, mungkin Adya enggak tahu, gimana dengan Tuhan? Hayo?"

"Tuhanmu marah karena kamu berikan aku foto Adya?" tanya Kim dengan wajah polos.

Aqila sungguh gemas melihat tingkah Kim yang seperti anak kecil.

"Bahkan Tuhan akan marah sama Adya juga, hayo!" Aqila terus menggoda Kim.

Kim menepuk kening, kebingungan dengan penjelasan Aqila.

Kim pun tidak memaksakan kehendak, hanya tersenyum pasrah atas ketidakberhasilannya. Aqila yang mengamati kekecewaan Kim menghela napas panjang.

"Maaf, ya, Kim," ujar Aqila.

Kim yang pasrah pun hanya bisa manyun.

Tak lama kemudian, Kim kembali ke klinik miliknya di seberang kedai. Dokter ahli kecantikan yang berasal dari Korea Selatan itu menyukai Adya--pegawai baru di kedai Aqila. Entah hanya rasa penasaran karena penampilan Adya yang sedikit berbeda, atau perasaan suka yang benar-benar telah tumbuh merambat dalam hati Kim.

Bagai bunga di musim semi, senyum simpul kerap terukir di bibir tipis pria berahang tegas itu. Binar matanya menyiratkan rasa yang sulit dijelaskan, terkadang rindu menggebu, hingga membuat malam-malamnya hampa.

Setelah pertemuan dengan gadis bercadar itu, Kim tak pernah berhenti memikirkannya barang sekejap saja. Isi kepala dan relung kalbu dipenuhi dengan bayang-bayang wajah cantik fantasinya sendiri. Padahal, pertemuan itu begitu singkat. Bahkan, tak sempat untuk saling tatap, tetapi sepertinya pesona Adya begitu menghipnotis idola kaum hawa tersebut.

Catatan kaki

Nuna: Panggilan kepada perempuan yang sedikit lebih tua--oleh laki-laki.

Nae: Iya

Arraseo: Baiklah/Mengerti

次の章へ