Dalam pertarungan ini, Raul harus berhasil menyeret roh Christ agar tetap berada di dimensi astral. Pertaruhannya sangat penting, karena Raul lebih mementingkan keselamatan Liza.
Kalau Raul bisa menahan roh Christ tetap disini hingga rantai penghubung roh dengan tubuh fisik Christ melebur, itu berarti Raul menang, roh Christ tidak bisa kembali dan Christ menjadi penghuni tetap dimensi astral. Tapi kalau Raul sampai gagal menahan roh Christ, itu berarti Christ akan kembali ke dunia manusia untuk mencari keberadaan Liza.
Sebenarnya pantang bagi arwah penyihir putih seperti Raul itu menyeret roh manusia yang masih hidup untuk tetap tinggal di dimensi astral. Karena itu sama saja membunuh, karena memisahkan roh dengan raganya. Tapi demi keselamatan Liza, Raul akan tetap melakukannya.
TANG! DUAG! TANG!
Suara dentingan pedang Christ yang beradu dengan pukulan magis Raul itu terdengar bersahutan. Sama-sama kerasnya, sama kuatnya, dan juga setara daya hancurnya.
Untuk roh yang hampir habis batas masanya, Christ ternyata cukup tangguh juga. Pun dengan Raul yang notabenenya adalah seorang prajurit kebanggaan keturunan penyihir putih bermata ungu itu juga tentunya memiliki keahlian dan kemampuan sihir yang mumpuni.
'Sial! Aku harus cepat pergi dari sini sebelum masaku habis! Kalau saja aku membawa ramuan untuk memperpanjang masaku disini dari sang Raja, mungkin aku bisa menghajar pria ini dan membawanya sebagai sanderaku!'
Dari pada menyerang, kini Chris cenderung lebih menahan serangan. Ia pikir Raul bakal lebih mudah dikalahkan dengan cepat, tapi rupanya tidak demikian. Raul tidak selemah itu dan pastinya akan perlu waktu untuk menumbangkannya. Jadi Christ pun beralih rencana.
'Aku harus kembali sekarang!'
Maka sambil berusaha menahan serangan, tangan satunya ia gunakan untuk merogoh sesuatu dari kantong jubah dalamnya. Lalu melemparkannya ke tanah hingga ...
BWUUUSHHH!
Benda itu lantas mengeluarkan asap putih yang pekat. Menghalangi pandangan Raul untuk menyerang.
"Cih! Bom asap!" geram Raul seraya memejamkan mata dan mencoba mengibas-ngibaskan tangannya ke depan wajah, berusaha mengenyahkan asap itu agar tidak berkumpul dan masuk ke matanya.
Christ kemudian mengambil kesempatan itu untuk kabur. Tapi Raul sudah menyadari itu dan sebisa mungkin melompat keatas agar mencapai atmosfer yang tidak tertutupi oleh asap itu.
Dan atas Raul pun melihat sebuah cahaya samar dari atas, keluar dari kepulan asap itu dengan kecepatan yang tinggi. Itu pasti roh Christ yang hendak kembali ke dunia manusia dengan mengikuti arah rantai penghubung raganya.
Namun saat Raul hendak meluncur ke gerbang tersebut untuk menyetop Christ, tiba-tiba ia merasakan tarikan di sekujur tubuhnya. Yang ternyata itu adalah ...
"Berhenti, Raul!"
Seorang pria tegap berjanggut lebat warna emas dan berbusana yang mirip dengan Raul itu kemudian muncul. Dialah, Ayah Raul dan Adera, Anthony. Beliau datang mencegah anaknya untuk menyusul Christ dengan kekuatan sihirnya yang dibentuk seperti tali yang mengikat tubuh Raul.
"A-Ayah? Tapi manusia itu ..."
"Kau tidak boleh melanggar pantangan, Raul. Arwah, tidak semestinya menyeret roh yang masih hidup untuk tinggal disini. Kalau kau sampai melanggar, Yang Maha Kuasa akan menghukummu!" tegas beliau.
Mengabaikan nasehat itu, Raul menggeleng. "Tapi dia mengincar Kak Adera, Yah! Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja, atau kak Adera akan mati!"
"Tidak boleh, Raul! Kau tidak boleh ikut campur dengan anak terkutuk! Dia itu berbahaya! Meski kau kuat, kau tidak boleh melawannya!" tegas Anthony lagi. Lalu menyeret pulang anak lelakinya itu.
**
Sementara di tempat lain, Liza masih bersama para anggota Universe Rescue Team masih berjibaku dengan tumbangnya tabib nona hijau.
"Apa kita akan tetap melanjutkan perjalanan selagi nona tabib hijau sakit? Apa tidak bisa kita menunggunya hingga pulih?" tanya salah satu anggota Tim teramat cemas.
Ketua Tim—Pablo, pria tegap dengan surai dan jambang hitam kelam beriris coklat tua itu menjawab dengan satu anggukan tegas.
"Kita tidak punya pilihan. Tidak ada yang bisa menyembuhkan penyakitnya, itu tandanya Aisha bukan terserang penyakit biasa. Kita perlu bantuan Denise, jadi kita harus secepatnya kembali ke Pertisoum."
Liza menengok kepada Anthony dengan penasaran dan juga terkejut. "De-denise? Dan siapa itu Aisha? Apa nama anak ini—oh maksudku nona ini?"
"Ya. Denise." Peter kemudian menyahut. "Dia adalah saudara kandung nona Aisha. Dan Aisha adalah nama dari Nona Tabib Hijau."
"Tapi ... bukankah Denise itu sangat sulit ditemui?" sela Peter khawatir. "Bahkan dia tidak pernah terlihat lagi setengah tahun yang lalu. Saya ragu kalau dia akan kembali cepat."
"Lalu apa kau punya solusi lain untuk mengobatinya, Peter? Hum?" sengit Pablo menatap dengan picingan mata yang tajam.
Peter terdiam. Dalam hatinya merasa kalut. Disatu sisi dia sangat mengkhawatirkan Aisha. Tapi disisi lain dia juga tidak bisa tinggal diam saat semua kru menaruh harapan pada Denise itu.
Sementara dua pria itu berdebat, Liza iseng-iseng mencoba melihat kristal cahaya yang ada di tubuh Aisha. Mengedipkan matanya dengan cepat sebanyak tiga kali. Dan munculah kristal cahaya yang indah cerah berwarna hijau kekuningan. Namun cahayanya tak stabil. Kadang menyala terang, kemudian meredup. Begitu seterusnya.
"Apa mungkin dia terserang hal magis?" gumam Liza rendah. Lalu mencoba memegang punggung tangan anak itu. Mempraktekkan ilmu yang pernah Liza pelajari dari buku sihir.
Namun ketika Liza memulai untuk coba screening, herannya dia tidak menjumpai awan pekat atau apapun yang mengganggu jalur energi dari Aisha. Kalau dulu dia bisa menghilangkan kabut gelap pada jalur energi Christ, tapi sekarang Liza tidak bisa melakukan itu karena dia tidak bisa menemukan apa yang membuat Aisha sakit.
"Persiapkan diri untuk berangkat. Setelah badai ini selesai kita harus secepatnya bergerak. Aku mohon kerjasamanya untuk mempersiapkan keperluan nona tabib hijau juga agar bisa dibawa dengan aman," titah Pablo dengan tegas.
Serempak rombongan yang ada disana pun menjawab. "Baik, Pak!"
Beberapa menit persiapan telah usai, mereka pun bertemu di titik kumpul. Membawa serta kuda-kuda juga. Meletakkan barang-barang perlengkapan mereka di kereta yang ditarik oleh para kuda itu.
Selain itu mereka juga menyiapkan kuda untuk tunggangan. Masing-masing kuda diisi oleh dua orang. Dan Peter yang beruntungnya sendirian itu pun mengajak Liza untuk pergi naik kudanya.
"Maaf, aku jadi merepotkan," ucap Liza saat hendak naik di kuda putih milik Peter.
Pria itu tersenyum saat membantu Liza naik. "Tidak masalah, Nona Liza. Memang sudah menjadi misi kami untuk menyelamatkan sesama dan lingkungan, jadi kami sudah terbiasa menolong orang yang tersesat seperti nona. Jadi aku, Yuki, dan Ricky akan mengantarmu sampai ke perbatasan Bernsbergh."
"Kami juga sudah izin Pak Pablo untuk mengantarmu kesana. Jadi gak perlu khawatir
Lagipula, hanya aku dan Ricky yang punya tunggangan rusa pemecah es untuk membuka jalan menuju Bernsberg," ujar Yuki, perempuan berambut kepang dua itu kemudian.
Liza melirik ke rusa tunggangan Ricky dan Yuki. Dua hewan itu terlihat besar dan kuat. Dengan tanduknya yang besar dan kokoh, sudah pasti rusa-rusa itu mampu memecah es dengan sangat baik.
Lalu Liza pun kembali menoleh kepada Yuki dan Ricky. "Terimakasih. Aku tidak akan melupakan bantuan kalian."
Rombongan pun terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok besar melanjutkan perjalanan ke Pertisoum. Sedangkan kelompok Peter mengantar Liza ke Bernsberg. Baru setelahnya mereka akan pergi menyusul ke Pertisoum.
Mulai menyusuri jalan bersalju, mereka berusaha untuk menembus hujan salju yang kian lama semakin lebat. Agak susah payah, apalagi jalan ke Bernsberg.
Hingga sampai di tanjakan kesekian, mereka berempat menemukan suatu gundukan salju aneh yang digonggongi oleh beberapa anjing. Gundukan itu tepatnya persis di pinggir tanjakan selanjutnya.
Yang lainnya memilih acuh, tapi Liza menarik lengan Peter agar menghentikan kudanya.
Lalu tanpa peringatan, Liza langsung turun. Menghampiri anjing-anjing itu dan menengok gundukan tersebut. Dan karena rasa penasarannya kian memuncak itulah, Liza mengambil inisiatif untuk mencari tongkat kayu untuk menyentuh dan membersihkan gundukan salju itu.
Hingga dirasa tongkat Liza menyentuh sesuatu yang empuk, barulah dia terhenyak dan semakin giat menggali gundukan itu. Hingga tampaklah sesuatu yang mencengangkan ...
"Astaga!"
**
To be continued.