webnovel

Part 14

~Belajar alam semesta yang amat luas agar aku bisa mencari tempat lain yang tak mengenal cinta hingga tak ada satu pun penghuni yang tersakiti~

***

Author

Baru beberapa langkah gadis itu meninggalkan sang iris coklat, suara pukulan membuatnya berbalik untuk mencari tahu apa yang terjadi. Maniknya menangkap Nata yang sedang memukuli wajah cowok tadi, seragamnya yang berbeda dari seragam yang Nata pakai terlihat amat kontras, seakan Nata sedang memukuli siswa sekolah lain. Bahkan gadis itu baru menyadari kalau seragam seseorang yang tadi menabraknya sedikit berbeda dengan seragam yang ia kenakan. Namun, buku yang sempat ia bereskan tadi sepertinya buku yang dipakai oleh sekolahnya.

"Ngapain lo di sini??" Teriakan Nata membuat gadis tadi tersadar dan kembali menatap kejadian yang ada di depannya. Untungnya sekolah masih sepi karena saat itu masih terbilang pagi. Gadis itu masih terpaku, tak berniat bergerak barang sesenti pun. Beberapa menit kemudian, Pak Dadang datang dan memisahkan mereka, lebih tepatnya menenangkan Nata karena  hanya Nata yang memukul, tak ada perlawanan dari cowok itu. Nata menghembuskan napas kencang dan memilih pergi meninggalkan laki-laki yang sudut bibirnya berdarah itu. Tatapan laki-laki tadi beralih pada gadis mungil yang menatap kejadian tadi. Namun, gadis itu segera berbalik dan kembali menuju kelasnya.

***

Jam istirahat adalah hal yang sering dipakai Ero untuk berdiam diri di lantai atas kelas 11 yang memang berupa ruangan dengan dinding kaca dan atap yang hanya berisikan meja dan kursi. Ia lebih sering menyendiri di sana saat dunia sedang membencinya. Saat semua orang membuatnya hancur dalam balutan topeng ceria yang terpampang di paras cantiknya.

"Dek," suara yang begitu gadis itu kenal. Gadis itu kaku, rahangnya mengeras. Ia masih berusaha kuat agar deru napasnya tak terdengar oleh laki-laki yang sekarang langkah kakinya terdengar mendekati Ero.

"Kalau nanti sore bisa nggak kita pemotretan?" Ero masih bertahan pada posisinya, dengan manik yang menatap kosong ke arah sudut  ruangan.

"Loh, kok gak jawab?"

Ero yang sudah lelah mendengar suara itu memilih membuka mulutnya.

"Lo ngajak gue, karena lo emang mau ikut lomba atau lo mau balas dendam?"tanyanya tanpa menatap wajah laki-laki yang ada di belakangnya. Selepas itu, ia segera meninggalkannya sendiri dalam ruang transparan itu.

***

"Gamma, ayo makan dulu!" Suara yang Gamma benci tiba-tiba saja memenuhi pendengarannya. Pemilik iris hitam itu hanya mengeraskan rahang tanpa melirik pria yang baru saja menyuruhnya makan itu.

Langkahnya bergegas menuju kamar yang ada di lantai dua. Daun pintu ia buka kasar dan segera saja mengemasi apa yang perlu ia bawa. Nampaknya suasana hatinya sudah kalang kabut. Deru napasnya begitu jelas bahkan menggema di kamarnya.

Sang manik hitam segera menuruni tangga dengan langkah cepat, bersamaan terdengar langkah kaki dari meja makan. Begitu Gamma sampai di ujung tangga, ransel yang ia kenakan mendapat tarikan.

"Kalau ditanya jawab!" Yang diajak bicara hanya menatap malas ke ruang tamu.

Buugghh

"Kamu bener-bener gak punya mulut ya? Hah!" Satu pukulan sukses mendarat di pipi kiri pemilik manik hitam itu. Namun, ia tak berniat melawan. Ia hanya memutar bola matanya malas.

Ctaaar

"Dandi memang tidak becus menjaga anak!"

Gamma melirik pria itu dengan sudut matanya, sebelah tangannya mengusap pipi yang memerah karena tamparan, bahkan sudut bibirnya semakin banyak mengeluarkan darah selepas pukulan pertama tadi. Deru napasnya begitu cepat.

Buuughh

"Anda tidak perlu menyebut nama itu dengan mulut tidak berguna itu!" Pukulan yang sedari tadi ia tahan, melayang sudah mengenai wajah pria yang sedari tadi memakinya. Pria itu tersungkur mendapat pukulan Gamma secara tiba-tiba.

"Mama juga, kenapa mama diem aja anak mama dipukul? Dianiaya?" Sekarang manik hitamnya yang tajam menatap telak ke arah wanita yang masih diam di meja makan.

"Oh iya, Gamma lupa. Mama tidak menyukai anak dari pria bernama Dandi, iya kan?"cecar laki-laki itu.

Braaak

Gamma tersungkur, kepalanya mengenai sudut anak tangga, membuat darah segar menetes di lantai tangga paling bawah. Ia masih berusaha berdiri dan pergi meninggalkan kedua orang yang katanya orang tuanya.

"Manusia bejat lo!"umpat Gamma sebelum menghilang di balik pintu yang kemudian ia banting.

Gamma kalap, ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Tak peduli ia sedang berada di keramaian, sekalian saja ia kecelakaan biar Papanya kembali padanya dan menyayanginya, mungkin itu yang ada dalam benaknya.

Motor yang cowok itu kendarai berhenti di sebuah rumah megah. Ia segera saja masuk tanpa harus permisi.

"Fa, gue mau nginep sini dulu ya Fa!"teriaknya begitu sampai di ruang tamu. Yang dipanggil tiba-tiba saja muncul dari arah dapur.

"Wah, kena KDRT lagi ya lu? Bisa gegar otak lu lama-lama ya tinggal sama bokap lu. Haha," ucap Alfa seraya meminum soft drink yang baru ia ambil dari dapur.

"Lo ya, udah berapa kali gue bilangin. Dia itu bukan bokap gue. Jijik dah gue!"ujar Gamma sambil merebahkan punggungnya di sofa ruang tamu Alfa seraya menarik beberapa lembar tisu lalu membersihkan darah yang ada di sudut bibir dan dahinya.

"Nyokap lo mana?"

"Arisan, baru aja berangkat. Udah sana lo ke kamar, gue ambilin air sama handuk dulu. Apaan pake tisu, darah hampir kering gitu juga."

Gamma menurut. Ia mengambil ranselnya dan segera ke kamar Alfa yang ada di lantai dua. Sesampainya. Ia langsung duduk di bawah bersender ke ranjang Alfa.

"Nih, bersiin tuh luka. Udah kayak orang tawuran aja lu." Gamma lagi-lagi menurut, mengambil handuk lalu membasahinya dan membersihkan lukanya.

"Cewek itu udah tau kalo gue mau bales dendam sama dia,"

"Terus kenapa?"

"Ya nggak, mana dia kesel banget kayaknya ke gue,"

"Ya jelas kesel lah bego! Jelas-jelas dia tau kalo lo mau balas dendam. Nah loh, kenapa lo takut kalo dia kesel sama lo?"

"Ya nggak. Udah ah, apaan sih lo!"

"Dih kan, udah gue bilangin, dia tuh cakep. Ujung-ujungnya nanti lo juga kepincut tuh!"

"Diem lo!"

"Fa, kok darahnya gak berenti-berenti ya?" Alfa hanya meliriknya, dari tadi yang ia lihat memang hampir separuh wajah Gamma terlumuri darah dari dahinya yang luka.

"Lah iya, coba gue liat," Alfa memperhatikan luka yang ada di dahi Gamma. Cukup lebar dan cukup dalam. Entahlah, dia juga tak tau karena lukanya di kepala.

"Lo gak pusing-pusing gitu?"

"Dikit sih,"

"Yaudah ayo gue anter ke rumah sakit, gue ambil mobil dulu."

"Emang harus ya dibawa ke rs? Gue lagi males nih. Pen tiduran doang,"

"Gue gak mau denger penolakan, lu cepet tunggu luar. Gue ambil mobil dulu. Tuh, darahnya aja belum berenti dah kayak gerimis aja.

.

.

.

.

.

Yeay, up