webnovel

Part 1

#SekuelBalasDendam

🌹🌹🌹

Piola Piolita gadis cantik yang bekerja di sebuah cafe terkenal, Tartino. Pio, semua orang memanggil nya. Pio berjalan menyusuri jalan yang ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang. Pio menatap langit yg cerah, seulas senyuman terukir jelas di wajahnya.

Kring ...

Dering ponsel Pio terdengar memekik gendang telinga. Segera Pio meraih benda pipi segi empat memanjang itu. Lalu ia tempelkan di dekat telinga.

"Pio, Lo di mana? Lo telat lagi?" Cecar Cansu. Ya, dia sahabat baik Pio.

Cansu? Dia tipe cewek bawel, judes tapi sebenarnya Cansu gadis yang baik hati dan cantik.

Pio sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. Aish, keluar sudah suara delapan oktav milik Cansu.

"Gak kok. Ini gue udah dijalan. Bentar lagi sampe." Sahut Pio.

"Ok. Cepatlah. Gue gak sanggup harus bilang apa lagi sama Nyonya Emil."

"Iya, bawel. Bilang aja gue otw." Balas Pio.

Cansu terkekeh. "Ok deh. Bye."

Pio menggeleng kepalanya. Selalu saja, Cansu itu sahabat terepot di dunia. Pio memasukkan kembali ponselnya di tote bag. Lalu melangkah dan sedikit tergesa-gesa.

Namun belum beberapa meter Pio tertubruk sehingga ia terjungkal dan terduduk. Pio terpesona seketika melihat lelaki di depannya. Sangat berkarismatik.

Ada belasan orang di belakang lelaki itu. Bisa di tebak, mereka itu seorang Bodyguard.

"Punya mata di pake. Untung saya tidak celaka."

Deg!

Pedas. Waw. Baru kali ini di jumpa lelaki tampan namun judes. Ah, bukannya, judes itu indentik dengan wanita?

"Sorry. Gue gak sengaja," ucap Pio. Lalu berdiri kembali sambil menepuk kedua tangannya karena kotor.

Lelaki itu membuka kaca matanya. Terlihat sorot tajam bak mata elang. Pio terpaku seketika.

"Leon Leonardo ...."

Ya, Pio tau lelaki di depannya. Siapa sih yang tak tau dengan Leon Leonardo si lelaki kaya raya pengusaha muda nan sukses. Ah, Pio tau karena ia melihat berita yang viral tentang si Leon.

Ck. Dan dia ... Dia penghancur kehidupan.

"Berlututlah." Leon menatap Pio dengan lekat. Mulut Pio terbuka sempurna. Tak salah dengar kah? Berlutut?

PLAK!

Sebuah tamparan panas di layangkan Pio tepat mengenai sudut bibir Leon. Ini dia si penghancur. Leon terkejut bukan main. Perih.

"Gue gak sudi. Enak saja!" Bentak Pio.

Leon sedikit meringis. Lalu menatap Pio lagi dengan tajam. Merasa tak enak hati, Pio memutuskan untuk pergi. Namun di cekal. Tangan Pio di genggam erat.

"Lepasin gue, Leon."

Pio mencoba meronta. Ah, sialnya, tenaganya tak sekuat Leon. "Kita butuh bicara berdua, Pio."

"Gak perlu dan gak guna." Pio menatap sengit Leon. "Lepasin gue atau gak."

"Gak, apa hah?" tanya Leon memotong ucapan Pio.

Pio tergagap. "Gue ... Gue bakal teriak." Jawab Pio.

"Silahkan," ucap Leon.

"Tolong!" Teriak Pio namun langsung di bekap tangan Leon. "Hump ... Hump ...." Suara Pio tertahankan lalu senyap.

Pio pingsan.

🌹🌹🌹

Pusing amat terasa sekali. Pio memegang keningnya. Pandangan Pio memutar ke segala sudut. Kamar siapa ini?

Besar dan mewah.

"Ini bukan kos gue deh," ucap Pio lemah. Pio mencoba turun dari ranjang lalu berjalan mendekati pintu keluar. Pio mencoba membuka nya namun di kunci.

"Sial!" Umpat Pio.

Pio menempel telinganya didekat pintu. Suara hentakan sepatu terdengar jelas. Hal itu membuat Pio berlari naik ke ranjang dan berpura-pura tidur.

Ceklek ...

Pintu terbuka. Irama detak jantung Pio tak beraturan. Takut.

Tap ... Tap ... Tap ...

Langkah kaki seseorang terdengar semangkin mendekat. Biar di tebak, itu pasti Leon.

Tangan Leon terulur bermaksud mengelus wajah mulus Pio. Sontak Pio kaget dan mejauhkan diri dari Leon.

"Lo udah sadar?"

Pio beringsut turun dari ranjang. "Gak usah nanya-nanya." sahut Pio. "Gue dimana sih?" Tanya Pio sinis.

Leon berdehem. Sebenarnya ingin Leon tertawa melihat tingkah Pio.

"Pake nyengir segala. Lo ngapain lagi sih. Pake hadir di hidup gue."

Pio menatap kesal Leon.

"Hidup gue udah tenang tanpa lo." Sambung Pio.

Leon berjalan mendekati Pio sehingga reflek Pio beringsut mundur. "Jangan dekati gue."

Tapi Leon terus saja mendekat. "Lo gak pernah berubah," ucap Leon. Detak jantung Pio berdetak semangkin tak karuan. "Lo milik gue sejak dulu dan sampai detik ini juga masih."

WHAT!

Bola mata Pio membulat. Sampai detik ini masih miliknya?

Haha ... Lucunya.

"Ck, menghayal lah sepuasmu, Leon." Pio tertawa renyah. "Sejak hari itu, lo bukan siapa-siapa buat gue. Dan lo, lo gak ada artinya di hidup gue." Sekejap Leon terdiam tapi masih menatap lekat manik mata Pio.

"Udah jelaskan?" Tanya Pio. "Sekarang. Waktunya gue pulang. Bye." Pio mendorong tubuh Leon lalu berjalan melewati Leon yang senyap.

Di ambang pintu. Setetes bulir air mata membasahi pelipis Pio. Pio mengigit bibir bawahnya agar isakan tangisnya tak pecah. Pio berlari menembus tiap sekat ruangan di rumah Leon. Tak butuh waktu lama, Pio sudah berada di luar pekarangan rumah Leon.

"Gue benci lo, Leon Leonardo."

🌹🌹🌹

PRANG!

Bunyi pecahan kaca terdengar di setiap sudut. Amara Leon terkuak. Pio, Pio hanya miliknya.

"Tunggulah, Piola Piolita."

***

Malam harinya, Pio berjalan dengan langkah gontai. Dua tahun lamanya, Pio mengobati rasa sakit hatinya. Dan hari ini, luka itu tersayat lagi. Masa kelam itu terbayang lagi di pikirannya. Susah payah ia lupakan malam kejadian itu. Tapi kini, Pio kembali hancur.

"Piola ...."

Suara familiar yang sangat Pio kenal. Rean?

"Hai," sapanya, dengan senyuman seperti biasa. Tampan.

"Lo disini ngapain? Kebetulan banget ya," ucap Pio. Rean menatap Pio dengan lekat.

"Lo nangis kenapa si cantik?" tanya Rean.

Ah, Rean tau semuanya tentang Pio. Pio tersenyum sambil menghapus jejak air matanya.. "Ah, elu nih. Barusan kelilipan." sahut Pio berbohong.

"Oh. Tapi gue gak percaya." Balas Rean. "Eh, tapi gak usah bahas lagi deh. Ini ada yang lebih penting."

"Apa?" Tanya Pio langsung. Aish, jiwa kekepoan ini terkuak.

Rean mengacak gemas rambut Pio. "Dasar ih, Miss kepo."

"Aduh ... Gak usah di berantakin, Rean." Pio menepis tangan Rean. "Udah ah, ngomong cepetan." Rean hanya tertawa.

"Gue suka lo."

DEG!

Seakan semuanya terhenti. Rean memeluk erat tubuh mungil Pio. Terasa sekali kasih sayang yang sebenarnya, ada di diri Rean bukan di Leon.

"Gue sayang lo, Pio. Please, berbagilah kesedihan lo sama gue. Gue tahu lo barusan bohongkan?"

Pio kembali menangis di dalam dekapan Rean. Nyaman yang Pio rasakan. "Gue gak pantes buat lo, An."

Rean melepaskan pelukannya. Lalu memegang kedua pipi Pio. "Kata siapa gak pantes, heh. Lo cewek dan gue cowok." Canda Rean.

PLAK!

Pio menampar lengan Rean. "Bisa-bisanya lo di saat kek gini bercandaan." Pio terkekeh.

"Ih, tapi yang gue ucap barusan beneran Piola ...." Rean memegang tangan Pio.

"Udah deh. Gak usah lebay." Pio menepis perasaannya yang mulai tubuh untuk Rean. Tapi Pio takut. Takut Rean akan menjauh jika tahu ia sudah tak ...

Argh!

Rasanya ingin Pio menjerit sekeras mungkin. Di sisi lain, tangan Leon mengepal dengan sorot penuh dendam. Siapa lelaki itu?

"Rory, selidiki lelaki itu," ucap Leon.

"Baik, Tuan."

🌹🌹🌹

Bersambung