Malamnya setelah pulang ke rumah, Vika mengirim chat. Kebetulan Diandra sudah tidur, karena kelelahan. Beberapa hari lembur ditambah tidur di rumah sakit yang tentu tidak nyaman.
[Bocah. Gimana kacamatanya? Pas nggak?]
Adel mendecak. Gadis itu masih saja memanggilnya bocah.
[Bagus, pas kok. Makasih, ya. Harusnya nggak perlu repot-repot begini]
[Nggak apa-apa. Anggap saja sebagai permintaan maafku. Oh ya, sebelum kamu dibawa ke rumah sakit, Sandra sempat mendekatiku. Dan ia kembali mengancam]
Vika mengirimkan sebuah foto kertas kecil berisikan tulisan, "Tidak ada ampun untuk seorang penyusup yang ingin tahu segala hal."
Adel terkejut. Jadi, Sandra memang tahu kalau mereka sudah memasuki rumahnya tanpa izin. Apa jangan-jangan saat itu ia memang berada di dalam rumah?
[Menurut Mbak Vika, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?]
[Kamu jangan pikirkan itu dulu. Fokus sama kesembuhanmu. Biar aku yang cari tahu soal gadis itu dan rumahnya yang aneh]
Sampai sini, Adel sedikit kesal. Ia yang awalnya memliki rencana mengintai Sandra, tapi malah diambil alih oleh Vika. Tapi mau bagaimana lagi, kalau sampai Diandra tahu rencana mereka, bisa-bisa Vika kena masalah.
[Baiklah. Kabari aku apapun yang Mbak ingin lakukan]
Esoknya, Diandra mengambil cuti 2 hari. Ia sengaja menghabiskan sisa cuti tahun kemarin sebelum memutuskan resign. Kemarin ia sudah mencari informasi tentang kios yang sedang di bangun di pasar kota, sebelah utara swalayan tempatnya bekerja. Harganya tidak terlalu mahal, dan letaknya strategis. Ia menimbang, uang tabungannya masih sisa jika digunakan untuk modal awal termasuk sewa kios tersebut.
"Mbak Sekar gimana? Udah masuk kerja?" Adel meminum susu dengan tangan kirinya.
"Katanya hari ini masuk. Mau makan apa?" Diandra bersiap belanja ke pasar. Ia sudah membuatkan susu dan roti bakar untuk Adel, namun kehabisan bahan masakan lain untuk makan siang.
"Sop daging sama telur dadar," ucap Adel semangat. Diandra mengangguk, lega melihat bocah itu sudah baik-baik saja.
"Kamu nggak apa-apa, kan, ditinggal sebentar? Pintunya mau tante kunci dari luar, takut kamu repot keluar kamar."
"Tenang aja." Adel mengacungkan jempol kirinya. Untunglah televisi dipindah ke ke kamar, jadi masih ada hiburan tanpa harus ke ruang tengah.
Sepeninggal Diandra, Adel menonton kartun negeri seberang yang tiap hari hanya diulang-ulang. Sebenarnya ia bosan, namun apa boleh buat. Luka di lututnya kaku dan perih jika untuk berjalan. Belum lagi tangan yang kanan harus digendong.
Diandra pulang jam 11, berbarengan dengan Vika yang datang membawa kelengkeng dan jeruk.
"Kok jam segini udah pulang? Bolos?" cetus Adel saat gadis itu meletakkan tasnya.
"Nggak. Ada guru yang meninggal, jadi kita pulang lebih awal," sahut Vika yang kemudian izin ke kamar mandi untuk cuci muka.
"Eh ... meninggal? Kenapa?" tanya Diandra dari arah dapur.
"Sudah waktunya pensiun, sih. Serangan jantung katanya."
Terdengar Diandra menggumam. Ia pun bergegas menyiangi sayuran dan merebus daging. Vika berniat membantu, namun ditolak.
"Temani Adel aja. Bosan dia di kamar terus," ucap Diandra.
"Mbak, mau kelengkengnya, dong. Kok tau aku suka kelengkeng? Jangan-jangan udah jadi stalker-ku nih," cibir Adel. Vika cemberut.
"Tuh ... temenmu yang ngasih tau. Dia nanti juga mau ke sini katanya."
Adel melakukan aktifitas hanya dengan tangan kiri. Cukup merepotkan, dan ia ingin segera sembuh agar bisa leluasa lagi.
"Hmm ... rencananya aku mau mencari Sandra lagi sore ini," bisik Vika.
"Di mana?"
"Di mana aja. Dia masih bebas berada di luar, artinya dia masih tinggal di rumah itu."
Adel mengangguk. Sayangnya ia tidak bisa ikut kali ini. Yah, semoga saja Vika berhasil. Ia ingin tahu alasan Sandra melakukan pembantaian terhadap kucing-kucing itu. Sekelam apakah hidupnya?
"Adel ... Vika. Makan dulu," seru Diandra dari arah dapur.
Adel beringsut, luka di kakinya terantuk pinggiran ranjang, membuatnya meringis menahan sakit.
"Sini, aku bantu." Vika mengulurkan tangan.
Di meja makan sudah terhidang sop panas, perkedel kentang, serta beberapa potong tempe goreng. Seteko es sirup melengkapi hidangan makan siang mereka.
"Wah, Mbak jago masak juga," decak Vika kagum.
"Cuma masakan rumah biasa mah, gampang. Ayo, dimakan," ajak Diandra menyiapkan piring.
"Bocah. Kamu bisa nggak makannya?" Vika menatap serius.
"Kalau nggak bisa, mau nyuapin?" sungut Adel.
Vika nyengir. "Nggak, sih," tukasnya.
Diandra mengambilkan nasi dan pelengkapnya untuk Adel. Diluar dugaan, bocah itu makan dengan santai menggunakan tangan kiri.
"Dia waktu kecil cenderung kidal. Tapi lama-lama bisa juga pakai tangan kanan. Nah, karena lagi luka begini, dia nggak kesulitan pakai tangan kiri," jelas Diandra.
Vika hanya membulatkan mulut, lalu lanjut menyantap masakan Diandra. Entah perut mereka yang lapar atau tidak pernah makan lebih dari dua orang begini, hidangan itu cepat tandas. Diandra tersenyum senang.
Saat membereskan meja makan, terdengar panggilan dari luar pagar. Sepertinya suara Zahra.
"Biar aku yang mencuci piringnya, Mbak," pinta Vika mengambil alih piring kotor di tangan Diandra.
Diandra segera keluar untuk membukakan pagar. Benar saja, gadis itu datang membawa bungkusan.
"Ini minyak kelapa dari Kakek Ahmad. Katanya biar luka cepat sembuh dan nggak berbekas," ulurnya.
"Oh, makasih Ra. Sampaikan juga ke Kakekmu, ya. Ayo, masuk. Ada Vika juga di dalam," ajak Diandra.
"Eh, Mbak-Mbak itu?" gumam Zahra.
Gadis itu langsung menuju kamar Adel setelah memarkirkan sepedanya. Diandra mengoleskan minyak kelapa pemberian Kakek Ahmad ke luka Adel.
"Nggak perih, kan?" tanya Zahra. Adel menggeleng.
"Aku kalau luka pasti pakai itu. Asli buatan Kakek. Luka jadi cepet sembuh dan nggak perih," ujar Zahra bangga.
Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol ringan. Vika pamit lebih dulu, katanya ada hal yang harus dikerjakan. Ia memberi kode ke Adel. Bocah itu langsung paham.
"Hati-hati," bisiknya sebelum Vika pergi.
"Beres ...."
Vika mengayuh sepeda dengan santai. Tujuannya keliling kota hingga area rumah Sandra. Ia berharap sore ini menemukan titik terang. Setidaknya bisa menangkap Sandra dan menginterogasinya.
***