"Hanin! cepat kamu jual kue-kue ini! kamu sudah selesai mencuci semua pakaian kita kan?" tanya Dina dengan nada keras sambil meletakkan nampan yang berisi jajanan di atas meja.
"Baru selesai Bu," jawab Hanin dengan tubuhnya yang masih berkeringat dan merasa lelah.
"Jangan bermanja-manja lagi Hanin, kita harus kerja keras mulai sekarang. Kamu tahu harta ayahmu sudah mulai habis, kamu tidak akan bisa makan dan sekolah kalau kamu tidak bekerja," ucap Dina dengan tatapan dingin.
"Tapi Bu, bukankah Ayah sudah memberikan tabungan untuk sekolahku?" sahut Hanin seperti yang di dengarnya sendiri sebelum Ayahnya meninggal.
"Kamu masih membantah ucapanku Hanin? uang tabungan kamu sudah habis untuk kebutuhan sehari-hari!!" teriak Dina sambil melayangkan tangannya ke wajah Hanin.
Hanin memegang pipinya dengan airmata mengalir, sungguh dia hanya berkata yang sebenarnya. Kenapa Ibunya begitu sangat marah padanya.
"Jangan mengeluarkan airmata yang tidak berguna itu! cepat kamu jual kue-kue ini sampai habis, jangan pulang kalau masih ada sisa!" ucap Dina sambil meletakkan gelas dengan keras di atas meja.
Dengan terisak-isak Hanin mengambil nampan jualannya.
"Haniiiin!" panggil Amelia yang barusan keluar dari kamarnya.
"Ada apa Mel?" tanya Hanin seraya mengusap airmata yang tersisa di kedua pipinya.
"Kalau pulang nanti, belikan aku bakso ya?" ucap Amelia dengan nada memerintah.
Tanpa menjawab pertanyaan Amelia, Hanin mengangkat nampan jualannya. Belum lagi Hanin mengangkat nampannya sebuah gelas sudah mengenai dadanya.
"PYAARR!!"
Pecahan gelas berserakan di lantai.
"Apa yang kamu lakukan Amel? apa salahku padamu?" tanya Hanin sambil memegang dadanya yang terasa sakit akibat lemparan gelas Amelia.
"Masih bertanya kamu salahnya apa?! siapa suruh kamu tuli tidak menjawab ucapanku!" teriak Amelia dengan mata setengah melotot.
"Aku tidak menjawab pertanyaanmu karena aku sudah mengerti Mel." Jawab Hanin sambil menahan airmatanya agar tidak menetes lagi.
"PLAKK!!"
Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Hanin yang sudah memerah akibat tamparan Dina sebelumnya.
"Aku paling tidak suka jika aku bertanya tidak ada yang menjawabku!!" ucap Amelia seraya menarik rambut Hanin dengan keras.
"Ya Mel, tidak akan aku ulangi lagi," ucap Hanin dengan airmata yang mengalir.
"Cepat bersihkan pecahan gelas itu! dan ingat jangan lupa dengan pesananku!" ucap Amelia dengan suara penuh tekanan, kemudian masuk ke dalam kamarnya.
"Ya Tuhan, beri aku kekuatan untuk bisa melalui ini semuanya." rintih Hanin dalam hati sambil membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai.
Setelah selesai membersihkan lantai, dengan tubuh yang terasa sakit semua Hanin kembali mengangkat nampan jualannya untuk di jual keliling kampung di Desanya.
Sambil mengusap pipinya yang terasa sakit Hanin berjalan ke pintu keluar. Di luar pintu hampir saja Hanin bertabrakan dengan Jonathan anak pertama dari Dina.
"Kamu mau jualan Han? di luar sudah mendung kamu bisa kehujanan," ucap Jonathan yang baru datang dari main sepak bola.
"Aku harus menjual habis kue-kue ini Jo," Jawab Hanin tanpa menatap wajah Jonathan.
"Sudah! kamu di rumah saja, kita akan makan sendiri saja kuenya," ucap Jonathan sambil mengambil alih nampan yang di bawa Hanin, tapi Hanin dengan kuat menahannya.
"Jangan lakukan ini lagi Jo, semakin kamu membelaku hukuman semakin berat untukku. Pergilah jangan halangi aku, ini sudah tugasku tiap hari bukan?" ucap Hanin dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.
"Hanin, kamu menangis lagi? apalagi yang di lakukan mereka padamu?" tanya Jonathan dengan tatapan iba.
"Tidak ada, aku harus pergi sekarang dan jangan lagi menghalangiku atau aku akan marah padamu," ucap Hanin mengancam Jonathan yang selalu membela dirinya tiap kali dia mendapat hinaan dan siksaan.
"Aku temani ya Han?" tanya Jonathan yang tidak tega melihat penderitaan Hanin. Tapi apa daya dia tidak bisa melawan ibunya yang sudah lama menjanda dan hidup susah hingga Pak Iswan, Ayah Hanin menikahi Ibunya.
"Tidak Jo, jangan melibatkan diri lagi denganku. Atau kamu lebih senang aku mendapat hukuman lagi?" tanya Hanin dengan tatapan penuh luka.
"Baiklah Han, semoga kuenya habis ya? dan bawa payung ini, siapa tahu nanti hujan." ucap Jonathan memberikan payung pada Hanin dengan tatapan penuh menatap wajah Hanin.
"Terimakasih Jo." ucap Hanin menerima payung dari Jonathan kemudian berjalan keluar halaman tanpa melihat ke belakang lagi.
Dengan hati sedih dan tubuh yang lelah Hanin menjajakan kuenya dengan berteriak menawarkan jajanannya.
Sudah cukup jauh Hanin berjalan keliling kampungnya. Kuenya tinggal beberapa yang masih belum terjual.
Tiba di sebuah warung ada beberapa anak laki-laki yang terkenal nakal di kampungnya.
"Hanin! kemarilah! aku mau beli kuemu!" panggil salah satu anak itu yang bernama Sony.
Dengan ragu-ragu Hanin menghampiri anak-anak itu dengan hati penuh harap jualannya bisa habis terjual.
"Sini bawa kuemu kemari," ucap Sony dengan tersenyum menggoda.
Dengan terpaksa Hanin masuk ke dalam warung yang ternyata kosong tidak ada penjualnya.
"Tinggal berapa kuenya? aku borong semuanya," ucap Sony sambil mengeluarkan uang lima puluh ribu.
"Apa kuenya di bungkus atau kalian makan langsung?" tanya Hanin dengan perasaan takut.
"Terimalah uangnya dulu, setelah itu suapi kita," ucap Sony dengan tatapan yang nakal.
"Apa maksudmu?" tanya Hanin dengan tatapan yang rumit dan rasa takut yang sudah menyelimuti hatinya.
"Sudah kamu jangan jual mahal Hanin, kamu membutuhkan uang ini bukan? cepat suapi kita setelah itu kamu bisa pergi," ucap Sony dengan tatapan mengejek.
"Kalian sungguh tidak waras, bilang saja kalau kalian tidak membeli kueku!" ucap Hanin seraya menata kuenya kembali dan berniat mengangkat nampannya, namun tangan Sony dengan kuatnya menahan pergelangan tangannya.
"Kamu tidak bisa pergi begitu saja Hanin! kamu sudah berani menolakku jadi kamu harus menanggung akibatnya," ucap Sony dengan kilat kemarahan di wajahnya.
"Lepaskan aku, biarkan aku pergi! aku tidak mau berurusan dengan kalian!" teriak Hanin sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Sony.
"Sudah aku katakan, kamu tidak bisa pergi begitu saja Hanin," ucap Sony dengan suara penuh tekanan.
"Lepaskan aku! aku mohon biarkan aku pergi!" ratap Hanin dengan airmata yang sudah mengalir deras.
"Lepaskan dia Sony!" teriak seorang anak laki-laki di atas sepedanya dengan wajah penuh amarah.
Mengetahui yang berteriak adalah Rafka seorang anak yang juga di takuti di desanya Sony segera melepas cengkeramannya.
Dengan cepat Hanin mengambil nampan jualannya kemudian menjauh dari Sony dan berlari kearah Rafka yang berteriak keras pada Sony dan teman-temannya.
"Kamu tidak kenapa-kenapa kan Han?" tanya Rafka dengan tatapan penuh menatap wajah Hanin.
"Aku tidak kenapa-kenapa, sebaiknya ayo kita pergi sebelum mereka menyerangmu." ucap Hanin wajah yang pucat.
"Aku tidak takut sama mereka, kamu tenang saja." ucap Rafka dengan sangat tenangnya.
"Dengar Sony! Hanin adalah pacarku! jadi jangan sekali-kali kalian mengganggu Hanin atau kalian akan melihat kemarahanku," ucap Rafka dengan tatapannya yang tajam, yang sanggup menjatuhkan nyali Sony dan teman-temannya.
"Ayo naik Han," ucap Rafka pada Hanin untuk naik di sepedanya.