webnovel

BLUE & GOLDEN HOUR

#Fantasi supernatural #Horor #Romance #Action #Adventure Novel ini berkisah tentang kemampuan supernatural para tokoh yang lahir di tanah negeri Adogema yang menjadi kunci untuk menghancurkan kutukan Iblis Adograz. Dua tokoh utama, Pangeran Hogan dan Donela dari kerajaan Sondan diberkati dengan kekuatan supernatural istimewa. Mereka berdua menjadi titisan kekuatan “waktu biru dan keemasan” cahaya fajar ataupun senja dari pusaka yang dimiliki oleh Noggoa, naga raksasa yang mendiami tanah Adogema. Pangeran Hogan lebih memilih merahasiakan kemampuan supernaturalnya demi kenyamanan hidup sedangkan Donela terlanjur menjadi pusat perhatian seluruh penduduk karena kemampuan supernaturalnya terlibat dalam peristiwa-peristiwa kematian misterius penduduk hingga ia dianggap iblis pembunuh yang terkutuk. Namun, perbedaan tak menghalangi mereka untuk jatuh cinta. Ketulusan Donela dan empati Pangeran Hogan membuat mereka saling jatuh cinta. Sejak Donela dihukum untuk mengasingkan diri. Kutukan Iblis Adograz semakin menjadi-jadi. Donela menjadi orang paling diinginkan untuk dibunuh agar kutukan hilang. Bagaimana Pangeran Hogan menghancurkan kutukan itu demi menyelamatkan negerinya dan Bagaimana kisah cinta Pangeran Hogan dan Donela? Semuanya terungkap dalam novel ini. *Kesatria super *Iblis Adograz *Penyihir hitam *Gadis terkutuk *Tongkat Noggoa *Naga Raksasa Noggoa *Warong raksasa *Pasukan Iblis *Manusia serigala *Siluman-siluman *Roh-roh suci *Danau dua warna *Perang antar negeri *Kutukan

Asmaraloka · ファンタジー
レビュー数が足りません
25 Chs

Chapter 14: Danau Dua Warna

"Ha ha ha ha ha!" tawa Donela menggema dengan suara menyeramkan.

Ia terbang melayang di atap kapal. Matanya merah menyala. Badannya dipenuhi rambut-rambut oranye, mengingatkan pada rambut kelelawar. Donela begitu menyeramkan. Awan gelap yang menutup sinar matahari menambah suasana seram semakin suram dan menegangkan.

"Donela!" seru Zelea memanggil Donela.

Donela berhenti tertawa lalu melirik ibunya yang masih menangis. Air matanya tak bisa dibendung karena melihat anaknya begini.

"Kenapa kamu melakukannya, Donela?" tanya Zelea menyayangkan kejadian mengerikan yang masih dilihatnya ini.

"Aku haus darah segar manusia. Manusia yang lahir di Tanah Adogema hanya menjadi tumbal untuk iblis! Akan ku hancurkan seluruh manusia di Tanah Adogema dengan kutukan! Ha ha ha ha ha!" teriak Donela menjawab pertanyaan Zelea dengan suara seramnya.

Mata merah menyala dengan gigi-gigi lancip bertaring panjang yang masih ada bercak darah Penasihat Yizab menjadikannya tampak sadis.

"Kenapa harus Penasihat Yizab?" tanya Lorega lantang. Ia menunjuk mayat Penasihat Yizab di samping dirinya.

Donela menoleh ke arah Lorega. Matanya galak.

"Aku ingin menghabisi penghuni istana, itulah kutukan!" tegas Donela.

Zelea masih berair mata dalam kepedihan. Ia tak mampu mengingkari kenyataan yang terjadi. Donela, anaknya memang iblis pembunuh yang terkutuk. Ia membenarkan sangkaan semua orang tentang Donela. Hal yang membuat Zelea menangis pedih adalah ia tak mampu mengubah takdir buruk menjadi baik. Ia tak mampu menghentikan kematian. Ia tak mampu menghentikan kutukan iblis. Bahkan yang lebih menyayat hati, ia tak mampu menolong anak gadisnya itu dari ujaran kebencian semua orang. Semua rencana baiknya menjadi sia-sia. Ia merasa harapan telah meninggalkan dirinya. Ia hanya bisa pasrah dengan keadaan dan apa yang akan terjadi kepada Donela.

"Aku berterima kasih kepadamu Zelea telah memberi petunjuk keberadaan Penasihat Yizab!" ujar Donela.

Ha ha ha ha ha!" tawanya kembali menggema dengan sangat menyeramkan.

Zelea dan Lorega terkejut mendengar ucapannya itu. Lorega melirik Zelea dengan tatapan sinis. Zelea merasa ada hal yang aneh karena ia tak pernah memberitahu kepada Donela tentang misinya ini. Ia menjadi naik pitam.

"Kamu bukan Donela yang aku kenal!" teriak Zelea tegas penuh energi.

Zelea mengeluarkan pusaka "Genta" berupa lonceng kecil pemberian Pertapa Sakti. Ia menggoyangkannya hingga mengeluarkan bunyi yang beresonansi sangat kuat memekakkan telinga. Resonansi bunyi itu membuat energi positif di udara berputar dan menjadi energi penghancur yang hebat. Lorega menjadi kelimpungan mendengar suara Genta begitu pun penjaga kapal yang terkapar, masih tersadar di lantai kapal. Donela menjerit dan jatuh ke lantai kapal. Ia segera terduduk dalam kondisi tubuh yang telah kembali normal seperti manusia biasa. Ia tertunduk dan menangis tersedu-sedu.

"Donela ....," panggil Zelea lirih.

Donela melirik ke arah ibunya.

"Aku tak mau ibu. Tolonglah aku!" ujar Donela lirih penuh penyesalan dalam tangisnya.

Seluruh tubuh Donela sedikit demi sedikit menjadi transparan lalu menghilang.

"Donela!" teriak Zelea berlari mendekati tempat Donela terduduk.

Lorega melihatnya dengan bergidig. Ia masih berusaha memahami apa yang terjadi dan mencoba menyimpulkannya.

Awan hitam sedikit demi sedikit buyar dan menghilang, menampakkan wajah mentari yang kini telah mendekati ufuk barat.

Donela melirik ke arah laut yang kini telah mendekati Pantai Coseas. Kapal layar ini akan segera sampai di Negeri Sondan.

"Apakah benar anda terlibat dalam perencanaan pembunuhan ini, Mata-mata Zelea?" tanya Lorega sedikit menuduh dan lebih banyak meminta jawaban pembenaran.

Zelea menoleh ke arah Lorega yang berada di belakangnya. Ia hanya bungkam, tak menjawab pertanyaan dari Lorega.

Sementara itu, Pangeran Hogan dan Donela menepati janjinya untuk menemani Putri Yemitt ke Danau Dua Warna sore ini. Mereka meninggalkan gerbang istana menuju Bandar Kapal yang dibangun di sisian Danau Dua Warna dan alun-alun kerajaan. Bandar tempat lalu lalang penghuni istana untuk pergi tugas berlayar, untuk perdagangan istana maupun untuk lalu lalang dan perdagangan warga Kota Sondan.

Danau Dua Warna sangat unik karena warna air danau memiliki dua warna yang kontras berbeda, biru langit dan keemasan yang jernih membelah danau membujur dari timur ke barat. Air biru langit di utara dan air keemasan di selatan danau dengan komposisi yang sama luasnya.

Istana dan warga Kerajaan Sondan menggantungkan hidup pada sumber air Danau Dua Warna.

Bias cahaya matahari memudahkan warga untuk dapat melihat ikan-ikan danau berbagai jenis, besar dan kecil dari permukaan air juga memudahkan untuk menangkapnya. Oleh karena keunikan dan keunggulannya ini, seluruh warga Sondan menganggap Danau Dua Warna adalah danau yang suci.

Selain itu, seluruh warga Sondan menganggap Danau Dua Warna sebagai danau yang mendatangkan keberkahan dan kemakmuran. Mereka menggunakan air Danau Dua Warna untuk berbagai keperluan seperti mengambil air bersih untuk air minum dan mandi. Mereka juga menggunakannya untuk menyirami lahan pertanian, perkebunan, dan memenuhi kebutuhan air untuk peternakan hingga mereka selalu mendapatkan hasilnya dengan melimpah.

Seluruh warga Sondan tak pernah kekurangan air karena Danau Dua Warna tak pernah mengering. Di setiap kemarau dan penghujan, air danau selalu terisi penuh oleh sumber-sumber mata air dari Bukit Naga yang mengitarinya.

Setiap mata yang melihat akan tersadar bahwa bukit itu tampak seperti naga raksasa yang tidur melengkungkan badan di selatan danau. Sayangnya, warga Sondan sangat sulit menaklukkan medan atap Bukit Naga yang dikenal sangat licin, berbatu, dipenuhi berbagai macam semak belukar yang berduri tajam dan beracun serta berbahaya bagi manusia yang menjelajahinya. Dari mulut Bukit Naga yang tampak menganga inilah, banyak sumber-sumber mata air yang mencucurkan air murni yang suci dan bersih dengan deras ke Danau Dua Warna.

Danau Dua Warna juga membentuk sungai yang mengalir dari tepi barat laut danau. Sungai ini bahkan sampai di lautan utara. Sungai ini begitu lebar dan setiap orang yang menyusuri sungai ini dari danau Dua Warna hingga ke pantai akan dimanjakan dengan air sungai yang jernih dengan bebatuan, ikan-ikan dan hewan-hewan yang terlihat dalam air juga pohon-pohon kelapa berjajaran dengan rapih dan indah menghiasai kanan dan kiri sungai.

Konon, Danau dan sungai ini oleh leluhur telah dinamakan dengan sebutan "Adogema" yang berarti Dua Warna. Danau dan Sungai Dua Warna, Adogema memang sangatlah memesona. Itulah mengapa tanah ini disebut dengan Tanah Negeri Adogema yang bermakna tanah suatu negeri yang ditempati manusia di sekitar Danau Dua Warna.

Pangeran Hogan, Donela dan Putri Yemitt telah berada di Bandar kapal. Banyak warga yang beraktivitas di sana melirik ke arah mereka dan menyapa Pangeran Hogan dan Putri Yemitt dengan sopan dan hormat. Perlakuan warga kepada Pangeran Hogan dan Putri Yemitt sangat berbeda bila dibandingkan dengan perlakuan mereka kepada Donela, bukan karena mereka anak raja tetapi karena alasan lain yang sangat merendahkan Donela dan itu telah terjadi kepada Donela sejak kecil. Semua mata selalu memandang sinis kepada Donela bahkan banyak diantara mereka yang geram melihat Donela.

"Iblis pembunuh yang terkutuk! Sedang apa kamu kemari?"

"Lihatlah, beraninya ia kemari bersama Pangeran dan Putri Raja!"

"Aku ingin sekali membunuh iblis itu!"

Warga bercakap-cakap tentang Donela. Percakapan demi percakapan warga di sana membuat telinga Donela kepanasan. Ia berlari menjauh ke arah ujung timur dermaga bandar yang agak sepi.

Ia menatap Danau Dua Warna dengan sedih berusaha menenangkan diri. Pangeran Hogan dan Putri Yemitt yang melihatnya buru-buru berlari menyusul. Tiba-tiba tangan keduanya ada yang memegang dan membuat keduanya harus berhenti bergerak.

"Pangeran Hogan, anda tak perlu bersama gadis itu. Gadis itu sangat berbahaya!"

"Putri Yemitt, kembalilah ke istana. Gadis itu bukan teman yang baik!"

"Jangan dekati Iblis itu. Ia akan membunuhmu, Pangeran Hogan!"

"Aku mohon Pangeran dan Putri Yemitt tidak bersama iblis itu. Pangeran adalah calon Putra Mahkota, kelak akan menjadi Raja kami. Kami tak sudi jika gadis itu mencelakai Pangeran dan Putri."

Ucapan-ucapan warga yang cenderung melarang dan memohon begitu ramai di telinga Pangeran Hogan dan Putri Yemitt. Benar memang apa yang dikatakan oleh mereka tetapi mereka tidak paham bagaimana perlakuan baik Donela kepada Pangeran Hogan dan Putri Yemitt.

"Terima kasih telah memberi tahu kami tetapi aku harus menepati janjiku kepadanya sore ini. Kesatria tak boleh ingkar janji, bukan! Tenanglah, aku dan Putri Yemitt akan baik-baik saja!" ujar Pangeran Hogan lirih.

"Paman, bolehkah aku meminjam perahu yang ada di ujung sana?" pinta Putri Yemitt berharap diperbolehkan. Ia menunjuk perahu cadik kecil paling ujung timur di dermaga bandar.

"Itu ... anu Tuan Putri ....!" jawab pria jangkung kurus itu tak jelas.

"Ayolah paman, boleh kan ....?" rengek Putri Yemitt memaksa.

"Ayolah Paman, Putri Yemitt meminta ...." bisik Pengeran Hogan kepada pria itu.

"Oh, hmm ... anu ... hmm, boleh ....! jawab pria itu ragu-ragu.

"Terima kasih, Paman!" keduanya berterima kasih.

Pangeran Hogan dan Putri Yemitt segera ke ujung timur dermaga kapal menyusul Donela yang masih menatap Danau Dua Warna dengan sedih. Semua orang melihatnya dengan ngeri termasuk Paman Jangkung. Ia menyalahkan dirinya karena telah meminjamkan perahu kecil itu kepada Pageran Hogan dan Putri Yemitt.

"Oh, Langit! apa yang harus aku lakukan!" seru Paman jangkung kurus menyesal.

"kenapa kamu membolehkan perahuku dipinjam, ini berbahaya!" seru Pak tua berjanggut putih panjang.

"Ayolah ikut aku melapor pada penjaga bandar!" ajak pria berbadan gempal menarik tangan paman jangkung.

Sementara itu, Pangeran Hogan dan Putri Yemitt telah berada di samping Donela.

"Donela ....!" panggil Putri Yemitt sembari memegang tangan kanannya.

Ia berdiri di samping kanan Donela. Pangeran Hogan ikut berdiri di samping kiri Donela.

****

Bersambung ....