Eunhye tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria yang menolongnya beberapa hari lalu dari aksi mesum yang dilakukan didalam Lift. Eunhye yang niat awal, akan ke rumah sakit untuk meminta resep obat ibunya malah bertemu Jaemin di koridor. Pria itu di temani seorang anak perempuan yang tidak Eunhye kenal. Beruntung, Jaemin masih mengingatnya.
Di sinilah ketiganya berada, Cafe yang tidak terlalu jauh dari Rumah sakit tempat Jaemin bekerja. Eunhye yang meminta, katanya ini sebagai ucapan terima kasihnya waktu itu. Jaemin dengan senang hati menerimanya, lantaran jadwalnya tidak ada selama 3 jam kedepan.
Pesanan mereka datang, Eunhye tersenyum pada waitress lalu menyuguhkan secangkir kopi pada Jaemin. Jaemin mengambilnya. Eunhye juga memesankan ice cream rasa strawberry untuk Yena, gadis kecil yang dibawa Jaemin.
"Cah, ini untukmu Yena-ya. Makan dengan pelan ya," ucap Eunhye. Yena mengangguk senang, kemudian menyendokkan sedikit ice cream ke mulutnya.
"Terima kasih, kakak."
Jaemin hanya tersenyum kecil melihat Yena yang memakan Ice cream dengan lahap. Ia mengusap kepala Yena yang tertutupi Binnie warna putih.
"Sepertinya kau sangat menyanyangi Yena, Jaemin-ssi?" ujar Eunhye.
Jaemin mengalihkan pandangannya ke Eunhye, lalu mengangguk pelan seraya membantu Yena membersihkan noda ice cream yang mengotori pipinya. Eunhye tersenyum hangat. Jaemin pria yang baik,
"Tentu saja. Yena sudah seperti anakku sendiri."
"....ah ya, apa yang kau lakukan di sini Eunhye-ssi? apa kau sakit?" tanya Jaemin.
"Aniyo. Aku meminta tebusan resep obat ibuku pada Dokter Jang. Jadi, Jaemin-ssi bekerja sebagai dokter apa disini?" Eunhye mencoba berbasa-basi pada Jaemin. Atau sekedar ingin tau pekerjaan pria yang di sukainya, sejak di lift.
"Aku dokter anak. Tugasku disini, untuk membuat mereka cepat sembuh dari penyakit mematikan. Termasuk Yena, dia pasienku yang baru masuk rumah sakit 2 tahun yang lalu." ucap Jaemin dengan sendu.
Eunhye menatap Yena dengan pandangan kasihan. Ia yakin, kepala gadis kecil itu sudah botak karena menjalani kemoterapi.
"Aku berdoa, semoga dia cepat sembuh." ucap Eunhye.
Jaemin mengangguk mengiyakan.
"Yena mau lagi?" tawar Jaemin pada gadis kecil di sebelahnya. Yena menggeleng pelan, lalu ia beralih duduk di pangkuan Jaemin dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang pria itu.
Eunhye dan Jaemin saling pandang, khawatir melihat tingkah Yena.
"Yena, ada apa? kepalamu sakit? katakan pada paman?" tanya Jaemin dengan nada khawatir. Ia mengusap-usap kepala gadis kecil itu. Bahkan Eunhye beranjak dari kursinya dan ikut menanyakan keadaan gadis kecil itu.
"Lebih baik bawa dia ke rumah sakit sekarang. Mungkin kepalanya sakit, tapi dia tidak mau mengatakannya." seru Eunhye.
Jaemin langsung berdiri, dan menggendong Yena.
"Yena ngantuk paman dokter. Bisa panggilkan orang tua Yena tidak, paman dokter? Yena rindu sekali dengan mereka." lirih Yena dengan mata terpejam.
Jaemin memeluk Yena dengan erat, ia seketika merasakan hal aneh pada Yena. Tidak biasanya Yena seperti ini padanya. Yena bahkan jarang mengatakan rindu pada orang tuanya yang terlampau acuh itu.
Eunhye menepuk bahu Jaemin pelan, memberi kode agar pria itu membawa Yena ke rumah sakit.
"Maaf Eunhye-ssi, aku harus kembali ke rumah sakit. Maaf tidak bisa mengobrol denganmu lebih lama."
Eunhye tersenyum. "Tidak apa-apa. Yena lebih penting, ayo cepat bawa dia. Aku khawatir dengannya."
Jaemin mengangguk, lalu bergegas pergi dari cafe.
"Jaemin, entah kenapa aku mulai menyukainya. Dia pria yang berbeda."
Eunhye menatap punggung Jaemin yang mulai menjauh dari balik pintu cafe.
***
"Yeobo, aku akan ke Hongkong selama seminggu. Ibu sedang sakit, ayah tidak bisa menemaninya karena beliau pergi ke Singapore siang ini." Ucap nyonya Ahn - Youngae - sambil menyiapkan makan siang suaminya di kantor.
Byungchul, Tuan Ahn yang sedang memeriksa beberapa tugas karyawannya menoleh sebentar pada sang istri. Lalu bertanya,
"Kapan berangkat? bukankah disana masih ada adikmu yang bisa merawat ibumu?"
Youngae melangkah menuju meja suaminya, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan suaminya.
"Daeyoung ikut ayah untuk membantu perusahaannya mendapatkan saham di Singapore. Bahkan anak dan istrinya pulang sementara ke kampung halamannya, ada beberapa masalah disana katanya." jelas Youngae, berharap dapat izin dari suaminya.
Byungchul terdiam sejenak. Di satu sisi ia senang dapat kebebasan karena sang istri sedang tidak ada di rumah, namun di sisi lain ia tidak bisa mengurus diri sendiri tanpa istrinya. Menyiapkan segala keperluannya.
"Baiklah. Seminggu kan?"
Youngae tersenyum senang. "Iya, nanti malam aku berangkat."
"Mau aku antar?"
Youngae menggeleng. "Tidak perlu. Aku akan minta tolong pada Pak Lee saja nanti."
Byungchul mengangguk, lalu berdiri dari kursi kebesarannya. Ia duduk di sofa dan mulai memakan masakkan istrinya dengan lahap.
"Masakanmu selalu enak di lidahku yeobo,"
***
Nayoung berjalan tergesa-gesa menuju parkiran mobilnya. Ia mendapat telpon dari asistennya di studio seni miliknya, bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya sekarang.
Rencananya hari ini Nayoung ingin pergi ke rumah kakeknya, untuk menemui sang ayah karena ulah adiknya di sekolah. Biasanya Nayoung yang datang ke sekolah, jika adiknya berulah lagi. Namun kali ini, ayah mereka yang harus datang tapi itu tidak mungkin sekali mengingat ayahnya terlalu menyibukan diri sehingga mengabaikan Sobin yang masih membutuhkannya. Beruntung, ada sekretaris kepercayaan ayahnya yang bersedia menggantikan ayahnya untuk datang ke sekolah.
Mudah-mudahan saja, pihak sekolah memberi keringanan lagi pada sang adik. Ini sudah hampir 3 hari adiknya di usir keluar kelas, karena ayah mereka belum juga datang.
"Sora-yya, bilang padanya aku akan datang 15 menit lagi." ucap Nayoung pada Sora lewat ponselnya. Setelah mendapat jawaban dari sana, barulah Nayoung menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas.
Mobilnya perlahan melaju membelah jalanan Seoul. Setelah hampir 20 menit terjebak macet, karena ada kecelakaan lalu lintas, Nayoung akhirnya tiba di depan studionya. Ia keluar, tak lupa mengambil sekotak makanan yang sempat ia masak di rumah tadi.
Wanita 30 an itu membuka pintu kaca studionya, dan langsung di sambut oleh beberapa lukisan Indah hasil karyanya di berbagai sudut ruangan. Ia berjalan ke ruang tunggu.
"Maaf, sudah membuatmu menunggu nona." Ucap Nayoung sambil tersenyum pada gadis muda yang tengah duduk sambil melihat ke sekeliling ruangan. Gadis muda itu tersentak kaget, lalu berdiri sembari membungkukkan badannya.
"Selamat siang Nona Ahn. Maaf, sudah lancang duduk di sofa mahalmu." Ucapnya pelan.
"Tidak apa-apa, duduklah kembali." Nayoung menyuruhnya duduk kembali, sedangkan ia melangkah ke sofa sebrang gadis itu. Duduk berhadapan.
"Jadi, kau yang bernama Bae Jaein? yang mendapat tempat pertama di kontes melukis yang aku selenggarakan," tanya Nayoung dengan ramah.
"i-iya Nona Ahn."
"Bukankah, aku menyuruhmu datang setelah kau lulus SMA? agar kau bisa sekalian kuliah disini."
Gadis bernama Jaein itu, menggaruk kepalanya dengan canggung.
"ah itu, a-aku sengaja datang ke Seoul untuk pindah sekolah. Lagipula aku setahun lagi lulus, jadi ya sekalian saja aku kesini untuk belajar banyak darimu nona Ahn. Untuk masalah pindah sekolahku, aku bisa mengatasinya sendiri." jelasnya dengan ragu.
Nayoung mengangguk. "ah iya, kau sudah makan siang? kebetulan aku membawa makanan lebih ke sini. Kau mau?"
Jaein menggeleng sambil tersenyum manis. "Tidak usah, nona. Aku sudah makan di luar tadi."
"ah, baiklah. Lalu, kau akan tinggal dimana sekarang? Jika kau mau, kau boleh menginap di studioku, di sini ada satu kamar kosong yang sudah di tinggal asisten lamaku."
Gadis remaja itu sekali lagi menggeleng. "Aku punya kakak yang kerja di kota ini nona, mungkin aku akan tinggal bersamanya nanti."
"Ah, kau punya kakak. Kalau boleh tau, kakak mu kerja di mana? Laki-laki atau perempuan?" tanya Nayoung sembari memberikan segelas Es jeruk segar yang sudah di antarkan asistennya, ke hadapan Jaein. Cuaca di Seoul, sedang panas-panasnya sekarang karena sudah memasuki musim panas.
"Terima kasih nona. Kakakku bekerja di rumah sakit, tapi aku lupa nama rumah sakitnya apa. Makanya aku kesini dulu, pas aku meneleponnya untuk minta di jemput di terminal, nomornya sedang tidak aktif. Kakakku laki-laki, mungkin dia sesusia denganmu."
"ah, begitu. Ya sudah, kau istirahatlah dulu di kamar. Asistenku yang akan mengantarmu, satu lagi jangan panggil aku nona, panggil kakak saja. Oke?"
Jaein mengangguk mengerti. Tak lupa bibirnya membentuk sebuah senyuman manis.
Nayoung keluar setelah berbicara dengan Jaein. Sedangkan Jaein, menghembuskan nafasnya pelan. Ia sungguh gugup tadi.
Gadis remaja itu merogoh saku celana jeans nya. Berniat menelepon sang kakak, tapi tetap saja sama seperti tadi. Tidak aktif.
"Aku mengirim pesan sajalah."
"Ayo, nona Bae. Aku akan mengantarmu ke kamar yang di bilang Kak Nayoung." Sora masuk dan mengajak Jaein.
"Iya, kak Sora."
***
"Permisi, apa kau tau dimana Dokter Bae Jaemin?" tanya seorang gadis berpakaian modis tak lupa kaca mata hitamnya yang bertengger di hidung mancung nya.
Dua orang perawat di balik meja resepsionis rumah sakit saling berpandangan, heran.
"Maaf nona, anda siapa? Dokter Bae hari ini sangat sibuk, tidak bisa di ganggu." ucap salah satu perawat tersebut.
Gadis yang berdiri angkuh di depan mereka, segera menurunkan kaca mata hitamnya. Ia tersenyum remeh.
"Sibuk? kalian membohongiku? Lalu itu siapa?" tunjuknya pada seorang pria yang berdiri agak jauh darinya. Seketika dua perawat itu melihat ke arah tunjuk gadis tersebut. Mata mereka secara bersamaan membulat.
"matilah, kita." gumamnya.
"Kali ini aku maafkan. Jika kalian seperti ini lagi, aku akan menyuruh pemilik rumah sakit ini memecat kalian. Ingat! ah iya, aku Kim Chaerin Putri salah satu pemegang saham di sini, Kim Minjong."
Chaerin pergi dari sana sembari memakai kembali kaca mata hitamnya. Sementara dua perawat tadi, mematung dengan tubuh bergetar.
"Putri dokter Kim?"
"Habislah kita."
***
"Jaemin-ah?!" teriak Chaerin dari ujung koridor rumah sakit. Beberapa orang yang berlalu lalang di sana, menatap jengkel padanya. Chaerin hanya cuek, ia melambaikan tangannya pada Jaemin yang menatapnya tak percaya.
"K-kim Chaerin? Kenapa dia bisa disini? apa dia sudah kembali dari luar ngeri?" gumam Jaemin.
Chaerin berlari dengan riang, lalu menubruk tubuh tegap Jaemin yang akan di rengkuhnya.
"Jaemin-ah, aku merindukanmu."
Jaemin terdiam. Bahkan ia tidak membalas pelukan Chaerin. Chaerin melepaskan pelukannya, ia mendongakkan kepalanya menatap Jaemin.
Tolong hargai penulis!
Jika ada kesalahan dalam kalimat bacaannya, jangan sungkan untuk memberi komentar.