"Baiklah. Aku antar sampai rumahmu." Kemudian mereka meninggalkan kafe tersebut dan tak mempedulikan temannya yang masih menunggu mereka sejak tadi.
Selama perjalanan pun, mereka hampir sama sekali tak mengobrol. Gadis itu hanya bersuara jika menunjukkan belokan yang harus diikuti. Arya sendiri sebenarnya tak terlalu senang jika mengobrol saat ia sedang fokus mengendarai. Namun disisi lain, ia tak suka kecanggungan ini, berharap agar secepat mungkin sampai di rumah gadis itu.
Ketika sampai di rumahnya, gadis itu langsung turun dari motor, melepas helmnya. "Makasih, ya, udah dianterin sampai rumah."
Arya mengangguk. "Nggak masalah. Ternyata emang benar, rumah kita nggak jauh-jauh amat."
"Syukurlah kalo gitu…" Gadis itu menghela nafas lega, semua ketegangannya mendadak hilang, seakan ia merasa membebani Arya harus mengantar sampai rumahnya.
"Kalo gitu aku pulang…"
"Eh tunggu bentar," kata gadis itu seraya menganggukkan telapak tangannya. Spontan Arya langsung mematikan mesin motornya.
"Iya, kenapa?" tanya Arya spontan, suaranya terdengar sopan dan ramah.
"Aku lupa ngasih tau, kalo temanku besok juga berangkat bareng Zia."
"Ha? Kok gitu? Kenapa sekarang mereka lengket banget?" tanya Arya heboh.
"Aku juga nggak tahu, mungkin karena rumah mereka dekat."
"Ya kamu harusnya inisiatif tanya atau gimana. Masak cuma nurut aja sama perkataannya," kata Arya, suaranya tak seperti biasanya, sedikit bosan. Hal itu membuat gadis itu merasa tak nyaman dan akan mengganggunya.
"Kalo kamu nggak mau, nggak papa. Maaf udah ngrepotin kamu. Hati-hati di jalan." Gadis itu membalikkan badan menuju pagar rumahnya. Namun Arya reflek menarik tangan gadis itu, menahan langkahnya. Gadis itu kembali memandangnya, wajahnya terlihat menahan air mata.
"Aku nggak bilang aku nggak mau. Aku cuma penasaran aja kenapa kamu nggak tanya alasannya. Aku tahu kita semua udah bisa berkomunikasi tanpa canggung. Tapi apa kamu nggak penasaran kenapa mereka bisa sedekat itu? Kita semua baru saja bertemu tadi sekitar beberapa jam lalu.
"Biasa aja. Mungkin karena mereka sefrekuensi. Ya wajar aja kalo mereka langsung dekat gitu. Lagian menurutku Zia dan temanku punya jiwa sosial, kelihatan dari cara bicara mereka," kata gadis itu seakan ia paham tentang mereka berdua. Arya hanya mengusap mukanya, menyadarkan dirinya jika ia seharusnya tak terlalu kasar padanya.
"Oke, baiklah. Besok jam 5 pagi aku ke rumahmu. Aku nggak tak merasa terpaksa, kok," kata Arya perlahan melepaskan tangannya. Kemudian gadis itu mengangguk tanpa melihat wajah Arya, dan langsung masuk ke rumah tanpa mengatakan apapun.
"Gadis yang aneh," gumam Arya, menyalakan mesin motornya lagi, kembali ke rumahnya.
…
Keesokan harinya jam 4 pagi, Arya sedang tidur nyenyak di kamarnya. Tak ada tanda-tanda ia akan bangun dalam waktu dekat. Acara semalam membuatnya merasa kelelahan meski hanya sekedar bertemu dengan temannya. Namun rasa lelahnya muncul ketika Arya memikirkan teman kecilnya yang sekarang kemungkinan untuk bertemu dengannya sangatlah sulit, bahkan hampir mustahil. Terus terang, meski Arya tak tahu apakah Amelia masih mengingatnya atau tidak, tetapi ia selalu mengingatnya hampir setiap hari. Padahal saat mereka masih bersama, Arya tak pernah melihat Amelia sebagai seorang cewek. Yang penting, asal ia mempunyai teman dekat, itu merupakan suatu kebanggaan baginya.
Ditambah lagi, gadis semalam yang meminta Arya untuk menjemputnya, senang menempel dengan Arya. Entah karena atas kemauannya atau disuruh temannya agar temannya itu bisa menghabiskan waktu bersama Zia sepanjang hari. Arya memikirkan semua itu semalaman sampai jam 12 malam. Jika harus bangun pagi hanya karena ospek dimulai sebelum matahari terbit, Arya terpaksa bangun di waktu yang sangat tidak normal.
Saat ia masih berbaring nyenyak, tanpa mengetuk pintu kamar, ibunya langsung masuk dan membangunkan Arya.
"Yak, bangun. Kamu bilang ospek mulai jam setengah 6. Ini udah jam 5!" bentak sang ayah, ia baru ingat jika ibunya masih menginap di rumah tantenya.
Arya langsung mengangkat kepala beserta badannya, menengadahkan kepalanya, ia melihat jam dengan mata yang masih penuh belek. Dan perkataan ibunya benar, jam menunjukkan pukul 5 dan ia belum ada persiapan sama sekali. Di waktu yang sangat pendek itu, ia menyempatkan waktunya melihat ponsel, apakah ada pesan atau tidak dari temannya. Tak tahunnya, ia mendapat pesan WhatsApp dari seseorang, dan ia tak pernah menyimpan kontak orang tersebut. Kemudian Arya melihat isi pesan itu.
"Halo, Arya, selamat pagi. Udah bangun belum? Ini aku Salsa, cewek yang kamu antar ke rumah semalam. Aku cuma mau ngingetin aja, kalo aku berangkat ke kampus bareng kamu."
Arya bertanya-tanya kenapa cewek itu mempunyai nomor WhatsApp-nya. Seingatnya, mereka tak pernah saling bertukar nomor kemarin malam. Ini pasti ulah Zia, Arya bergumam seraya meremas ponselnya. Ia membalasnya secepat mungkin. "Tunggu sebentar. Aku baru bangun. Nanti aku ke rumahmu." Arya menulis pesan dengan singkat dan jelas, lalu lari menuju kamar mandi. Kemudian ia sarapan secepat mungkin, membawa semua peralatan yang dibutuhkan pada ospek pertamanya.
"Aku berangkat dulu, yah," kata Arya sembari bersalaman dengan ayahnya.
"Hati-hati, jangan ngebut-ngebut meski terlambat."
Seketika Arya memikirkan perkataan ayahnyaa, namun dengan cepat ia melupakannya. Jika ia tak ngebut, maka ia akan terlambat dan tak boleh mengikuti ospek hari pertama sebab ospek sangat pengaruh bagi nilai. Setelah meninggalkan rumah cukup lama, sampailah ia di depan rumahnya.
"Kalo nggak salah namanya Salsa, ya? Duh, kemarin malah ngobrol sendiri sama Zia pas perkenalan," gumam Arya, sambil mengingat nama gadis itu.
Arya tak ada menelpon ataupun mengetuk gerbangnya, dengan sendirinya, Salsalangsung keluar dari rumah. Ia merasa lega dengan itu, tak perlu repot-repot menelponnya. Namun di belakang Salsa, ayahnya juga ikut mengantar anaknya sampai gerbang. Arya yang tadinya bernafas lega, sekarang nafasnya tertahan, takut jika terkena amukan.
"Kamu siapa? Apa hubunganmu sama anak saya?" tanya ayahnya dengan nada keras dan matanya mengkilat seperti petir.
Arya tertegun, keringat dingin keluar dari tubuhnya. Ia berusaha menjawab, namun seakan mulutnya terkunci karena saking takutnya.
"Ayah, ngapain sih? Udah masuk sana. Ini temen kampusku. Namanya Arya. Wajar aja kalo ayah nggak tau, ke rumah aja baru hari ini." Salsa mendorong ayahnya, menuju rumah. Ayahnya hanya tersenyum pada anaknya. Namun ketika ia memandang Arya lagi, tatapannya kembali seperti tadi.
"Maaf, ya. Ayahku emang kayak gitu kalo ketemu sama orang yang mencurigakan," kata Salsa, memohon maaf.
"Mencurigakan? Apa menurutmu aku sangat mencurigakan?" Arya bertanya dengan suara yang lantang.
"Nggak juga. Tapi tas kardus buatanmu sangatlah aneh. Nyaris seperti tempat sampah."
Arya menggertakan giginya, ingin sekali memukul wajahnya. Namun lawan bicaranya hanya seorang gadis.