webnovel

S2-49 JUST SMILE

Entahlah ... begitu Apo pamit dari kamar Paing, hatinya terasa bercampur aduk. Mungkin karena makin lama dia sadar ada begitu banyak saingan. Untuk sesaat Apo pun merasa kecil (padahal Bie Hsu, Fay Aaron, dan Luhiang) atau siapa pun yang pernah menginginkan Paing, mereka kini tidak lagi mengejar. Sudah dapat jalan masing-masing malahan. Namun, tetap saja, Apo kini takut kehilangan. Karena mau dipikirkan berapa kali pun, sebenarnya dia yang beruntung di sini.

"Atau aku saja yang selama ini meremehkan ...." pikir Apo. Karena meski Paing tidak memperlihatkan, bukan berarti tak ada sosok-sosok hebat yang ingin mendapatkan Alpha tersebut (malah aneh kalau sepi pengantre) ya, kan?

"Oh, sungguhan?" tanya Paing saat diberitahu soal Kaylee dan Edsel. Alpha itu sedang mengurus pekerjaannya di atas ranjang. Tampak fokus, tapi teralihkan saat Apo masuk kamar menemuinya. "Phi Pin tidak bilang apa-apa setelah memberikan mereka?"

"Tidak, Phi. Cuma ingin triplets boleh bertemu Mile sampai kapan pun," kata Apo. "Tapi aku ... mm, bahkan belum bergerak kemana-mana."

Paing paham Apo sedang bicara hubungan pernikahannya. Dan ini memang masalah penting. Mereka tidak boleh menutup mata sampai kapan pun, karena itu dia meminta Apo duduk di sebelahnya.

Mereka pun membicarakan tentang pengajuan banding soal baby triplets, tapi Apo gamang kalau masalah Amaara belum selesai. Bagaimana pun kasus yang tak tuntas bisa meninggalkan kejutan. Maka mereka sepakat menundanya terlebih dahulu. Masalahnya belum tentu si pelaku adalah dia. Apo lebih khawatir jika Paing terancam orang lain di luar sana. Toh ketiga baby sudah di sini untuk sementara.

"Jadi, apa kau akan mendatangi pernikahan suamimu?" tanya Paing memastikan.

Apo pun menggeleng pelan. "Tidak mau, tidak akan," katanya. "Itu hanya akan menunjukkan aku sangat menyedihkan. Lagipula media kira kami sudah bercerai. Aku tidak mau meminta yang muluk-muluk."

Mendengarnya, Paing pun menghela napas. "Tapi ingat, ya ... masalah ini sudah seperti bom waktu," katanya. "Suatu saat Mile pasti sadar kalau triplets perlu direbut. Dan kau mungkin akan ditarik mendadak ke pengadilan. Jadi harus siap setiap saat."

DEG

Sial, ini menyebalkan tapi memang benar sekali, Pikir Apo. "Iya, Phi."

"Sekarang bisa bawa mereka kemari dulu? Sebelum waktunya semakin larut ...."

Paham yang dimaksud Paing adalah scenting, Apo pun mengangguk pelan. "Sebentar ...." katanya. Lalu pergi ke ruang tengah. Omega itu membuat kegiatan Thanawat dan Sanee mengemong terhenti, walau rasanya tak enak hati.

"Ah? Sudah mau? Ya ampun ... cepat sekali," kata Sanee. Lalu meletakkan para baby ke triple stroller gantian. Ketiganya pun mengoceh di ayunan masing-masing, tapi Kaylee tampak tak rela ditinggal wanita itu.

"Dah, Sayang ... hati-hati ...."

Apo sendiri menggerakkan tangan Kay untuk melambai kepada Sanee, walau si baby malah menangis kencang. "Oeeeeeeeeeeee!" jeritnya, yang langsung menularkan sedih kepada dua saudara kembarnya.

"Oeeeeeeeeeeee!!"

"Oeeeeeeeeeeee!!"

DEG

"Eh! Eh ... kalian ini kenapa?" kata Apo. "Mau sama Opa dan Oma lagi? Iya nanti pasti kembali ke sini ...."

Suasananya kacau sekali untuk sejenak. Apo sampai bingung karena susu ketiganya habis, dan babysitter pun mondar-mandir untuk membuat yang baru. Namun, Thanawat dan Sanee jelas tidak membiarkan si triplets menangis berkelanjutan. Mereka pun mendekat tanpa menunggu susu. Lalu Apo memberikan satu ke gendongan masing-masing.

"Ya ampun, ya ampun ... tidak akan ada yang akan menggigitmu, Sayang" kata Sanee gemas. Dia pun mengesuni pipi Kaylee beberapa kali. Dan setelah tenang akhirnya ikut naik ke lantai dua.

"Aduh, maaf, ya. Opa jadi ikutan repot sekarang ...." kata Apo yang sudah menggendong Blau Er. Kedua matanya tampak berkaca-kaca, tapi Thanawat hanya mendengus tersenyum.

"Tenang saja, Nak. Aku ini sangat suka bayi, walau tanganku gemetar kalau terlalu berat," kata Thanawat. "Tapi mereka baru umur segini, kok. Bukan masalah besar." Lelaki itu pun mengekori istrinya, sementara Apo menyusul paling belakang.

Ah, triple stroller yang berakhir menganggur. Benda itu pun didorong minggir seorang babysitter yang kembali tercepat, heran juga dengan kejadian barusan. "Perasaan dua yang baru datang cengeng sekali," batinnya. Lalu geleng-geleng untuk menyudahi berbagai prasangka.

Di dalam kamar, Paing sendiri kaget ayah dan ibunya ikutan masuk. Alpha itu pun meletakkan laptopnya kembali, lalu fokus kepada triplets.

"Ini, Sayang. Baby-baby kecil yang rewel. Kau mungkin harus berkenalan serius dengan mereka," kata Sanee sebelum meletakkan Kaylee ke gendongan puteranya. Ya, walau Paing agak kesulitan. Bagaimana pun lengan kirinya masihlah rusak. Maka hanya bagian kanan yang masih bisa dipakai.

"Ini yang perempuan sendiri?" tanya Paing sambil mencoba mengingat ciri-ciri Kay. Bagaimana pun mereka bukan darah dagingnya, tapi konyol jika tidak mengenali setelah bersedia melindungi.

"Iya, namanya adalah Kaylee Naifern," kata Apo yang menemani di sisi kanan. "Phi bisa memanggilnya Kaylee kalau mau lengkap, tapi biasanya dipanggil Kay misal mau ringkas."

Paing pun mengangguk pelan. "Oke, jadi Kay ...." katanya. Lalu mulai scenting ke baby tersebut. Dia pun  mengulangi peristiwa beberapa Minggu lalu, walau manik lucu Kay sempat menatap Paing kebingungan.

"Aaa! Aaa! Nn ....." oceh Kaylee yang langsung tenang. Namun, setelahnya dia hanya kedip-kedip diam. Karena bagaimana pun itu pertemuan mereka yang pertama kali.

"Kau punya mata yang lebih bulat daripada lainnya," komentar Paing. Lalu menggantinya dengan Edsel Naifern.

Ternyata, tanggapan baby itu tidak jauh berbeda. Ed bahkan tak mengoceh dan hanya menggapai udara. Lalu menyentuh dagu Paing seperti ingin mengenali juga.

"Phi?" tanya Apo ketika melihat mereka bertatapan cukup lama. "Kenapa? Apa ada yang salah?" Omega itu mendadak takut kalau Edsel menolak, sebab si paling pintar dulu memang dekat dengan ayah kandungnya.

Tetap tenang, Paing pun menatap orang-orang di sekitarnya sekilas. Alpha itu tampak berpikir sejenak, lalu menyentuh leher Ed dengan jemari. "Yang ini sepertinya agak demam, Apo," katanya. "Badannya lebih panas daripada lainnya."

DEG

"Apa?"

"Eh? Iyakah?" kaget Apo. Nyaris bersamaan dengan suara Sanee. Padahal dia rasa kulit ketiga baby sama saja hangatnya.

Paing pun mengangguk pelan. "Hm, mungkin sepertinya sudah beberapa hari," katanya. "Jadi tolong mandikan secepat mungkin. Pakai air hangat dan ganti bajunya. Mumpung masih bisa dicegah."

Deg ... deg ... deg ... deg ... deg ....

Apo pun makin ketar-ketir. "Oh, Iya, Phi," katanya. Omega itu pun melirik orangtua Paing panik, lalu menerima Edsel ke gendongannya. Bagaimana kalau dia disangka kurang perhatian? Padahal Kay dan Ed memang baru datang tadi siang. Apo benar-benar takut sekali. "Apa masih ada lagi? Kalau iya semua nanti kulakukan."

Paing langsung memeriksa telapak tangan Edsel juga. "Tentu, waktu tidur jangan lupa turunkan suhu ruangan," katanya. "Nyalakan perapiannya, jangan diselimuti tebal-tebal, dan cukup pakai air humidifier untuk menghangatkan."

"Umn," kata Apo sambil mengangguk  pelan. ".... tapi apakah ada obatnya? Mungkin Edsel juga harus minum sesuatu."

Paing malah menggeleng dengan senyuman. "Tidak perlu," katanya. "Sementara ini masih belum parah. Asal dia tidur nyenyak hingga pagi, demamnya akan langsung turun."

"Oke."

Malam itu, sang Omega pun hanya menghabiskan waktu di sisi triplets. Pertama mengurus Kaylee dan Blau Er. Lalu mengawasi Edsel karena paling susah tidur--mungkin karena gejala demamnya belum mendingan. Baby itu mengoceh sambil menatap langit-langit kamar. Dia telungkup dan mulai menungging, hingga Apo sulit mengalihkan perhatian.

BRUGH!

"OEEEEEEEEEEE!! Oeeeeeeeeeeee! Oeee!" jerit Edsel karena tangannya belum kuat menyangga badan. Untung, Paing sempat menyarankan agar tidurnya dipisah dulu. Tangisnya pun tak mengganggu dua yang lain. Lalu Apo menimangnya dengan remasan jemari.

"Ckckck ... kau ini, jangan terlalu memaksakan diri," bisik Apo sambil menepuk pelan bokong Ed. Dia geregetan tapi juga sayang. Pasalnya Ed paling mirip Mile Phakpum. Dia adalah tipe pejuang, dominan, sangat sulit untuk dinasihati dan berhasrat untuk mengalahkan saudara kembarnya. Karena itulah, sebelum Kay dan Er bisa, malam itu Ed sudah sanggup duduk sendiri.

"Wah ... ya Tuhan ...." batin Apo meski tadinya mengantuk. Kedua mata Omega itu pun langsung jernih. Gemas parah! Padahal jam sudah pukul 1. "Ed! Gila! Kau sudah bisa begini?!"

Oh, iya. Pantas saja. Ini sudah berapa lama sejak mereka berpisah. Apo sampai silap dengan perubahan bayinya sendiri. Dan itu rasanya sakit.

CKREK! CKREK! CKREK!

Apo pun mengambil foto-foto Ed cukup banyak. Potret sana. Potret sini. Lalu senyum-senyum Hingga tanpa sadar mencari nomor Mile--

DEG

"Tunggu, tidak. Buat apa aku mengirimkannya?" pikir Apo. "Toh Phi Pin bilang Mile jarang menjenguk mereka." Seketika Apo ingat kalau itu tak penting. Lalu langsung mematikan ponsel.

"Pa .. pa! Paa ... pa!" kata Ed tiba-tiba. Baby itu menggapai-gapai wajah Apo. Tersenyum lebar. Lalu tertawa karena sang Omega mendekat.

"Apa, sayang? Kenapa bahagia sekali?" tanya Apo heran. Dia pun bermain dengan Edsel hingga hampir pagi, tahu-tahu alarm berdering nyaring hingga dia terlonjak bangun.

KRIIIIIIIIIIIIINGGG!!

DEG!

"Ya Tuhan! Pukul berapa ini?!" panik Apo. Dia pun tolah-toleh untuk mencari Edsel, tapi si dominan ternyata sudah wangi bedak bayi. Dia ditimang Sanee di balkon kamar. Menyusu botol. Bahkan sudah tertawa begitu lepas. "Fiuh ... lega-nya. Kukira tadi kemana ...." Lelaki itu mengelus dada sangking cemasnya.

Tok! Tok! Tok!

"Tuan Natta, permisi ...." kata seorang pelayan di balik pintu. "Apa Anda sudah bangun?"

Apo pun mematikan alarm. Dia turun dengan rambut awut-awutan, lalu membukakan pintu sedikit malas.

CKLEK!

"Iya? Ada apa ya?"

Pelayan itu menyodorkan sebuah undangan. Lalu permisi begitu saja. "Silahkan," katanya.

Apo pun mengernyitkan kening penuh keheranan. Dia bingung karena masih belum sepenuhnya sadar. Lalu mengucek mata karena mengira itu dari resepsi Mile.

"Eh? Bukan, ya ...." gumam Apo. Lalu membawa benda itu ke dalam. Apo pun duduk di tepi ranjang yang masih kacau. Membukanya, lalu tertegun sebentar.

"Sayang, sudah dapat undangannya juga?" tanya Sanee, yang mendekat setelah menutup tirai.

"Iya, Oma," kata Apo sembari mengangguk.

Sanee duduk di sebelah Omega itu. "Bagaimana? Apa mau hadir bersama kami pada hari itu?" tanyanya. "Tapi kalau tidak pun tak masalah. Soalnya Paing bilang suamimu menikah lagi di tanggal yang sama."

DEG

Untuk sejenak Apo pun merasa nyeri, walau tidak sesakit dahulu. Jadi, Phi Paing sudah cerita sedetail itu dengan mereka? Pantas saja Oma dan Opa tidak bertanya apapun lagi. Dia langsung membolak-balik undangan tersebut, tampak berpikir, kemudian menatap jeli sesi photoshoot di balik cover-nya. "Aku baru tahu Phi investasi di film juga," katanya. "Apa sejak membuka channel yang baru? Tapi ini benar-benar keren."

Pujian polos Apo pun membuat Sanee tertawa. "Ha ha ha, iya ... soalnya aku sendiri yang menyarankan. Jadi Paing mau-mau saja," katanya. "Lagipula History Romansa kan memang sedang populer, Nak. Tapi sebenarnya sudah digarap sebelum channel-nya di tangan kami."

"Oh ...." desah Apo. Dia pun membaca tulisan "Gala Premiere: XXX - The Golden Empress 2016" itu beberapa kali. Kemudian mengangguk pelan. "Umn, mau ...." katanya sambil tersenyum. "Pasti menyenangkan sekali."

Sanee sampai tertular dengan betapa manis senyuman Omega itu. "Good," katanya. "Apa sekalian hari pembukaan resmi channel-nya?"

DEG

"Eh?"

Sanee pun menunjuk bagian pojok. "Lihat, di situ ada RSVP lanjutan," katanya. "Tapi acaranya jelas bukan in-door lagi. Apa tidak masalah?"

Apo pun terdiam untuk kedua kalinya. Dia baru notice ada tulisan "Rajamangala National Stadion, Bangkok" untuk konser besar-besaran. Dan tentunya banyak artis yang diundang ke sana.

Tayangan live dua channel serentak, kemeriahan dimana-mana, dan pastinya akan ada karpet merah--mungkin Paing nanti berjalan di sana untuk menggunting pitanya? Apo sudah bisa membayangkan seperti apa acara itu, karena televisi umumnya memang jor-joran saat peresmian atau ulang tahun.

"Ugh, kalau ini ... agak ...." gumam Apo. Dia memandang Sanee sedikit rikuh, tapi kemudian bertanya pelan. "Apa aku tak keluar tidak masalah? Maksudku, mungkin ada tempat khusus yang mengarah ke panggung? Aku tidak mau sering-sering meninggalkan baby ...."

Sanee pun tampak berpikir. "Hm ... pasti bisa kok diatur," katanya. "Yang penting kamu sering tersenyum seperti ini. Cheer up. Dan buktikan ke semua orang, kalau kau semakin baik-baik saja seiring waktu."

SUDAH tiga kali ini Amaara terbangun. Dia malas-malasan  dan mogok menyamar di kantor Nadech, semua karena Mile masih membuatnya jengkel. Omega itu hanya mengecek jam tangan sebelum tidur kembali. Dia cukup senang dengan banyak bermimpi, tapi lama-lama rasanya pegal sekali.

"Ugh ... mnnhh ..."

KRATAAAAKKKHHH!

Amaara pun memelintir tulang punggungnya sejenak. Barulah terduduk tegak. Dia melihat Mew di sisinya masih tidur tampan, walau wajahnya pucat karena sudah terlalu lama.

Tiiiit ... tiiit ... tiiit ... tiiit ... tiiit ....

Di sebelahnya elektrokardiogram Mew masih berdetak begitu stabil. Napasnya juga kembang kempis dengan wajar, seolah-olah bisa bangun seperti orang sehat pada umumnya.

"Aku sudah kembali padamu, Mew," gumam Amaara sembari menata selimut kekasihnya. "Tapi kapan kau kembali padaku? Jangan terus-terusan meninggalkanku bersama Nadech, oke?" Sayang, Omega itu tidak pernah mendapat sahutan. Dia pun mengecup pipi dan kening Mew gantian. Lalu membelai rambutnya.

Drrttt ... drrrt ... drrrt ....

Amaara segera mengecek pesan yang masuk ke dalam ponselnya.

[Yakin sudah menyerah, Ra? Tapi memang wajar kalau kau ingin beristirahat. Kudengar bodyguard Takhon memang jadi sangat banyak, so next time mungkin kau butuh rencana matang]

____ Nadech

Amaara refleks mendengus kesal. Dia pun membalas dengan uring-uringan, dan akhirnya menelpon karena tak sabar menyelesaikan ketikan.

Tuuuuuutssss ....

"Ya, bagaimana?" tanya Nadech dari seberang sana. "Apa kau ikut cara Mile sekarang? Kalau iya pun tidak masalah. Aku pasti dukung selama Takhon tidak lagi di udara--"

"Sssssh ... dengar ya Nadech," sela Amaara sambil mendesis seperti  ular. "Kupikir-pikir kenapa tak lakukan sendiri saja? Punya otak dan tangan lengkap, kan? Aku mulai capek mengikuti maumu."

Nadech malah terkekeh-kekeh menanggapinya. "Ha ha ha ... galaknya ...." kata Alpha di seberang sana. "Baiklah, baiklah. Siapa tahu kau sudah kembali semangat? Intinya aku masu kasih tahu info saja."

DEG

"Soal apa?" tanya Amaara tanpa emosi. "Jangan bilang jadwal soal kantornya lagi. Muak. Ruang gerakku terlalu kecil, kau paham?" tudingnya begitu kesal.

"Ha ha ha ha ha, bukan kok," kata Nadech sambil tersenyum. "Kali ini kau bisa melakukannya dari mana pun."

"Apa? Kenapa bisa begitu ...." kata Amaara dengan kening mengerut.

"Hmp, kalau penasaran tunggu 9 hari lagi," kata Nadech. ".... tapi kusarankan kali ini tidak memakai baju hitam-hitammu. Santai saja, Ra. Cukup kenai jantungnya sekali, lalu pergi dari sana secepat mungkin."