webnovel

S2-41 CAN YOU STAY HERE?

_______________________

"A new born I'm waiting for...."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

"Uuuu lucunya ... siapa nama si baby tadi? Er?" tanya Tasanee Sunee Takhon. Wanita berusia 66 itu mendekap Blau Er disertai senyum lebar. Hal yang membuat wajah keriputnya makin menjadi.

"Er, Oma," kata Apo dengan senyuman kecilnya. "Blau Er Naifern." Tapi meninggalkan marga 'Romsaithong' di bagian belakang. Bukannya Apo malu dengan nama Mile. Tapi dia ingin menjaga perasaan ibu Paing. Apalagi di sebelah juga ada suaminya.

"Ohh ... Er ...." sahut Thanawat Kiet Takhon. Lelaki berumur 79 itu pun ikut mengangguk-angguk, walau tampak kesulitan mendengar obrolan mereka. "Iya, iya. Hmm ... bukan nama Thailand, ya? Tapi mudah juga saat dipanggil. Er ... Er ...."

Sunee pun tertawa karena tingkah Alpha-nya. "Ha ha ha, Sayang. Kenapa jadi begitu nadanya?" Lalu memberikan si mungil ke pangkuan Thanawat. ".... ini. Coba gendong dia sebentar. Kau bilang sudah ingin punya cucu, kan? Kali saja bisa mengobati."

"Eh--eh ... Sunee--" protes Thanawat dengan lucunya. Alpha tua itu panik karena menyentuh baby yang teramat rapuh. Tapi mendekapnya meski dengan jari yang gemetar. "Kau ini, ya ... nanti tak jatuhkan bisa bahaya, astaga."

Sunee malah terhibur sekali. "Habis ini minta cucu ke Yuzu, mau?" Dia bilang sambil berbisik. "Suruh Wen cepat-cepat saja lah. Kuliahnya ditunda juga tidak masalah. Aku tak tahan kalau sudah lihat yang seperti ini."

Thanawat pun ngomel-ngomel. "Heh ... yang lagi sekolah biar sekolah," debatnya ala kakek-kakek tua. "Baby-baby apa. Yuzu harus sampai S3. Kalau bisa 3 kali seperti kakaknya. Suruh dia ambil akselerasi kalau ke USA. Wen harus tahan sampai semuanya selesai."

"Ya ampun, Sayang ...." kikik Sunee gemas. "Lama-lama mataku rabun parah waktu bayinya keluar."

"Alah, biar," kata Thanawat tetap mengomel. "Kuizinkan menikah muda saja bagus."

"Hi hi hi hi hi."

"Kecuali kalau bayi-nya jadi di luar rencana lho ya. Tak masalah. Nanti kirim saja ke rumah biar kita rawat. Pokoknya Yuzu harus pintar sebelum pulang."

DEG

Sampai sini, Apo paham kenapa Paing menetap lama selama di Oxford, Inggris. Selain karena dia anak sulung, pewaris, lelaki pula ... soal pasangan pasti lebih dikesampingkan (mungkin juga pernah dilarang?) Yuzu yang Omega saja tetap dikerasi soal pendidikan, apalagi Paing. Wen mungkin diizinkan menikahi si bungsu karena alasan menjaga selama di luar sana.

"Hah ... sudahlah. Kau sendiri lihat suamiku yang begini, Sayang," kata Sanee, yang membuat Apo langsung tertawa. "Cerewet sekali melebihiku. Kau harus tahan kalau dia mulai ngomong kesana-kemari."

"Iya, Oma."

Perlahan-lahan, Thanawat pun mulai menikmati interaksi dengan Blau Er. Dia gemas dengan si bayi, lalu mengemongnya dengan banyak cara. Mulai dari memainkan jari. Memuji-muji Er yang amat imut. Dan ya ... sewajarnya orang tua yang waktunya punya cucu. Lelaki itu sampai tidak memerhatikan obrolan Sanee selanjutnya. Padahal masih ada dua baby lagi yang masih tertinggal.

"Wah ... Kaylee dan Edsel, ya ...." kata Sanee kagum. "Apa mereka secantik Blau Er? Kenapa tidak dibawa tiga-tiganya?"

DEG

Kali ini Paing yang mengambil alih. "Ini acara besar, Ma. Kalau dibawa semua bagaimana nanti?" Dia bilang. Terdengar sangat wajar, walau Apo sempat tampak sedih. "Yang ini tadi rewel jadi paling susah ditinggal."

"Oh ... sayang sekali," kata Sanee kecewa. Tapi kemudian Omega itu tersenyum kepada Apo. "Kalau begitu, lain kali bawa mereka ke rumah Oma, ya? Tiga-tiganya malah bagus. Ma bilang kamu hebat karena punya turunan kembar. Ya ampun ... langka loh. Apalagi kau bilang tidak identik."

Napas Apo pun tertahan sesaat. "Mn, semoga kapan-kapan bisa," katanya sambil tersenyum tipis. Mereka lalu mengobrol lebih banyak hal, walau Thanawat agak pias saat mendengar fakta Apo belum bercerai. Lelaki itu mungkin ingin ngomel-ngomel, tapi tahan diri saat melihat wajah si sulung. Dia paham perangai Paing seperti apa. Maka daripada curiga, Thanawat pun bertanya kepada Apo.

"Jadi, suamimu kemari juga, kan?"

DEG

"Iya, Opa."

"Hmm ...." Thanawat pun menoleh ke sana kemari. "Tapi setahuku Pomchay itu punya istri."

"...."

"Jadi istrinya dirimu?"

DEG

"...."

"Atau istrinya dua?"

"...."

Ada salah paham di sini ....

Paing pun lagi-lagi mengambil alih. "Hmm, Pa ... biar nanti Paing yang ceritakan, oke?" katanya. "Sekarang kemarikan baby-nya."

Thanawat malah mendekap si mungil semakin erat. "Tidak, tidak. Aku belum puas menggendong dia," katanya. Lalu menatap Apo. Dia baru awas ada bekas luka di rahang Omega itu. Lalu memendam tebakannya sendiri. "Oh, iya, Sayang. Maaf omongan Pa kalau ada yang keliru. Aku begini tapi senang-senang saja. Yang penting apa adanya. Yuzu juga kuajari begitu. Makanya jangan heran kalau dia sering membentak-bentak. Omega memang harus galak kalau di situasi penting, paham?"

DEG

Seketika, Apo pun senyum meski sempat merasa tak enak hati. "Umn, terima kasih, Opa ...." katanya.

Namun, situasi tersebut tidak berlama-lama. Toh Sanee ahli mengambil alih obrolan. Mereka pun bercanda kembali. Dan Apo merona karena diharapkan punya baby lagi. "Yang banyak, ya sayang! Ha ha ha ...." tawanya. "Kalau bisa, begitu kalian menikah nanti empat-empatnya jadi. Toh kau bilang sebenarnya mereka Quadruplet kan? Setelah itu terserah. KB tak masalah, ada lagi juga malah bagus. Kebetulan keluarga Takhon ini sepi penerus. Aishh ... Paing disuruh cari pasangan juga lemot sekali."

Sang Alpha hanya senyum-senyum tipis walau direcoki. Sudah dia duga orangtuanya bilang begitu. Sebab Paing paling tahu kenapa Yuzu sampai diambil asuh.

Sanee memang wanita cerdas, tapi sulit mendapatkan keturunan entah kenapa. Bukan karena gugur, atau infertil. Tapi memang susah hamil (mungkin karena otaknya terlalu sibuk mengembangkan bisnis?) Jadi, setelah Paing tidak ada lagi. Sampai-sampai Yuzu dicatat dalam keluarga Takhon. Dan mereka menekankan kualitas meski pendidikan harus muntah-muntah. Jadi, kebanyakan menikah di atas 30 tahun.

"Keep it easy, Apo. Jangan masukkan omongan mereka ke dalam hati. Terutama Pa. Dia memang seperti itu, makanya Yuzu tidak betah di rumah," kata Paing saat mereka dalam perjalanan pulang.

Apo pun menatap wajah Paing yang fokus menyetir, lalu ke baby Er yang sudah terlelap dalam gendongan. "Aku justru senang karena Pa sangat terbuka," katanya. "Ya, walau ... mm .... masih agak takut juga. Bagaimana pun kami belum terlalu mengenal."

".... cukup pelan-pelan saja," kata Paing seringan angin. "Kalau tipe cepat akrab, biasanya dapat kejutan setelah merasa dekat. Kau tidak harus terburu-buru."

"Iya, Phi.

Setelah itu, tak ada obrolan apapun diantara mereka. Apo juga tenang setelah diseret Paing ke dalam acara. Walau kepikiran tentang tema pernikahan dengan Paing juga.

Mulai saat membaringkan Blau Er. Cuci muka di kamar mandi. Lalu memeluk si mungil di balik selimut.

"Yang pasti aku senang kau di sini, Sayang," kata Apo dengan senyuman hambar. Omega itu pun mengesun Er berkali-kali, lalu mendekapnya di depan dada. "Karena meskipun kecil, kau membuatku tidak merasa sendiri."

Jujur, Apo dulu paling membanggakan Edsel karena perkembangannya tercepat. Dia bisa miring sebelum yang lain sanggup. Sementara Kaylee punya ekspresi yang variatif. Beda sekali dengan Blau Er si langit biru. Dia paling tenang, lambat respon entah karena apa, tapi memang paling mudah diemong orang. Dia diam meski digendong si ini dan itu. Dan suka mengoceh kalau bertemu orang yang dia sukai.

Kadang, Apo juga berpikir ... serapuh apapun bayi. Sebenarnya mereka punya kekuatan besar. Hal yang membuat orang dewasa sepertinya mampu. Punya alasan untuk tetap berdiri, walau bosan menanggung masalah hidup. Wajah mereka yang kecil, tangan mereka yang mungil, dan kaki selembut jeli saat dipencet-pencet--ah ... Apo benar-benar ingin membebaskan diri.

DORRRRR!!! DORRRRR!! DORRR!!

KACRAK!!

DORRR!! DORRRR!! DORRRR!!

KACRAK!!

"Apa aku terlambat?" tanya Apo pada pagi harinya.

Di ruang latihan menembak, Paing pun menoleh sekilas dengan senyuman tipis. "Terlambat untuk ibu yang sibuk? Tentu akan tetap dimaafkan," katanya. "Ayo. Aku masih punya banyak peluru."

Apo pun memasang perlengkapan menembaknya satu per satu. Entah kenapa mendadak rasanya berat, tapi dia rindu suasana seperti ini.

KACRAK! KACRAK!

"Ini berat, tapi aku suka," kata Apo. Lalu memposisikan bahunya untuk membidik target. Letaknya cukup jauh karena 25 meter. Tapi bisa diatur lebih dekat dengan tombol mesin.

"Oh, glock 43?" tanya Paing sambil melirik sekilas. Namun, dia tetap melepas tembakan ke depan. Sementara Apo mengikutinya.

DOR!!! DOOORR!! DORR!!

DORRRRR!! DORRR!! DORRRR!!

"Iya."

Mereka pun bertanding untuk menghabisi target paling akurat. Dan skor akhir tentu saja dimenangkan oleh Paing. Selisih 6 butir peluru, pula. Tak sedikit. Hal yang membuat Apo uring-uringan. Bahkan sampai membanting peralatannya ke meja.

"ARRRGH! Kesal!"

BRAKHH!!

".... Apo?"

"Ck. Menyebalkan," makinya. Lalu mengelap keringat. "Phii ... aku seharusnya bisa lebih banyak lagi ...." katanya dengan bibir manyun-manyun. Entah sadar atau tidak dia melakukannya. Tapi Apo memang tidak menyerah. Omega itu pun memasukkan peluru lagi. Menembak "dor-dor-dor" enam kali. Dan puas karena berakhir dapat skor yang sama. "He he ...." cengirnya seperti bocah. Omega itu sepertinya tak peduli kalau caranya curang.

"Sekarang senang?" tanya Paing, yang hanya geleng-geleng. Lalu melepas atribut latihannya dengan santai.

"Tentu saja. Kan aku tidak jadi kalah taruhan," kata Apo dengan senyum lebarnya. "Jadi setelah ini batal main anggar. Ayo! Ganti kaos untuk basket saja," ajaknya tiba-tiba menentukan.

Oke? Padahal siapa yang menang di sini.

Namun, Paing tidak masalah. Dia peka Apo ingin banyak bergerak, tapi tak perlu sangat teknikal. Omega itu kangen senang-senang, karena stress. Dan berebut bola dengan Paing cukup membuat tawa paling renyahnya kembali.

BRUGH!

"HA HA HA HA HA! MINGGIR-- sekarang kita 3:3!" teriak Apo seperti remaja saja. Dia bersemangat sekali. Dan kaki-kaki jenjangnya tak ragu melompat tinggi, hanya demi mencapai skor.

"Apo--hati-hati!"

BRUGH!

"YASSS! MASUK LAGI!" kata Apo yang ternyata bisa mendarat mulus. Dia pun mengusap bibir dengan kaus yang dikenakan. Walau kainnya pun sudah basah keringat. "Bagaimana, Phi? Lagi tidak? Aku masih tahan kalau mau lanjut." Seringai di wajahnya tampak percaya diri.

Namun, Paing malah melipir ke pinggir, lalu melempar botol untuknya.

"Tangkap!"

PAKHH!

"Eh! Eh! Eh! Eh!" kata Apo yang kurang siap. Namun, dia bisa berakhir memeluk botolnya di dada. Tampak bingung karena Paing terduduk.

"Minum. Ayo istirahat dulu. Ini bukan turnamen kampus," kata Paing. Yang sebenarnya tidak selelah itu, tapi rikuh melihat Apo berkeringat terlalu banyak. "Sini." Dia menepuk-nepuk lantai di sisi kanan.

Apo pun mendekat dan duduk di sebelahnya. "Oke." Lalu minum dengan mata terpejam.

Hmm ... dia kenapa sampai sebegininya? Pikir Paing. Padahal subuh tadi dia hanya mengajak Apo bermain. Kebetulan masih bisa libur hingga besok lagi.

"Hhhhh! Segar!" kata Apo setelah minum. Dia pun mengguyur wajah dengan air mineral. Lalu menyibak rambut agar ke lebih belakang. "Terima kasih untuk hari ini, Phi. Aku senang sekali."

"Hm, tentu. Tapi sedang memikirkan apa?" tanya Paing tak mau basa-basi. "Kau berbeda dari biasanya."

DEG

"Eh? Kelihatan?"

"Yea, of course," kata Paing sembari meletakkan botolnya. "Tapi bilang saja kalau ada sesuatu."

Dari senyum yang teramat cerah, kini bibir Apo perlahan menjadi lurus. "Hmm, bagaimana, ya ... aku hanya ingin membantu Mama," katanya. "Apa tidak masalah? Luka dan wajahku sudah baikan dan beliau masih sendiri."

Mereka saling bertatapan lurus.

"Oh, ya ...." kata Paing, walau kentara sedikit kaget. Tapi, Alpha itu berusaha menyembunyikannya. "Jadi kapan mau pulangnya? Apa sudah memutuskan?" tanyanya.

Jeda sejenak yang mengerikan.

"Menurut Phi Minggu ini tidak masalah?" tanya Apo hati-hati. Dia tak mau bilang "besok" karena datangnya sudah mendadak. Maka jangan sampai perginya mendadak juga. Toh Paing sekarang sudah sendiri. (Semalam Yuzu langsung diboyong Wen pergi ke Amerika. Dan itu tepat setelah resepsi). Aku jadi sedikit merasa bersalah, pikirnya.

"Jadi tinggal empat hari lagi ...." kata Paing yang tiba-tiba mengalihkan pandangan. Alpha itu pun minum beberapa teguk lagi, sepertinya agak tertekan.

"Iya, Phi."

Apo pikir, Paing akan langsung mengiyakan seperti dulu. Mengalah, atau paling tidak memberikan tuntunan kembali seperti Ameera (ngomong-ngomong, model itu pulang dengan jet ke negaranya semalam. Dan siap dipanggil untuk persidangan kapan pun itu). Namun, kini Paing malah coba bernegosiasi.

"Apa memang harus pulang?"