webnovel

BAB 22: DON'T FADE

BAB 22

TADINYA Apo hampir berdiri, tetapi sang suami malah menahan bahunya. "Aku saja yang mengangkat telepon itu," kata Mile. Dia segera beranjak, tapi tidak lupa meninggalkan kecupan di kening Apo. "Kau di sini jaga mereka."

"Oh, oke."

Nathanee memberikan ponselnya. Wanita itu ikut Mile menjauh dari sana, padahal raut Apo tampak sangat penasaran.

"Au ... na, na, mnn ...." oceh baby triplets bersahut-sahutan. Mereka berkedip lucu dengan tangan meraih udara. Apo gemas meraih jemari itu bergantian.

"Menurutmu apa kita akan baik-baik saja, Er?" tanya Apo. "Daddy kalian sepertinya sedang bertarung dengan masalah besar."

Sejujurnya, Apo tidak bisa membayangkan seberat apa beban yang Mile tanggung sejak pulang ke Bangkok. Bagaimana pun, tidak mudah meninggalkan kegemaran untuk tanggung jawab besar tiba-tiba. Apalagi langsung terjun total ke dalamnya dalam beberapa bulan terakhir. Dua perusahaan pula.

Seandainya Apo yang dibalik ke posisi Mile, tiba-tiba harus meninggalkan tanah air untuk berkarir dalam bidang fotografi professional, wah ... Apo pasti stress dengan hal itu. Padahal tanggung jawabnya hanya untuk diri sendiri. Bukan banyak karyawan dan jadi ayah dalam waktu singkat seperti Mile Phakphum.

Sebab suka dengan kerja itu beda. Apo paham karena dulu pernah diharuskan Miri les taekwondo, anggar, dan tembak menembak sekaligus, padahal Apo tak menyukainya.

"Kau pikir taekwondo saja cukup, Sayang?! Ketahuilah tidak semua serangan berjarak dekat! Tidak semua serangan dilakukan dengan tangan kosong juga! Jangan buat Pa dan Ma kecewa sudah menaruh harapan padamu ...."

Apo tahu, didikan orangtuanya teramat keras. Namun, dia paham mengapa ketakutan seperti itu muncul ke permukaan. Bagaimana pun dia merupakan anak tunggal. Belum lagi kasus Gulf dulu membayangi. Apo pun menjadikan peristiwa itu sebagai penyemangat, lalu melangkah dengan kaki berdarah.

"Mile ... bagaimana? Mau cerita langsung padaku? Aku siap kok  mendengarkan."

Kini, Apo tidak mau menyesali apapun. Justru dengan semua hal itu, kini dia percaya bisa membantu sekuat mungkin, apalagi sang suami masih terluka.

"Ya, Ameera memang meninggal," kata Mile. Dia meraih pipi Apo dengan ibu jari, seolah-olah lelaki itulah yang pergi jauh. "Dia tidak hanya jatuh, tapi juga ditabrak mobil sampai terlempar ke trotoar. Fisiknya sudah tidak bisa dikenali, tapi sidik jari memang membuktikan dia Ameera."

DEG

"Oh ...." Apo pun mengepalkan tangan meski tidak tahu alasannya. "Terus kasusnya? Menurutmu dia benar-benar bunuh diri? Kupikir Ameera takkan melakukannya kalau ingat mau perlindungan itu."

Mile malah meraih belakang kepala Apo untuk mendekat padanya. Dia memeluk karena takut dan panik, padahal Ameera lah yang baru saja pergi. "Sudah dipastikan dia dibunuh," katanya. "Tapi pelakunya belum diketahui. Semuanya tertutup rapi. CCTV tak bisa menangkap dari titik buta itu."

DEG

"Jadi dia... dia didorong atau semacamnya?"

"Hm. Oleh seseorang berpenampilan serba hitam yang memakai topeng." Mile memejamkan mata dengan hirupan dalam pada rambut Apo. "Sementara kita tunda dulu sidangnya. Aku tidak mau terburu-buru. Bagaimana pun ini kasus yang besar sekali. Jadi harus diteliti sedetail-detailnya."

Apo pun menahan napas, tapi dia memilih diam mendengarkan saja.

"Tapi menuduh Mew pun tetap keliru, Apo," kata Mile. ".... dia masih koma sekarang. Mana tahu siapa yang paling kehilangan diantara semuanya dibandingkan dia saat ini."

"Oh ...."

"Kataku, kau lebih hati-hati saja untuk seterusnya" kata Mile sambil membelai surai lembut Apo diantara jari-jemarinya. "Maksudku, dirimu ... Kay, Ed, da  Er sekalian. Karena aku takkan memaafkan diri sendiri jika seseorang melakukan hal yang sama pada kalian nantinya, oke?"

Bukannya menurut, Apo malah mendongak untuk balas menatap mata Mile. "Aku tahu, tapi kau juga tak boleh terluka lagi. Tetap fokus dan cepat sembuh," katanya. "Kami berempat membutuhkanmu, Mile. Hanya jika kau memang sekhawatir itu."

Mile rasa, Apo memang takkan berubah sampai kapan pun. Dia yang tenang namun membara bagaikan api. Mile bahkan bisa terbakar rasa hanya dengan bersirobok dengan kedua matanya yang indah. Lalu mencium bibirnya sepuas hati.

"Kemari, Apo."

"Mile--!"

BRUGHHH!!

"Umnnnh. Mile--uph."

Mile tak sadar dia menjambak kasar, walau kedua matanya berair. "Aku benar-benar ingin merasakan kau ada, ada, ADA. Jangan sampai aku mencicipi hal semengerikan Mew, Apo," batin Mile. "Kau harus tetap hidup, meskipun aku yang terbaring seperti itu tanpa bisa apa-apa."

Apo pun balas meremas punggung kemeja Mile dengan kedua tangannya. Dia tampak kewalahan diserang semembabi-buta itu, bahkan kakinya sampai mundur beberapa langkah karena tenaga Mile terlalu besar. Untung Apo tidak menabrak stroller besar ketiga bayinya. Jika tidak, dia pasti ambruk sebelum terjembab ke sofa--dalam kondisi mulut dikuasai bulat-bulat oleh sang suami.

BRUGHHH! PRAKH!

Asbak, vas, dan hiasan meja pun jatuh ke lantai. Kaki Mile bahkan sempat terseret melintasi pecahan kacanya, tapi dia tanggap naik dan mendorong Apo berebah.

"Wait, Mile! C'mon kita tidak sedang di kamar. Mile!" jerit Apo dalam hati. Namun tatapan Mile justru semakin menggelap. Lelaki itu tak peduli lagi dengan dunia. Dia menyeruduk ceruk leher Apo dengan rambut yang berantakan, sementara Apo menyerah karena luapan rindunya teramat besar. Kemungkinan, Apo sebenarnya bisa saja menendang perut Mile yang terluka, atau membanting sang Alpha ke samping. Namun, Apo benar-benar paham kegelisahan lelaki itu. Cintanya. Segalanya.

Bagaimana pun mereka telah terikat terlalu dalam. Mark, knot, perasaan, pernikahan, dan ketiga bayi yang kini masih mengoceh di sisi--Apo pun memeluk Mile, meski rautnya tak rela disentuh di tempat itu. Dia merintih pelan karena perih yang menembus kulitnya.

"Kh, ugh. Mnhh." Kuku-kuku Apo mengerat pada serat fabrik halus Mile. Dia menggurat sayang, walau ingin menggeram gaduh. Sesekali Apo menahan tremor selagi baju atasnya dikoyak, apalagi tersingkap di bagian bahu. "Ahh. Hrrrhhmmh."

Seorang babysitter pun tenggelam di balik pintu, dan dia batal masuk ruang tengah meski berniat memberi dot susu kepada para baby.

"Ini, Tuan--"

DEG

KRAKHH!

"Apo, Apo ... Apo ...." sebut Mile sembari menghisap rakus puting Apo yang mengerikil. Mulai dari luar kemeja hingga kainnya yang dirobek turun--Apo pun makin mengeratkan pelukannya agar wanita itu tidak melihat terlalu banyak.

"Unggh. Hhh ... ngh," lenguh Apo dengan tatapan seperti mengusir pergi. Dia bersembunyi di balik punggung lebar sang suami, lalu mengusap mata berairnya segera. "Tenang, Apo. Tenanglah diriku sendiri. Aku kan tidak sedang diperkosa. Mile suamiku. Kenapa harus setakut ini."

Mungkin karena disentuh di sofa menentang norma dalam kepalanya, Apo jadi bertarung dengan prinsipnya sendiri. Dia agak kurang rela, tapi tetap membalas dengan reaksi yang penuh kasih. Lupakan pendapat orang lain soal ini. Apo pun membelai lembut pipi sang suami yang sudah mengacak-acak penampilannya di sana.

"Hahh ... hahh ... hahh ... hah ...."

Dengan kancing yang sudah terbuka semua. Dada dan perutnya mulusnya terlihat. Resleting celananya bahkan sudah turun karena Mile sempat merambah ke sana.

"Don't fade, Apo. D 'ya feel me?" tanya Mile. Lalu mengecup jari berplester-nya yang tadi tertusuk jarum. Kening Mile mengerut karena emosional, bibirnya bergetar lebih daripada Apo, dan telapak tangannya begitu dingin. "Karena itu mulai besok harus ada bodyguard yang menjagamu kemana pun mau pergi. Paling tidak tiga. Dan kalau jauh bawa lebih banyak di mobil lainnya. Mau kerja, belanja, atau jalan-jalan sekali pun--jangan sendirian seperti saat di Swiss dulu. Aku ini tidak selalu bisa dekat denganmu."

Apo pun mengerjap tidak menyangka. "Apa? Tapi, Mile--"

"Jangan membangkang suamimu kali ini," sela Mile dengan tatapan tajamnya. "Aku tak peduli kau bisa tembak menembak, main pedang, taekwondo, atau jungkir balik seperti stuntman--jangan menyetir sendiri mulai sekarang. Jangan pernah melakukannya karena kita berempat juga membutuhkanmu, paham?"

Apo masih tengah dengan rona yang merambat tipis pada wajahnya. Demi apa dia berlebihan sekali!

"Terutama aku, Apo. Aku yang paling membutuhkanmu di sini," kata Mile. Lelaki Alpha itu merebahkan pipinya di dada Apo, lalu memeluk dengan napas panasnya. "Mengertilah ini bukan untuk merendahkan, hm? Aku tahu kau kuat, hebat. Tapi gunakan semua keahlianmu jika benar-benar terpepet saja. Jangan membuatku khawatir lagi."

Mendengar semua itu, kelopak mata Apo pun turun perlahan. Dia balas menelusuri helaian rambut sang suami, kemudian mengangguk pelan. "Oke," katanya. "I belong to you, Mile. Jadi, maaf sudah terlalu keras kepala selama ini."

Mile refleks tersenyum lega. "Hm, tentu," katanya. Dan mereka pun berciuman lama sebelum siap-siap pergi untuk rencanakan banyak hal di pusat kota.