"Kenapa aku masih hidup?"
Pikiran itu berputar di kepala K seperti mantra yang tak ada akhirnya. Ia berdiri di tengah halaman luas Akademi Viper, dikelilingi keramaian murid-murid baru. Sebagian datang bersama keluarga mereka, wajah penuh harapan, senyum lebar menghiasi wajah mereka. K? Ia hanya berdiri di sana, diam, seperti titik kecil di tengah keramaian.
Pakainya lusuh, beberapa bagian nyaris robek. Rambut hitamnya acak-acakan, menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Tubuhnya terasa ringan—atau mungkin hampa, seperti ia hanya setengah hadir di dunia ini.
Tiba-tiba, sebuah pengumuman pecah dari pengeras suara:
"Atas nama K, harap menuju meja panitia pendaftaran."
Ia menghela napas panjang. Dalam pikirannya, suara itu terdengar seperti ejekan. Dengan langkah lambat dan nyaris tanpa suara, ia berjalan ke arah meja panitia. Ia melewati kerumunan tanpa disadari siapa pun, seperti bayangan yang kebetulan lewat.
Di meja pendaftaran, seorang wanita paruh baya menatapnya dari balik kacamata tipis. Ia tersenyum sopan, meski matanya menunjukkan rasa ragu.
"Jadi, namamu… K?" tanya wanita itu sambil melirik kertas di depannya.
"Ya," jawab K. Suaranya datar, nyaris tak bernyawa.
Panitia itu mengernyit tipis. "Itu nama aslimu?"
K menatap meja di depannya tanpa ekspresi. "Aku tidak tahu. Kakekku yang memberiku nama itu."
Wanita itu mengangguk pelan, meski kebingungan tergambar jelas di wajahnya. "Baik… Kalau begitu, di mana orang tuamu?"
Untuk sesaat, K terdiam. Ia memandang jauh ke depan, namun matanya tetap kosong.
"Aku tidak tahu siapa mereka. Aku bahkan tidak tahu apakah mereka masih hidup."
Wanita itu tersentak, tapi ia berusaha menutupi keterkejutannya dengan senyum canggung. "Ah, maaf kalau aku menanyakan hal yang… sulit. Umurmu?"
"Lima belas," jawab K singkat.
Wanita itu mencatat dengan cepat, lalu kembali bertanya, "Baik, kau akan ditempatkan di kelas C. Apa kau punya permintaan khusus?"
K menggeleng. "Terserah."
Tanpa ucapan terima kasih, ia bangkit dari kursinya. Langkahnya kembali sunyi, seperti tak ingin meninggalkan jejak.
Langit mulai gelap saat K berjalan pulang. Jalanan kota tua itu sepi, hanya diterangi lampu-lampu redup yang berkelip samar. Gedung-gedung tua di sekitarnya berdiri seperti saksi bisu.
Di tengah perjalanan, sesuatu terjadi.
"Halo, K."
Suara itu terdengar dari kegelapan. K berhenti, tubuhnya menegang. Dengan gerakan lambat, ia berbalik. Seorang pria berjubah hitam berdiri di sana, hanya beberapa meter darinya. Tudungnya menutupi sebagian besar wajahnya, menyisakan senyum tipis yang terasa salah.
"Siapa kau?" tanya K, suaranya tetap datar, meski matanya sedikit menyipit.
Pria itu mengangkat kepalanya sedikit. "Aku? Aku adalah dewa."
K menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata, "Itu jawaban yang buruk."
Pria berjubah itu tertawa, suara yang serak dan menusuk. "Kau tak perlu percaya. Kau hanya perlu menerima."
Sebelum K bisa bereaksi, sebuah cahaya hitam melesat ke arahnya. Mata K membelalak sesaat sebelum tubuhnya membeku, rasa dingin menjalari setiap inci tubuhnya.
Ia jatuh ke tanah, kesadarannya perlahan memudar. Dunia di sekitarnya tenggelam dalam kegelapan.
Ketika K membuka matanya, ia mendapati dirinya berada dalam kehampaan. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Hanya kegelapan pekat yang melingkupinya, menekan dari segala arah. Ia mencoba bernapas, tapi udara terasa berat, seolah setiap helaan adalah usaha melawan sesuatu yang tak kasatmata.
"Di mana aku?" pikirnya, tapi bahkan suara itu terasa hampa, tenggelam sebelum sempat bergema.
Ia melayang tanpa arah, tubuhnya tak memiliki bobot. Tak ada atas, bawah, atau tepi. Seperti dilemparkan ke lautan tanpa dasar, hanya gelap yang menyelimuti.
K mencoba menggerakkan tangannya, tetapi ia tak bisa merasakannya. Ia mencoba berbicara, tetapi suara itu tak pernah keluar. Sekujur tubuhnya terasa terpisah dari dirinya sendiri, seperti ia telah menjadi sesuatu yang bukan manusia lagi.
Waktu terasa melambat, atau mungkin berhenti sama sekali. Ia tidak tahu. Tidak ada apa pun di sini yang memberi tanda kehidupan.
Namun, di tengah kehampaan itu, ada sesuatu yang berubah. Kegelapan, yang awalnya begitu mutlak, mulai berdenyut. Seperti ada sesuatu yang bernapas di dalamnya. Ritmenya pelan, hampir seperti bisikan jantung yang sangat jauh.
Dum. Dum. Dum.
Sebuah titik cahaya kecil muncul di kejauhan, nyaris tak terlihat. Cahaya itu terasa salah—bukan terang yang membawa kehangatan, melainkan dingin yang memaksa. Cahaya itu menembus kehampaan seperti luka di kain gelap, dan semakin lama, ia semakin mendekat.
Saat cahaya itu kian dekat, K merasakan sesuatu di dadanya—bukan rasa sakit, melainkan kehampaan yang lebih dalam. Ia merasa sesuatu sedang direnggut dari dirinya, sesuatu yang ia bahkan tak sadari ia miliki.
Dan kemudian semuanya lenyap.
K tersentak bangun, napasnya terengah-engah seperti baru saja tenggelam di lautan dalam. Keringat dingin membasahi tubuhnya, mengguyur dari dahi hingga ke punggung. Pandangannya kabur sesaat sebelum ia menyadari tempat ia berada: kamarnya.
Atau, setidaknya, sesuatu yang menyerupai kamarnya.
K menoleh ke jendela. Tangannya gemetar saat ia membuka tirai. Dan di sana, ia melihat dunia yang mirip dengan dunianya sebelumnya—namun sekaligus sepenuhnya berbeda.
Gedung-gedung tinggi masih berdiri kokoh, tetapi fasadnya kini dihiasi pola bercahaya seperti rune. Jalur transportasi melayang di udara, kendaraan tanpa roda bergerak dalam lintasan yang tersusun sempurna, tanpa suara mesin. Di bawahnya, jalanan penuh orang-orang yang tampak biasa, namun setiap gerakan mereka memancarkan keanehan yang tak dapat dijelaskan.
Seorang pria melambaikan tangan, dan koper yang melayang di sebelahnya mengikuti dengan patuh. Seorang anak kecil melemparkan bola ke udara, yang kemudian berubah menjadi kumpulan bunga api kecil sebelum kembali ke bentuk aslinya. Seorang wanita, berbicara melalui perangkat kecil di telinganya, sesekali menggerakkan jari, dan layar holografik muncul di depannya, berisi diagram yang kompleks.
Lampu-lampu jalan bercahaya tanpa sumber daya yang terlihat, menerangi trotoar dengan lembut. Billboard elektronik menampilkan iklan tentang "Perangkat Amplifikasi Sihir", "Kendaraan Anti-Gravitasi", atau "Jasa Reparasi Artefak." Semua terasa sangat maju, tetapi juga sangat asing.
Namun, yang paling aneh adalah ekspresi wajah orang-orang di luar. Tidak ada keterkejutan atau kebingungan. Dunia ini—dengan semua teknologi dan kekuatan magisnya—bagi mereka adalah hal yang wajar. Sehari-hari.
K melangkah mundur dari jendela, tubuhnya limbung. Matanya menatap tangannya sendiri, yang ia genggam erat seolah takut kehilangan sesuatu. Ia mencoba memutar pikirannya, mencoba mengingat apa yang ia alami sebelumnya, tetapi hanya kehampaan yang ia temukan.
"Apa ini...?" pikirnya. "Dunia yang baru... atau aku yang bukan aku lagi?"
Namun, tidak ada jawaban. Hanya ketenangan aneh di luar sana, seolah dunia ini sedang menunggunya. Menunggu langkah pertamanya.
Ia kembali menatap ke luar jendela, ke dunia yang kini terasa seperti mimpi. Di kejauhan, ia melihat sebuah menara tinggi menjulang, berkilauan dengan garis-garis sihir yang bergerak seperti aliran listrik. Menara itu tampak menjadi pusat dari segalanya—sebuah simbol, atau mungkin sesuatu yang lebih dari itu.
Dan di balik semua keindahan dan keteraturan ini, ada sesuatu yang terasa... salah. K tidak tahu apa itu, tetapi perasaan itu menempel di dadanya, menghantui seperti bayangan yang tak dapat ia lihat.
Ia menghela napas panjang, menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Ia merasa kecil. Tidak berarti.
"Ini semua aneh. Bajingan."