webnovel

Yang mengintai

Bab 5: Mata yang Mengintai

Alea berdiri terpaku, matanya terpaku pada buku itu yang terus membuka halaman-halamannya sendiri. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin, dan bayangan-bayangan di dinding tampak semakin nyata. Mereka bukan sekadar pantulan gelap—mereka hidup. Mengintai, bergerak, berbisik dalam bahasa yang tak dimengerti.

"Alea... waktumu hampir habis."

Suara itu kembali. Kali ini bukan hanya gema di pikirannya, tetapi terdengar jelas, dekat, seolah dibisikkan langsung ke telinganya. Ia berbalik, mencari sumber suara, tapi tidak ada siapa pun di sana. Hanya kegelapan yang semakin pekat, seperti lapisan kabut yang melilit ruang.

Di sudut matanya, ia menangkap sesuatu—bayangan yang lebih besar, lebih gelap, bergerak cepat seperti kilatan petir. Ia berusaha mengejar dengan pandangan, tapi bayangan itu sudah menghilang, seolah menyatu dengan tembok-tembok yang retak. Tubuhnya menegang, jantungnya berdegup keras, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa sendirian. Namun, ia tahu bahwa kesendirian itu adalah ilusi. Sesuatu sedang mengawasinya.

"Apa kau ingin tahu akhir dari ini semua?" suara lain terdengar, lebih rendah, lebih dalam, dan kali ini berasal dari arah yang jelas—buku di lantai.

Alea melangkah mundur, tapi buku itu tiba-tiba melayang, membalikkan dirinya hingga halaman terbuka lebar. Tinta di halaman itu mulai bergerak, menciptakan pola yang menyerupai wajah. Wajah itu mengerikan, dengan mata kosong yang tampak menembus jiwa Alea, dan mulut yang bergerak, mengucapkan kata-kata tanpa suara.

Ia ingin menutup matanya, tapi pandangannya tak bisa teralihkan. Ia ingin lari, tapi tubuhnya terasa membeku. Buku itu kini menjadi pusat dari segalanya, menariknya seperti pusaran gelap yang tak bisa ia hindari.

Lalu, bayangan-bayangan itu mulai mendekat. Mereka muncul dari sudut-sudut ruangan, dari celah-celah tembok, dan dari bawah lantai yang dingin. Mereka tidak memiliki bentuk yang pasti, tetapi kehadiran mereka begitu nyata. Seiring mereka mendekat, Alea merasakan rasa sakit yang menusuk, seperti ratusan jarum yang menembus kulitnya.

Bayangan itu berbicara, tetapi tidak dengan suara. Kata-kata mereka muncul langsung di pikirannya, seperti memaksa masuk ke dalam otaknya.

"Kamu membuka pintu ini, Alea. Dan pintu ini tidak akan pernah tertutup lagi."

Alea berusaha melawan, memejamkan matanya dan menutup telinganya dengan kedua tangan. Namun, suara itu tidak hilang. Sebaliknya, suara itu semakin kuat, semakin mendalam, hingga ia merasa kepalanya akan meledak. Ia jatuh berlutut, menggigit bibirnya untuk menahan teriakan. Tapi, rasa sakit itu terlalu besar. Ia akhirnya berteriak, suara yang terputus-putus, memenuhi ruangan yang tak pernah menjawab.

Bayangan itu mengelilinginya, membentuk lingkaran yang semakin kecil. Mereka mulai memanjang, menyerupai lengan-lengan kurus yang mencoba meraih tubuh Alea. Ia mencoba meronta, tapi mereka terlalu banyak, terlalu kuat. Ia merasa seperti tenggelam dalam samudra kegelapan, tanpa udara, tanpa harapan.

Dan kemudian, mereka berbicara lagi.

"Kami ingin tahu... seberapa jauh kau akan bertahan."

Tangan-tangan itu menariknya, menyeretnya ke arah buku yang kini melayang di udara, memancarkan cahaya suram. Cahaya itu tidak seperti cahaya matahari atau lampu. Itu adalah cahaya yang menyerap, menciptakan kehampaan di sekitarnya. Semakin dekat Alea ke buku itu, semakin lemah tubuhnya terasa.

Ia mencoba melawan. Dengan sisa tenaganya, ia menendang, meronta, memukul bayangan-bayangan itu. Tetapi setiap kali ia menyerang, bayangan itu hanya menyatu kembali, seperti asap yang tak bisa disentuh. Ia tahu bahwa melawan mereka sama saja seperti mencoba melawan gelapnya malam. Namun, naluri bertahan hidupnya memaksa ia untuk terus berjuang.

Ketika ia hampir mencapai buku itu, sesuatu di dalam dirinya berteriak. Sebuah dorongan kuat, seperti suara lain di kepalanya yang mengatakan satu hal: "jangan biarkan mereka menang."

Dengan semua kekuatan yang tersisa, ia mengangkat tangannya dan berteriak, kali ini dengan penuh keberanian. "Kalian tidak bisa mengambilku!"

Dan untuk sesaat, bayangan itu mundur. Lingkaran mereka memudar, dan ruangan menjadi sunyi kembali. Alea terengah-engah, tubuhnya penuh keringat dingin. Ia menatap buku itu, yang kini melayang dengan tenang, seolah menunggu.

Tapi ia tahu bahwa ini belum selesai. Bayangan itu masih ada, bersembunyi, menunggu momen berikutnya untuk menyerang. Ia tidak tahu bagaimana melawan mereka, tapi ia tahu satu hal: mereka ingin sesuatu darinya. Dan buku itu adalah kunci dari semuanya.

Ia berjalan perlahan menuju buku itu, mengabaikan rasa takut yang menguasai dirinya. Jika ia ingin keluar dari mimpi buruk ini, ia harus mencari jawabannya. Dan jawabannya ada di dalam buku itu, meskipun itu berarti menghadapi sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan.

Ketika ia menyentuh buku itu, suara lain terdengar, lebih lembut, tetapi tidak kalah menyeramkan.

"Kamu sudah membuat pilihan, Alea. Tidak ada jalan kembali."

---

Cliffhanger : Alea telah menyentuh buku itu dan mengambil langkah menuju kegelapan yang lebih dalam. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah ia akan menemukan jawaban, atau justru kehilangan dirinya sepenuhnya?

---

次の章へ